tirto.id - Akhir-akhir ini Yogyakarta kembali menjadi sorotan masyarakat setelah berbagai kasus intoleransi mengemuka, mulai dari penolakan terhadap warga non-Muslim yang hendak bermukim di perkampungan, hingga perusakan nisan salib pada 6 April lalu.
Kos-kosan dan perumahan khusus Muslim berlabel “syariah” juga mulai menjamur di Yogyakarta. Konsep hunian ini mirip dengan sebuah pedukuhan di Bantul yang menolak warga non-Muslim bermukim bersama warga lainnya.
Awal April lalu, Slamet Jumiarto menggugat praktik warga yang bersepakat untuk mensterilkan kampungnya dari pemukim non-Muslim. Setelah warga yang ditolak Pedukuhan Karet di Bantul itu beberapa kali menemui sejumlah aparat pemerintahan, mediasi akhirnya dilakukan dengan penduduk sekitar. Namun hasilnya tak memuaskan. Slamet dan keluarga akhirnya memilih menyingkir dari kampung diskriminatif itu.
Kehadiran kompleks-kompleks perumahan eksklusif Muslim, menurut Mohammad Iqbal Ahnaf, pengajar Program Studi Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dapat melemahkan modal sosial perdamaian di masyarakat.
“Jadi, kalau ruang publiknya membatasi orang untuk membaur, berarti itu adalah proses pelemahan modal sosial perdamaian kita. Selain itu, tempat seperti itu dapat menjadi lingkungan penyubur radikalisasi,” ucap Ahnaf.
Kondisi ini, imbuh Ahnaf, didorong oleh perubahan sosial masyarakat Yogyakarta yang semula berkultur agraris menjadi industrialisasi jasa. Pergeseran sosial secara demografis ini dipengaruhi oleh pendidikan karena Yogyakarta dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan di Indonesia.
Dari pendidikan ini kemudian tercipta kelas menengah Muslim yang berlomba meningkatkan kesalehan yang eksklusif, yang kemudian menjadi pasar bagi para penjaja produk dan jasa.
“Ada tren mobilisasi cukup agresif di kalangan kelompok-kelompok keagamaan tertentu, yang memang secara sengaja mencari tempat-tempat yang memungkinkan mereka membangun konsentrasi hunian berdasarkan keyakinan mereka,” imbuhnya.
Selain meningkatnya jumlah perumahan "syariah", pendidikan berbasis Islam yang eksklusif juga tumbuh pesat. Beberapa sekolah hanya menerima murid Muslim, mulai dari lembaga pendidikan usia dini PAUD sampai SMA.
Awal Mula Gerakan Islamis di SMA Negeri
Selain di sekolah berbasis Islam yang hanya menerima murid Muslim, gerakan Islamis juga marak di sejumlah SMA negeri di Yogyakarta. Gerakan ini sebetulnya fenomena yang cukup luas di Indonesia sejak tahun 1970-an.
Hairus Salim dkk dalam Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta (2011) menuturkan gerakan Islamis di Indonesia menjamur akibat hubungan-hubungan terjalin dengan gerakan Islam di Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, dan Iran.
“Gerakan-gerakan yang membawakan agenda politik-ideologis ini diusung oleh anak-anak muda yang berbasis di perguruan tinggi. Perkembangan ini sekaligus menandai masuknya gerakan Islamis ke kampus-kampusnya,” imbuh Hairus Salim dkk.
Karena pada zaman Orde Baru pelbagai ekspresi politik tak mendapat tempat, akhirnya mereka bergerak secara klandestin lewat pelbagai kegiatan kultural dan sosial. Ladang dakwah dan pengkaderan tak terbatas hanya pada para mahasiswa, tapi juga menyasar anak-anak SMA lewat sejumlah organisasi ekstrakurikuler rohani Islam (rohis).
Dalam konteks Yogyakarta, kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi salah satu kampus pertama yang sangat berperan dalam gerakan ini.
Najid Kailani dalam “Kepanikan Moral dan Dakwah Islam Populer (Membaca Fenomena ‘Rohis’ di Indonesia” yang terbit di Jurnal Analisis, Vol XI, No 1, Juni 2011 menyebut gerakan ini terkait erat dengan kepanikan moral yang melanda masyarakat Indonesia karena budaya pop Barat dan Asia Timur mulai masuk.
Maraknya gerakan Islam di Timur Tengah yang kemudian dibawa ke Indonesia beriringan dengan serbuan budaya pop—melalui film, majalah, dan musik—mendorong sejumlah kalangan Muslim membuat budaya pop tandingan.
“Membanjirnya budaya pop yang menghantam remaja sejak tahun 1970-an sampai 1990-an bagaimanapun telah membuat sebagian kalangan Muslim khawatir,” tulisnya.
Dalam catatan Najib Kailani, kalangan Islam mula-mula membuat sejumlah majalah bernapaskan Islam seperti Annida yang menyasar anak-anak muda. Selain itu, mereka juga menerbitkan majalah Sabili dan Suara Hidayatullah yang target pembacanya lebih luas dengan artikulasi yang lebih keras.
Studi Najib Kailani tidak memastikan kapan fenomena rohis mulai masuk ke lingkungan siswa SMA. Namun yang jelas, kehadiran rohis kemudian menjadi semacam benteng bagi anak-anak muda Muslim terhadap serbuan budaya pop yang dianggap tidak Islami.
