Menuju konten utama

Aku Kelabing Maka Aku Kurang Milenial

Daripada pergi kelabing setiap akhir pekan, anak milenial lebih suka menghabiskan uang mereka dalam sebuah perjalanan tak terlupakan yang pantas diinstagramkan; pergi ke restoran-restoran enak dan menonton pertunjukan-pertunjukan keren.

Aku Kelabing Maka Aku Kurang Milenial
Milenial kurang menyukai menghabiskan waktu di kelab malam. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan kelab malam di London dan New York dan beberapa kota besar lain gulung tikar. Bahkan di seluruh di dunia, ada perubahan besar dalam skena hiburan malam. Kunjungan orang ke bar terus mengalami penurunan dan diprediksi akan terus menukik tajam. Kelab malam perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Keuntungan penjualan minuman keras semakin berkurang dan pendapatan keseluruhan mereka menurun.

Di Amerika Serikat, industri hiburan malam di kini berdarah-darah. Lebih dari 10.000 bar tutup dalam satu dekade terakhir—puncaknya pada tahun 2014, per hari 6 bar ditutup. Menurut Nightlife Association AS, sekitar 6.500 kelab malam mengurangi jam operasi. Atlantic City di ambang kebangkrutan setelah 12 kasinonya gulung tikar tahun lalu.

Menurut majalah Forbes, di Eropa kondisinya tidak berbeda. Selama satu dekade terakhir, jumlah kelab malam di Inggris turun 45 persen dari 3144 menjadi 1733. Di Belanda, antara 2001 hingga 2011 turun hingga 38 persen.

Penyebabnya? Generasi milenial tidak tertarik dengan hiburan malam jenis lama. Generasi ini lebih suka minum di rumah. Ketika keluar malam, mereka tidak terlalu banyak menghabiskan uang. Menurut laporan terbaru Monitoring the Future, konsumsi alkohol remaja mencapai tingkat terendah sejak survei pertama kali dilakukan pada 1975. Tingkat konsumsi alkohol mahasiswa juga terus menurun selama tiga dekade terakhir.

Lalu apa yang generasi Y lakukan? Mereka banyak berpartisipasi di acara-acara yang bebas alkohol. Ketika mereka minum, mereka lebih suka ke bar yang ada arena bermain. Sisanya lebih banyak yang memilih waktu berkualitas di rumah: menekuni hobi memasak atau merajut, bercanda tawa bersama keluarga atau teman-teman dekat.

"Secangkir teh dan sepotong biskuit di depan televisi lebih nyaman daripada menunggu dilayani di kelab malam," ujar Brie, 21, asal Sheffield.

Cerita Brie ini dihimpun The Guardian dalam survei anak milenial (usia 18 sampai 35) tentang hubungan mereka dengan hobi yang dulu kelihatan keren: kelabing alias dugem.

Dari 196 responden, 131 lebih memilih menghabiskan waktu di rumah daripada ke kelab malam. Sebanyak 70 responden menyatakan kurang tertarik kelabing, hanya 45 yang bilang sebaliknya—tidak semua responden menjawab pertanyaan ini.

"Mengapa harus berdesakan di sebuah kelab bau keringat, terbatas pada satu kegiatan yang tak ada artinya, kalau saya bisa melakukan lebih banyak hal di rumah dengan uang yang lebih sedikit dan dengan nilai budaya yang jauh lebih besar?" kata Lucy, 25, dari London

Mengapa anak muda hari ini tidak lagi tertarik pada kelab? Ada 98 orang yang mengatakan bahwa generasi mereka kurang tertarik bertatap muka dengan kenalan baru karena sudah ada media sosial, hanya 33 lainnya yang cukup tertarik.

"Menurut saya kelab malam bikin pening, dengan semua kebisingan dan keributan dan keramaian orang,” kata Dave, 19, asal York. “Jauh lebih mudah dan lebih nyaman bagi saya bicara dengan kenalan di Skype atau Facebook daripada memaksakan diri ke dalam situasi yang tidak nyaman dan menakutkan."

Banyak anak muda, seperti Dave, sekarang lebih memilih berleha-leha daripada keluar malam. Mereka hanya mau bertemu orang baru melalui platform kencan online seperti Tinder. Terima kasih, Tinder!

Ashley, gadis 21 tahun yang tinggal di London punya alasan keamanan. "Sebagai seorang gadis, pergi ke kelab bisa sangat mengganggu dan kadang-kadang menakutkan jika Anda terus-menerus harus menghindari orang mabuk yang mungkin mencoba untuk mengambil keuntungan dari Anda,” katanya. “Saya tidak perlu khawatir tentang itu jika tidak ke kelab."

Sementara bagi Kaley, 23, kelabing berat di ongkos: tarif taksi, biaya masuk, harga alkohol, dan dress code segala macam. Begitu pula dengan Michelle, 24, yang mengaku gemar pesta saat masih kuliah tapi sekarang lebih suka leyeh-leyeh di rumah. "Setiap orang perlu keluar malam, tetapi kan tidak harus di kelab yang boros," katanya.

Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan survei tirto.id, kecenderungannya sebelas-duabelas. Yang menjadi kecondongan global generasi milenial, juga berlaku dan ditemukan di sini. Dari 158 responden yang berpartisipasi, 42 persen mengaku lebih memilih beraktivitas di dalam rumah untuk menghabiskan akhir pekan; 32 persen yang menghabiskan waktu di luar (ke mal atau restoran) bersama teman atau keluarga; hanya 16 persen yang suka kelabing—sisanya, 11 persen, aktivitas lain-lain.

Dari semua responden tirto.id, 85 persen menyatakan tidak menyukai tempat-tempat hiburan malam setidaknya karena tiga alasan yang sama dengan responden The Guardian: 28 persen merasa tidak nyaman dan terganggu oleh suasana kelab yang gelap dan berisik; 25 persen mengaku tidak tertarik dugem (di antaranya bisa jadi karena faktor religiusitas); dan 13 persen menganggap kehidupan bar terlalu mahal.

Generasi milenial sangat berbeda dengan orang tua mereka, generasi X. Milenial tumbuh dewasa mengakrabi teknologi. Sejak dini mereka mengenal ponsel, up-to-date, rajin berinteraksi di media sosial, dan lebih suka menghabiskan uang demi pengalaman daripada materi.

Sekilas, melihat preferensi tersebut, milenial sepertinya cocok untuk bersenang-senang di berbagai kelab malam—atau bisa jadi demikian pikiran orang. Tapi kenapa kelab-kelab malam tidak bisa merangkul mereka? Jika milenial lebih mementingkan pengalaman daripada materi, bukankah kelab malam harusnya diuntungkan?

Banyak pengamat menilai, internetlah penyebab generasi ini lebih suka berleha-leha di rumah. Sementara Generasi X harus pergi ke kelab malam untuk mencari teman kencan baru, generasi Y mudah sekali mencari gebetan di media sosial sebelum memutuskan bertemu di tempat umum yang aman. Industri hiburan malam perlu menyadari kebiasaan baru ini.

"Anak-anak ini hanya ingin hidup di dunia pukimak kecil mereka sendiri; di kamar tidur menonton Netflix dan menjadi gemuk," kata seorang bartender yang marah karena barnya kosong-melompong di London.

Ketika anak milenial jalan-jalan malam, mereka tidak hanya mencari kesenangan mabuk sambil jingkrak-jingkrak, mereka ingin pengalaman yang shareable, yang dapat dibagikan di media sosial. Daripada pergi ke bar yang sama setiap akhir pekan, mereka lebih memilih menghabiskan uang mereka dalam sebuah perjalanan tak terlupakan yang pantas diinstagramkan: Pergi ke restoran-restoran enak dan menonton pertunjukan-pertunjukan keren.

Para pengusaha hiburan malam di Indonesia sepertinya harus mengatur ulang strategi mereka kalau masih mau menyasar anak-anak milenial. Kalau mau.

Baca juga artikel terkait GAYA HIDUP atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Maulida Sri Handayani