Menuju konten utama

GP Ansor: Kami Tabayyun, Bukan Sweeping Pemilik Akun Medsos

Adung tak menyangkal bahwa GP Ansor dan Banser pernah menuntut oknum tertentu untuk meminta maaf karena menghina kiai NU. Namun, yang dilakukan oleh GP Ansor dan Banser berbeda dengan cara yang dilakukan oleh FPI.

GP Ansor: Kami Tabayyun, Bukan Sweeping Pemilik Akun Medsos
Anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama bersiap mengikuti Apel Kebangsaan dan Kemah Kemanusiaan di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (18/4). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/17.

tirto.id - Sekjen PP GP Ansor, Adung Abdurrahman menyayangkan atas adanya aksi persekusi atau sewenang-wenang terhadap salah satu dokter di Solok oleh sejumlah massa Front Pembela Islam (FPI) lantaran disebut menghina Islam melalui status Facebook.

Menurut Adung, hal itu tidak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku karena dilakukan dengan cara intimidatif. "Itu kan kasihan seorang ibu didatangi beramai-ramai begitu. Apalagi di depan anaknya," kata Adung pada Tirto, Selasa (30/5/2017).

Kendati demikian, ia tak menyangkal bahwa GP Ansor dan Banser pernah menuntut oknum tertentu untuk meminta maaf karena menghina kiai Nahdlatul Ulama (NU). Namun, menurutnya, yang dilakukan oleh GP Ansor dan Banser berbeda dengan cara yang dilakukan oleh FPI.

"Yang dilakukan Ansor itu tidak termasuk dalam kategori sweeping, tapi tabayyun. Apakah itu akun dia? Lalu, apa maksudnya?" kata dia.

Ia pun menuturkan Ansor dan Banser tidak pernah melakukan intimidasi. Sedangkan, menurutnya, sweeping sangat erat kaitannya dengan intimidatif. "Kalau sweeping dalam arti mengintimidasi," kata Adung.

Selanjutnya, ia menuturkan dalam beberapa kasus, pihaknya lebih menekankan kepada mencari tahu motif oknum yang diduga menghina kiai NU. Bukan pada sisi mengintimidasi dan main hakim sendiri.

Pasalnya, dalam pandangan Adung, sebuah ujaran belum tentu mengandung penghinaan. Melainkan, bisa jadi itu hanya sebuah satire atau sindiran yang tidak perlu mendapat penindakan sampai pada taraf intimidatif.

"Kalau misalkan dia konteksnya menghina ya dia akan meminta maaf secara langsung tanpa merasa terintimidasi. Kan belum tentu dia yang menulis. Bisa jadi itu dibajak," kata Adung.

Menurut Adung, pada dasarnya pihaknya mengedepankan proses hukum dan untuk menghadapi kasus serupa, kata Adung, Ansor akan terlebih dahulu melaporkan ke pihak yang berwajib.

"Cuma kan enggak semua polisi bisa tangani. Misalnya, yang melapor harusnya kan yang dihina. Sedangkan, kiai ya pasti biasa saja," katanya.

Banser Minta Aceng Toha Minta Maaf ke Said Aqil

November tahun lalu Ansor, Banser dan sejumlah elemen NU Kota Depok dibikin berang dengan status Facebook dari seorang mantan anggota DPRD Kota Depok F-PKS bernama Aceng Toha.

Menurut Ketua GP Ansor Depok Abdul Kodir, yang bersangkutan saat itu menyebut bahwa Ketua PBNU KH Said Aqil Siraj sebagai penjual ayat. Mengetahui hal itu, warga NU Depok pun berang dan meminta Ansor dan Banser untuk menuntut Aceng meminta maaf.

"Elemen NU semua minta dia minta maaf dengan didatangi ke rumahnya," kata Kodir kepada Tirto, Selasa (30/5).

Menurut Kodir, sebelumnya pihaknya telah melaporkan ujaran Aceng tersebut kepada polisi. Namun, kepolisian tidak dapat memproses hal itu. "Mereka (polisi) meminta Kiai Said yang lapor," kata Kodir.

Meningat ketua PBNU tersebut tidak melapor, maka Ansor, Banser dan elemen NU lainnya pun memutuskan untuk mencari dan mendatangi rumah Aceng Toha.

"Enggak ada intimidasi. Tadi saya bilang bahwa bagi Ansor tidak boleh menghina gitu. Kami melakukan itu karena udah terlalu kenceng penghinaan itu. Kalau bereaksi semua itu juga chaos. Itu sebagai tanda," kata Kodir.

Kodir menceritakan, dirinya dan sejumlah masa NU bertemu di rumah Aceng. Lalu, mereka membawa Aceng ke Ponpes As-Saadah di Depok. Di sana, Aceng akhirnya meminta maaf.

"Orangnya dipanggil diajak, lalu minta maaf dengan ikhlas. Dengan kesadaran," kata Kodir.

Apa yang disampaikan oleh Kodir itu pun dibenarkan oleh Aceng. "Iya, benar begitu ceritanya," kata Aceng kepada Tirto, Rabu (31/5/2017).

Ia pun mengaku bahwa dalam proses tersebut memang tidak sama sekali menggunakan pihak lain. "Saya sendiri saja, tidak melibatkan pihak lain. Tidak ada polisi juga," kata Aceng.

Mantan anggota DPRD F-PKS itupun mengaku sudah meminta maaf dengan kesadaran atas yang telah dilakukannya. "Waktu itu islahnya di Pondok As-Saadah, Pondol Terong," katanya.

Kendati demikian, ia mengatakan bahwa persoalan tersebut sudah selesai dan pada dasarnya ia enggan membahas kembali peristiwa tersebut. "Sudah selesai," kata Aceng.

Antisipasi untuk Menghindarkan Intimidasi

Belakangan, setelah Ahok divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, aksi masyarakat untuk mendatangi pemilik akun-akun media sosial yang dianggap menghina ulama atau agama makin marak. Beberapa hari ini, misalnya, ramai dengan berita intimidasi yang dialami oleh Dokter Fiera Lovita di Solok karena dianggap membuat status di Facebook yang menghina ulama.

Tindakan mendatangi pemilik akun medsos seperti itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Banser atau Ansor dari NU. Salah satu contohnya adalah yang dialami oleh Aceng Toha seperti sudah diuraikan di atas. Kasus di Depok itu bukan satu-satunya yang dilakukan oleh Ansor atau Banser. Cukup sering mereka melakukannya walau, merujuk klarifikasi Adung, diniatkan untuk melakukan tabayyun dan bukan untuk mengintimidasi.

Perihal bila ada angggota Ansor atau Banser yang melakukan tindakan intimidasi, Adung mengaku enggan berandai-andai dan belum ada sanksi organisasi untuk itu. Karena menurutnya bisa dipastikan tidak ada anggota Ansor dan Banser yang melakukan hal demikian. "Kami taat hukum," katanya.

Ia pun menegaskan selalu meminta anggotanya agar menggunakan media sosial dengan baik termasuk dalam menyikapi hal-hal di dalamnya.

"Kami selalu meminta kepada anggota dan masyarakat untuk menggunakan medsos yang bijaksana dan positif. Harusnya medsos, kan, sebagai media silaturahmi, bukan untuk menciptakan perpecahan. Jadi, menyikapi medsos jangan berlebihan," katanya.

Baca juga artikel terkait GP ANSOR atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Zen RS