Secara politik, gerakan dakwah kampus sebagai pendahulu fenomena rohis di SMA-SMA, salah satunya (karena ada juga HTI) kemudian menjelma menjadi Partai Keadilan (kemudian PKS). Sejak itu kaderisasi ke tingkat SMA semakin masif dan bertahan sampai hari ini.
Dominasi dan Perlawanan
Penelitian yang dilakukan oleh Hairus Salim dan kawan-kawan, yang kemudian diterbitkan dengan tajuk Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta (2011) mengambil tiga sampel SMA negeri di Yogyakarta.
Penelitian etnografi yang dilakukan di tiga sekolah tersebut menemukan tiga corak respons berbeda terhadap gerakan Islamis yang bermula dari rohis sekolah masing-masing. Namun, dalam konteks intoleransi di Yogyakarta akhir-akhir ini, yang perlu ditekankan dari penelitian ini adalah usaha dominasi (dengan kadar yang bervariasi) gerakan Islamis terhadap ruang publik sekolah.
Nama ketiga SMA yang diteliti semuanya disamarkan. Para peneliti menggantinya dengan SMUN Rajawali, Merak, dan Merpati. Gerakan yang paling masif terjadi di sekolah Rajawali, sejalan dengan para alumni rohis SMA tersebut yang mencita-citakan agar sekolah menjadi “Rajawali Darussalam”.
Pergaulan sehari-hari yang bernapaskan Islam seperti menjaga hijab, menundukkan pandangan, dan salat dhuha saat istirahat, tak hanya dilakukan oleh anak-anak rohis, tapi juga hampir seluruh civitas akademika.
Menurut Alvian (salah seorang pengurus Majelis Perwakilan Kelas atau MPK) seperti dikutip Hairus Salim dkk, saat gerakan Islamis mencapai masa keemasannya pada 2002, kultur Islamis diterapkan di hampir seluruh aktivitas sekolah.
Pengenalan gerakan ini bermula saat siswa-siswa baru mulai masuk lewat program pra-mentoring di sela-sela kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS). Perubahan pola mentoring yang menampilkan kegiatan yang Islamis di sekolah ini berubah mulai tahun 2003. Sebelumnya, para panitia selalu dianggap sebagai tukang hukum yang menakutkan.
Cita-cita “Rajawali Darussalam” dijaga oleh Forum Angkatan atau Forum Underground yang bertugas membahas masalah-masalah yang terjadi di angkatan tertentu. Mereka secara rahasia mengumpulkan data dan melacak para siswa yang menurut mereka tidak menjalankan perintah agama.
“Semua yang kami lakukan karena kami merasa sebagai asbabul hidayah atau orang-orang yang mendorong agar teman-teman dan lingkungannya mendapatkan 'hidayah Allah',” tutur Alvian.
Berkembangnya kultur Islamis di sekolah Rajawali membuat sebagian siswa melakukan perlawanan. Dalam penelitiannya, Hairus Salim dkk setidaknya mendapatkan tiga poin bentuk perlawanan tersebut.
Pertama, wacana “tegel putih” versus “tegel merah”. Tegel putih artinya tempat berkumpul siswa 'alim' pegiat ekstrakurikuler yang di dalamnya ditegakkan adab-adab Islami. Sementara tegel merah diasosiasikan dengan tempat para siswa yang dianggap pemberontak yang pola pergaulannya bertolak belakang dengan kelompok pertama, alias menentang kultur yang terbangun di sekolah Rajawali.
Mereka menambahkan, salah satu celetukan yang muncul dari kelompok “tegel merah” sebagai bentuk penentangan terhadap kultur ini adalah: “Ini sekolah negeri, bukan sekolah Muhammadiyah”.
Perlawanan kedua adalah hadirnya sejumlah murid yang menolak mengenakan jilbab meski mereka Muslim. Dalam kultur sekolah Rajawali, mereka yang tak mengenakan jilbab kerap merasa terpinggiran dan tak bebas berekspresi.
Perlawanan berikutnya ditunjukkan dengan munculnya kelompok murid yang berjoget saat sebuah acara diselengarakan di aula sekolah. Panitia yang mengetahui ada murid yang berjoget kemudian menyalakan lampu dan mengeluarkan mereka dari aula.
Perlawanan terakhir adalah bersentuhan dengan 'non-muhrim' alias orang dari jenis kelamin berbeda yang tak sedarah. Saat wacana perlawanan untuk bersentuhan dengan non-muhrim menguat, rohis setempat buru-buru memajang tulisan di sejumlah dinding sekolah yang menyatakan bahwa aturan tidak bersentuhan dengan non-muhrim bukan berasal dari kultur sekolah Rajawali, melainkan bersumber dari Islam.
Meski tak sekuat di SMA Rajawali, gerakan Islamis di SMA Merak dan SMA Merpati sempat berjuang untuk mewujudkan kultur Islamis di masing-masing sekolah.
Jika dibandingkan dengan SMA Rajawali, kultur Islamis di kedua sekolah gagal terwujud karena perlawanan siswa lebih besar.
Di SMA Merak dan SMA Merpati terdapat kelompok siswa yang cukup besar dalam melakukan perlawanan tersebut, sehingga proses menciptakan kultur Islamis yang dilakukan rohis tidak berjalan optimal.
“Studi ini paling tidak telah menunjukkan bagaimana kecenderungan dominasi cara pandang tertentu terhadap anak muda Muslim ditandingi, dilawan, dipermainkan, dipertanyakan, dan akhirnya, dengan caranya sendiri, ditolak oleh mereka,” tulis Hairus Salim dan kawan-kawan.
Editor: Windu Jusuf