tirto.id - Ada istilah pink collar work yang muncul pada akhir 1970 di Amerika Serikat dan lalu marak pada 1990an. Ia merujuk pada beberapa pekerjaan bidang jasa, umumnya didominasi perempuan, dan rata-rata upahnya lebih rendah dibandingkan upah pekerja laki-laki. Jenis pekerjaan ini di antaranya sekretaris, pramusaji, staf hubungan masyarakat, asisten rumah tangga, suster pengasuh balita, sampai stripper.
Sebagaimana pink collar work lainnya, profesi stripper sering kali dianggap bukan pekerjaan betulan. Profesi stripper juga tidak menjanjikan kemapanan karier. Tidak habis di situ, para stripper dihimpit dari banyak lini: tidak ada kontrak yang menjamin keselamatan pekerja, pemakai jasa yang sering kali berlaku seenaknya, upah rendah dengan serbaneka potongan, jam kerja tidak pasti, apalagi asupan gizi.
Maka itu, sejak pertengahan 1970-an, para stripper di AS dan Eropa berupaya membuat serikat profesi untuk memperjuangkan keadilan dan menghindari kekerasan di tempat kerja.
Perjalanannya tentu saja tidak mudah. Para stripper ingin pemerintah menetapkan aturan untuk membuat lingkungan kerja yang kondusif. Tapi, aspirasi itu tidak pernah dapat perhatian dari pemerintah atau lembaga legislatif. Pemerintah justru lebih ringan tangan memberi izin kepada para pengusaha yang ingin membuka strip club, meski prospek bisnisnya kini tidak terlalu moncer.
Pertumbuhan bisnis strip club, khususnya di AS, sempat menanjak pada dekade 1980-an hingga awal 2000-an. Kala itu, orang-orang kantoran bahkan biasa mengadakan pertemuan kerja atau sekadar cari hiburan di klub. Namun, seiring dengan maraknya pornografi daring, pertumbuhannya melambat.
Data dari lembaga riset pasar IBISWorld, sebagaimana diberitakan BBC, menunjukkan bahwa laba seluruh strip club di AS pada 2018 rata-rata merosot lebih dari 12 persen dibanding perolehan 2012. Pada 2012, strip club secara kumulatif bisa membukukan laba 1,6 miliar dollar AS. Sementara pada 2018, labanya merosot jadi 1,4 miliar dollar AS.
“Jumlah klub di kota-kota besar AS dan daerah selingkungnya juga menurun dalam beberapa tahun terakhir. [...] Jumlah klub di Atlanta telah menurun dari 45 menjadi 30 dalam 10 tahun terakhir,” tulis BBC.
Mahalnya Tarif Tampil di Klub
Terlepas dari proyeksi bisnis itu, para stripper tak berhenti memperjuangkan keadilan karena pekerjaan ini masih cukup menjanjikan. Bagi mereka yang minim pengalaman kerja atau berasal dari kelas bawah, penghasilan dari pekerjaan ini terbilang masih lebih baik dibanding kerja kantoran atau juga pink collar work lainnya.
“Pekerjaan ini memberiku kemandirian finansial, kebebasan, dan fleksibilitas. Tak kutemukan profesi lain yang menggaji perempuan lebih tinggi daripada laki-laki,” tulis mantan stripper asal New Zealand Leigh Hopkinson dalam opininya yang terbit di The Guardian.
Penulis Two Decades Naked ini berkisah, dia bisa keliling dunia sambil bekerja dengan jam kerja yang dipilihnya sendiri. Nilai minusnya, pemilik klub menetapkan tarif back wages alias biaya tampil yang semakin tinggi seiring waktu.
Kepada laman Stuff Leigh menuturkan, di pengujung kariernya, pemilik klub di Australia dan New Zealand meminta stripper membayar 100 dollar per malam agar dibolehkan tampil di sana. Di AS jumlahnya bahkan lebih tinggi, mencapai 140-180 dollar AS per malam. Padahal, tadinya biaya tampil tersebut hanya sekitar 20 dollar.
Tingginya tarif back wages ini termasuk hal utama yang diprotes oleh serikat-serikat stripper di AS beberapa tahun belakangan. Di mata para stripper, mereka adalah kunci sukses bisnis strip club sehingga pemilik klub tidak sepatutnya memungut biaya tampil yang terlalu tinggi. Terlebih, tip yang diperoleh para stripper juga mesti dibagi kepada sesama pekerja klub seperti manajer, bartender, disc jockey, pramusaji, hingga petugas keamanan.
“Saat ini, itulah hubungan kerja yang paling umum antara penari dan klub. Para stripper ibarat membeli hak untuk tampil dan mendapatkan tip. Tarifnya bisa bervariasi antara suatu klub dan klub lainnya,” tulis Susan Elizabeth Shepard, salah satu pendiri media untuk pekerja seks Tits and Sass, dalam esainya yang terbit di laman Vox.
Sistem ini tetap mengharuskan para stripper membayar biaya tampil, meski dia tidak dapat pelanggan. Dalam semalam, para stripper bisa mengeluarkan 200 dollar AS untuk klub.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh para stripper kepada klub adalah menjadikan mereka sebagai pegawai tetap. Dengan begitu, mereka bisa punya gaji bulanan, jaminan kesehatan, perlindungan dari tindak kekerasan yang dilakukan klien, jam kerja yang pasti, kenaikan harga layanan dansa yang disesuaikan dengan tingkat inflasi, dan uang lembur.
Dalam laporan komprehensif berjudul "Strippers are Doing it For Themselves", The New York Times mencatat bahwa para pemilik klub justru terlalu mengatur jam kerja, busana, dan tarif layanan privat sesuka hati, alih-alih memikirkan kesejahteraan stripper.
