Menuju konten utama

Gereja yang Ditolak Warga di Bantul Punya Izin Mendirikan Bangunan

Pendeta Tigor Yunus Sitorus mengatakan gereja yang ditolak warga itu memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Gereja yang Ditolak Warga di Bantul Punya Izin Mendirikan Bangunan
Pendeta Tigor Yunus Sitorus menunjukkan Izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah saat berada di rumahnya yang kini menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu, di Kampung Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Selasa (9/7/2019) (tirto.id/Irwan A. Syambudi)

tirto.id - Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta telah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah. Namun warga menolak gereja itu karena dinilai tidak sesuai dengan peruntukannya.

"[IMB] keluar 15 Januari 2019, mengajukan sejak 2017. Warga tak tahu [...] Kalau sampai harus ada kesepakatan dari warga, kami beribadah saja sudah dianggap bertentangan, bagaimana mungkin mereka menyetujui ibadah di situ," kata pendeta Tigor Yunus Sitorus, Selasa (9/7/2019).

Pendeta Sitorus merupakan pemilik tanah yang kini berdiri bangunan dengan izin sebagai gereja dengan nomor 0116/DPMPT/212/l/2019 tersebut. Semula bangunan gereja itu merupakan rumah tinggal Sitorus bersama istri dan kedua anaknya.

Pada 2003, lahan 335 meter persegi di RT 34 Kampung Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Sedayu itu mulanya memang hendak diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Namun saat itu mendapatkan penolakan dari warga.

"Bangunan kami sudah pernah dirobohkan 2003. Bangunan dirobohkan. [Bangunan] 1,5 meter berdiri, dirobohkan. Tidak tahu siapa yang merobohkan. Saya lapor ke RT, desa, lalu dipanggil," kata Sitorus.

Sejak saat itu, ia kemudian diminta menandatangani surat pernyataan yang intinya menyatakan bahwa lahan miliknya hanya akan didirikan rumah tinggal bukan rumah ibadah.

Namun, saat terbit Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul nomor 98 tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Tempat Ibadat, Sitorus kemudian mengajukan izin agar rumahnya juga dijadikan sebagai rumah ibadah.

"Kami merespons kebijakan bupati. Pas arisan RT kami dipanggil, diminta menghentikan kegiatan ibadah,'' kata Sitorus.

Padahal, menurut dia, IMB yang telah dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Bantul itu legal dan sah. Oleh karena itu, ia berharap agar negara dapat melindungi seluruh warganya termasuk ia dan umatnya yang membutuhkan tempat ibadah.

"Dengan IMB itu sebagai bentuk perlindungan. Jadi pegangan kami," kata dia.

Di sisi lain, Sitorus mengatakan bahwa saat ini jemaatnya sangat membutuhkan tempat ibadah. Sebab, di Kabupaten Bantul belum ada Gereja Kristen Pantekosta yang bisa digunakan untuk beribadah para jemaat.

Namun karena adanya penolakan, hingga kini ia belum berani memasang papan nama gereja di rumahnya yang telah mendapatkan izin sebagai rumah ibadah itu.

"Jangankan untuk papan nama, beribadah saja menjadi soal. Saya pasrah kepada Tuhan dan pemerintah. Tetap lanjut kegiatan ibadah. Meminta pengamanan aparat dan pemerintah," kata dia.

Sementara itu, Ketua RT 34 Kampung Gunung Bulu Samsuri mengatakan, yang menjadi alasan warga menolak pendirian gereja itu karena Sitorus telah menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa tanah itu hanya akan didirikan rumah tinggal bukan rumah ibadah.

"Ini cukup meresahkan karena Bapak Sitorus menjadikan itu rumah ibadah tanpa sepengetahuan kami," kata Samsuri saat mediasi di Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019).

Ia menjelaskan, sejak 2003 Sitorus telah menandatangani surat pernyataan bahwa: "rumah yang saya bangun di wilayah RT 35 Gunung Bulu, Badut Lor, Argorejo, Sedayu, Bantul 'hanya untuk tempat tinggal'"

Kedua, ia menyatakan "pembangunan akan saya lanjutkan setelah IMB selesai". Kemudian dalam penutup surat itu terdapat kalimat "apabila ada penyimpangan dikemudian hari dari pernyataan saya ini, saya bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku".

Dalam salinan surat pernyataan yang ditunjukkan Samsuri tersebut ditandatangani Sitorus pada 10 April 2003. Selain itu, ada juga tanda tangan Ketua RT 34, Kepala Dukuh, Kepala Desa, Camat, Kapolsek, Danramil yang saat itu menjabat lengkap dengan cap dari instansi masing-masing.

Surat itu menjadi dasar penolakan terhadap aktivitas ibadah yang kata Samsuri, intens dilakukan di rumah Sitorus beberapa bulan terakhir. "Menurut kami Bapak Sitorus mengkhianati perjanjian yang telah disepakati," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Samsuri, warga ingin agar Sitorus kembali menaati surat pernyataan yang telah ia tandatangani. Dalam rapat RT, kata dia, warga ingin rumah milik Sitorus tidak lagi digunakan sebagai tempat ibadah.

"Keinginan warga agar tempat tinggal Pak Sitorus tetap menjadi tempat tinggal. Itu yang dikekehi oleh masyarakat kami," ujarnya.

Salah seorang warga Kampung Gunung Bulu Sunardi (59) mengatakan bahwa warga merasa dikhianati karena Sitorus telah melanggar surat pernyataan yang telah ia tandatangani.

"Kami tidak pernah melarang Pak Sitorus melaksanakan ibadah tapi kalau melakukannya di lingkungan Gunung Bulu kami masyarakat menolak," kata Sunardi.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Alexander Haryanto