tirto.id - Ekskalasi konflik Israel dan Palestina terus memanas. Korban sipil, terutama dari pihak Palestina, terus berjatuhan. Per 16 Mei lalu sebanyak 181 warga Palestina, di antaranya anak-anak dan perempuan, dan 9 warga Israel, tewas. Sementara 1.200 orang dilaporkan terluka.
Lynn Hastings, Koordinator Kemanusiaan PBB di Palestina, mengatakan pada 11 Mei lalu sekitar 10 ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka di Gaza untuk mengungsi. Akses mereka ke air, makanan, kebersihan, dan layanan kesehatan juga terbatas. Rumah sakit dan akses ke layanan air dan sanitasi sangat bergantung pada listrik, yang bahan bakarnya diperkirakan habis pada Minggu lalu.
Oleh karena itu Hastings menyerukan agar "otoritas Israel dan kelompok bersenjata Palestina segera mengizinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mitra kemanusiaan kami untuk membawa bahan bakar, makanan, dan persediaan medis dan untuk mengerahkan personel kemanusiaan." "Semua pihak harus selalu mematuhi hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional," kata Hastings.
Otoritas Israel telah menutup penyeberangan Erez di utara Jalur Gaza pada 10 Mei, termasuk untuk pekerja kemanusiaan, serta penyeberangan Kerem Shalom di selatan, saluran penting untuk barang dan bahan bakar, menurut Juru Bicara Kantor koordinasi urusan kemanusiaan PBB (OCHA) Jens Laerke.
"Tanpa penyediaan lebih lanjut, bahan bakar akan habis dalam beberapa hari mendatang. Hal ini akan menyebabkan penurunan pasokan listrik yang signifikan, yang sekali lagi berdampak pada ketersediaan layanan kesehatan, air, dan sanitasi," ujar Laerke.
Tor Wennesland, Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, menyatakan bahwa situasi kemanusiaan dan keamanan di Jalur Gaza yang padat semakin bertambah mengerikan dari hari ke hari. Sistem kesehatan sebelumnya sudah kewalahan lantaran pandemi COVID-19. Obat dan peralatan medis kurang.
"Akibat operasi militer tersebut, tujuh pabrik, 40 sekolah dan sedikitnya empat rumah sakit mengalami kerusakan total atau sebagian," kata Wennesland.
Selain itu lebih dari 40 sekolah yang dioperasikan oleh badan PBB UNRWA sekarang berfungsi sebagai tempat penampungan.
Kemudian sedikitnya 18 bangunan, termasuk Al Jaala Tower, gedung tempat media internasional seperti Al Jazeera dan Associated Press (AP) berkantor, telah hancur dan lebih dari 350 bangunan rusak. Israel Defense Forces (IDF) menuding bangunan ini merupakan tempat kelompok intelijen Hamas menyimpan instalasi militer.
Kabar terbaru datang pada Senin kemarin. Satu-satunya laboratoratorium tes COVID-19 di Gaza, klinik A-Rimal, hancur digempur Israel dari udara. Sebelum ekskalasi militer antara Hamas dan Israel memanas seminggu lalu, kemampuan tes COVID-19 Gaza rata-rata 1.600 orang per hari. WHO mengatakan 103.000 orang telah dites positif terkena virus corona di Gaza, lebih dari 930 di antaranya telah meninggal.
PBB Gelar Pertemuan Darurat
Melansir laman berita PBB news.un.org, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut konflik yang terjadi baru-baru ini merupakan "hal yang sangat mengerikan" dan hanya akan menjauhkan harapan bangsa Palestina dan Israel untuk dapat hidup berdampingan.
"Pertempuran ini harus dihentikan. Segera. Roket dan mortir di satu sisi, serangan udara dan senjata di sisi lain, harus dihentikan. Saya minta kedua pihak untuk mendengar desakan ini," ujar Guterres dalam pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB yang digelar secara virtual, Minggu (16/5/2021).
Pertemuan yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri dan duta besar negara anggota DK PBB tersebut merupakan yang ketiga kalinya dalam seminggu, membahas mengenai eskalasi konflik paling serius di Gaza dan Israel, juga bentrokan di Tepi Barat maupun Yerusalem Timur.
Guterres khawatir parade kekerasan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat parah. "Pertempuran ini berisiko menyeret Israel dan Palestina ke dalam lingkaran kekerasan dengan konsekuensi yang menghancurkan baik bagi komunitas maupun seluruh wilayah," katanya.
"[Konflik] ini berpotensi melepaskan krisis keamanan dan kemanusiaan yang tidak dapat dibendung dan justru akan mendorong ekstremisme, tidak hanya di wilayah pendudukan Palestina dan Israel, tetapi di wilayah secara keseluruhan, berpotensi menciptakan lokus baru dari ketidakstabilan yang berbahaya," katanya.
"Siklus pertumpahan darah, teror dan kehancuran yang tidak masuk akal ini harus segera dihentikan," tambahnya.
Ia menekankan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah kembali bernegosiasi membicarakan solusi dua negara.
Guterres juga menegaskan kembali komitmen PBB untuk bekerja dengan Israel dan Palestina, dan dengan mitra internasional serta regional, untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng dan adil.
Kendati demikian, pertemuan itu berakhir tanpa hasil konkret usai Amerika Serikat, negara imperialis sekaligus sekutu Israel, memblokir pernyataan bersama yang menyerukan gencatan senjata segera antara Israel dan Hamas.
Vatikan Bersuara
Tak hanya PBB, Vatikan juga mengecam pertempuran berdarah yang terjadi selama delapan hari terakhir. Paus Fransiskus mendesak agar kekerasan di Jalur Gaza segera dihentikan.
"Kematian puluhan anak di antara korban tewas sangat mengerikan dan tidak dapat diterima," kata Paus Francis pada Minggu (16/5/2021), sebagaimana dilansir Vatican News. "Kematian mereka adalah tanda bahwa orang tidak ingin membangun masa depan, tetapi justru menghancurkannya."
Dia memperingatkan bahwa kekerasan yang sedang berlangsung di Israel dan Jalur Gaza berisiko "menjadi pusaran kematian dan kehancuran." Dengan sedemikian besar luka, "persaudaraan dan hidup berdampingan secara damai" akan sulit tercapai.
Paus mendesak para pemimpin Israel dan Palestina "untuk menghentikan segala pertempuran senjata dan berjalan di jalan perdamaian, dengan bantuan komunitas internasional."
Ia kemudian meminta umat untuk berdoa bagi para korban konflik, "terutama anak-anak." "Mari kita berdoa untuk perdamaian kepada Ratu Damai," katanya.
Editor: Rio Apinino