Untungnya, pengadilan AS cenderung berpihak pada stripper dalam beberapa kasus hubungan kerja. Jurnalis The Times Valeriya Safronova mencatat adanya kasus-kasus hukum yang menetapkan stripper sebagai pihak yang dirugikan dan hakim meminta pemilik klub membayar ganti rugi kepada mereka terkait biaya tampil di klub.
Namun, kasus-kasus tersebut tidak membuat seluruh pemilik klub berbenah diri. Pada Desember 2018, misalnya, serikat stripper di California mesti minta bantuan pengacara karena mereka tidak diperkenankan memegang kontrak kerja. Pemilik klub malah meminta stripper berhenti kerja jika mereka meminta dokumen kontrak kerja.
Pelecehan dan Diskriminasi Rasial
Selain persoalan back wages, pekerjaan stripper juga diberati oleh kasus pelecehan seksual. Salah satu kasus pelecehan seksual di strip club yang cukup menyita perhatian terjadi di Skin Gentlemen’s Club, Los Angeles. Seorang pekerja klub itu terpaksa menginformasikan pemerkosaan yang menimpa dirinya di sebuah papan reklame. Mirisnya, pemilik klub tetap tidak melakukan apa pun untuk melindungi pekerjanya.
Di Portland—sentra strip club di AS, 84 persen stripper pernah mengalami kekerasan seksual di klub. Bentuk pelecehannya macam-macam, mulai dari tindakan meraba bagian tubuh hingga pemaksaan hubungan seksual. Mirisnya, hanya 6 persen pemilik klub yang bersedia memfasilitasi pemulihan beban psikologis para stripper yang dilecehkan.
Selain itu, ada stripper nonkulit putih yang rentan didiskriminasi. Dalam disertasi berjudul "Neighboring in Strip City: A Situational Analysis of Strip Clubs, Land Use Conflict, and Occupational Health in Portland, Oregon" (PDF), Profesor Moriah McSharry McGrath dari Portland University menyebut bahwa stripper perempuan yang dianggap cantik dan menarik bagi pelanggan umumnya memiliki fisik laiknya boneka Barbie—langsing, berkulit putih, dan blonde.
Pandangan macam itu berpotensi membuat stripper kulit berwarna yang dipandang “kurang cantik” mendapat perlakuan diskriminatif dari pelanggan atau pemilik klub. Di samping stereotip itu, para stripper juga rentan dipandang sebagai “objek” yang bisa diperlakukan seenaknya.
Demi menekan maraknya kasus pelecehan, badan legislatif di Washington membuat aturan yang mewajibkan para pemilik klub memasang panic button di ruang pelayanan privat, memasukkan nama pelanggan bermasalah ke dalam daftar hitam, memberi pelatihan kepada stripper soal hak mereka dalam dunia kerja, hingga membentuk dewan penasehat yang anggotanya mantan stripper yang pernah bekerja di klub terkait.
Tapi, tentu saja belum semua daerah dan klub di AS punya aturan macam itu. Karena itu, perjuangan para stripper masihlah panjang dan mesti konsisten.
Keberpihakan dan Edukasi
Protes stripper terdahulu ikut memengaruhi keberpihakan pemerintah terhadap keselamatan stripper belakangan ini. Menurut penelusuran The Atlantic, keberpihakan otoritas terhadap para stripper mulai tampak pada 2012. Kala itu, pengadilan federal menetapkan pemilik Spearmint Rhino—salah satu klub besar di AS—bersalah dalam kasus penetapan back wages dan kontrak kerja.
Pengadilan federal mewajibkan klub itu mengembalikan dana sekitar 13 juta dollar sebagai wujud ganti rugi kepada 14 stripper. Di samping itu, klub juga diminta untuk mengangkat seluruh stripper sebagai karyawan tetap.
Meski begitu, bos Spearmint Rhino bergeming tidak mau menjadikan mereka karyawan tetap. Menurut catatan Susan Elizabeth Shepard, selama lima tahun berturut-turut, klub-klub besar di AS telah membayar jutaan dollar sebagai uang ganti rugi tarif tinggi back wages tapi mereka tetap saja menolak menjadikan stripper karyawan tetap. Di mata para bos klub, pembayaran denda masih lebih murah dibanding membayar gaji bulanan.
Namun, keberpihakan hakim tetap menerbitkan harapan dan memotivasi para aktivis dan stripper untuk terus bergerak. Paguyuban We Are Dancers, misalnya, terus mengedukasi para stripper di AS tentang hak mereka sebagai pekerja sejak 2012. Mereka juga membuat situs khusus untuk berbagi buku panduan hak dan kewajiban stripper yang diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Portugis, dan Rusia.
Situs-situs lain yang dimaksudkan sebagai sarana perlindungan bagi stripper di antaranya Strip Labor Rights dan Tits and Sass.
Muncul pula aplikasi seperti The Dancer’s Resource App yang memungkinkan penggunanya mengetahui sistem pembayaran back wages dan kondisi manajemen setiap klub hingga testimoni stripper lain tentang suatu klub. Aplikasi ini juga menyajikan informasi soal bagaimana pemilik klub memperlakukan stripper nonkulit putih. Stripper pun bisa mengisahkan pengalaman mereka dalam aplikasi ini.
Dalam studinya, McGrath turut mengungkapkan bahwa upaya-upaya dari level akar rumput ini mesti konsisten dilakukan. Pasalnya, perjuangan para stripper tidak bisa hanya dilakukan secara sporadis dan terbagi-bagi per klub atau daerah. Untuk memperkuat gerakan, serikat-serikat stripper perlu melebarkan solidaritas melampaui batas negara.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi