Menuju konten utama

Go-Jek Jadi Decacorn, Unicorn adalah Masa Lalu

Go-Jek menjadi decacorn pertama dari Indonesia menurut laporan CB Insights.

Go-Jek Jadi Decacorn, Unicorn adalah Masa Lalu
Ilustrasi Gojek. FOTO/ANTARA

tirto.id - Go-Jek, ride-sharing Indonesia yang didirikan Nadiem Makarim, akhirnya menjadi startup pertama asal Indonesia bergelar decacorn versi perusahaan riset startup CB Insights dari laporan yang berjudul “The Global Unicorn Club.”

Pada laporan itu, Go-Jek disebut memiliki nilai valuasi sebesar $10 miliar, nilai yang menjadi batas minimal bagi suatu startup memperoleh gelar decacorn. Pada laporan itu, Go-Jek menduduki posisi ke-19 sebagai startup paling bernilai dari 300 startup di seluruh dunia.

Nila Marita, Chief of Corporate Affairs Go-Jek Group, mengatakan baru mendengar kabar Go-Jek masuk daftar decacorn. Namun, Nila menilai laporan CB Insight itu “memvalidasi kesuksesan” Go-Jek.

Menurutnya, kesuksesan Go-Jek tercermin dari banyaknya jumlah weekly active users. Klaim Go-Jek, soal weekly active users mereka lebih tinggi 55 persen dibandingkan aplikasi sejenis yang beroperasi di Indonesia.

Decacorn lain yang keberadaannya bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia ialah Grab, ride-sharing yang bermarkas pusat di Singapura. Grab berada di posisi ke-13, dengan nilai valuasi yang mencapai $11 miliar.

Decacorn merupakan istilah bagi startup yang memiliki nilai valuasi $10 miliar lebih. Di bawah istilah decacorn, ada istilah unicorn, yakni status yang diberikan bagi startup yang sukses menggenggam nilai valuasi $1 miliar lebih. Go-Jek meraih status ini pada Mei 2017 lalu. Artinya startup Decacorn sudah pasti juga unicorn.

Secara umum, bagi startup, nilai valuasi tercipta terutama atas pendanaan atau investasi yang diberikan investor. Dalam kasus Go-Jek, investasi paling baru yang mengalir ke kantong mereka terjadi pada 4 Maret 2019 lalu. Saat itu, dalam tajuk pendanaan Seri F, Astra International mengucurkan dana senilai $100 juta pada Go-Jek.

Secara menyeluruh, Go-Jek telah melakukan sembilan kali sesi pendanaan, dengan dana yang terkumpul mencapai $3,1 miliar. Perlu diingat, nilai tersebut hanya memperhitungkan pendanaan atau investasi yang diumumkan angkanya ke publik. Seluruh total pendanaan, tidak semuanya muncul ke publik karena bukan perusahaan terbuka.

Hingga kini, Go-Jek telah didukung cukup banyak investor dan perusahaan besar, seperti Astra International, Temasek Holdings, Tencent Holdings, Google, Sequoia Capital, hingga Warburg Pincus. Secara keseluruhan, Go-Jek disokong oleh 24 investor dan perusahaan besar.

Nilai valuasi startup juga ditentukan faktor-faktor lain, seperti penguasaan pasar, Gross Transaction Value (GTV) atau total transaksi yang dilayani, dan sejenisnya. Faktor-faktor itu menentukan berapa nilai valuasi sebuah startup atau perusahaan.

Pada Go-Jek, startup ini menguasai pasar ride-sharing sangat besar di Indonesia. Catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Go-Jek memimpin pasar ride-sharing Indonesia dengan penguasaan pangsa pasar 79,20 persen.

Meski Go-Jek berawal sebagai startup ride-sharing, dalam perkembangannya, startup ini juga jadi penguasa bisnis financial technology (fintech) di Indonesia melalui Go-Pay. Pada September 2017, Nadiem mengatakan 50-60 persen pengguna Go-Jek, menggunakan Go-Pay. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 20 Desember 2017, Nadiem mengklaim Go-Pay menyumbang 30 persen dari total transaksi uang elektronik di Indonesia.

Bila melihat dari sisi volume, saat itu ada 104,47 juta transaksi uang elektronik di Indonesia. Jika klaim Nadiem dikonversi, Go-Pay artinya menyumbang 31,34 juta transaksi uang elektronik Indonesia. Padahal, ada 32 penerbit uang elektronik lain yang beroperasi di Indonesia berdasarkan data Bank Indonesia. Go-Pay, merupakan pemimpin pasar di segmen ini.

Sementara itu, pada 2018, Go-Jek memiliki GTV lebih dari $19 miliar. GTV bukanlah pendapatan, melainkan nilai total transaksi yang diproses Go-Jek dari para pengguna yang menggunakan berbagai layanan mereka seperti Go-Ride, Go-Food, Go-Pay, dan lainnya.

Sebagian dari nilai GTV itu memang menjadi pendapatan Go-Jek, tetapi karena Go-Jek masih sering mengucurkan promo, dalam rupa-rupa potongan harga, sangat mungkin bahwa Go-Jek belum benar-benar memperoleh untung. Apalagi, seperti diungkap Nadiem, layanan ride-sharing, masih jauh dari predikat sebagai penghasil laba. Namun, pemasukan positif justru dari Go-Food.

Kisah cemerlang Go-Jek tersebut didukung laporan berjudul “e-Conomy SEA 2018: Southeast Asia’s Internet Economy Hits an Inflection Point” yang dikerjakan Google dan Temasek, yang menyatakan bahwa sektor ride-sharing di Asia Tenggara menunjukkan pertumbuhan positif.

Pada 2015, nilainya ada pada angka $2,5 miliar. Tahun lalu, nilainya berada di angka $5,7 miliar. Google dan Temasek memprediksi bahwa nilai pasar ini akan menjadi $20 miliar pada 2025 mendatang.

Dengan faktor-faktor itu, faktor cemerlangnya kinerja Go-Jek dan proyeksi pasar yang masih bisa dioptimalkan, membuat Go-Jek memiliki nilai valuasi yang besar hingga dapat status decacorn bahkan bisa lebih dari itu.

Valuasi Go-Jek diperkirakan akan semakin membesar. Alasannya, sejak 24 Mei 2018 lalu, Go-Jek mengumumkan ekspansi ke empat negara di Asia Tenggara, yakni Vietnam, Singapura, Thailand, dan Filipina. Untuk ekspansi itu, Go-Jek merogoh investasi US$500 juta, nilai yang diambil dari penggalangan dana melalui Astra, Google, Tencent, JD.com, dan Meituan.

Ekspansi ke empat negara itu akan memperlebar cakupan operasional Go-Jek, yang berarti, menggenjot potensi Go-Jek lebih dari sekedar berkuasa di Indonesia. Status baru decacorn Go-Jek berikutnya suatu keniscayaan akan jadi usang, sama hal saat status unicorn dua tahun lalu, kini jadi masa lalu buat Go-Jek.

Baca juga artikel terkait GOJEK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra