Menuju konten utama

Geng Motor Indonesia dan Amerika: dari Beda Motor Hingga Kriminal

Geng motor Indonesia: berisi remaja bermotor biasa yang haus pengakuan. AS: pengendara moge dewasa yang dinyatakan FBI sebagai kriminal.

Geng Motor Indonesia dan Amerika: dari Beda Motor Hingga Kriminal
Sejumlah tersangka di bawah umur yang diperankan Polisi bersama tersangka lainnya mengikuti pra rekonstruksi kasus penjarahan oleh kelompok geng motor di salah satu toko pakaian di Jalan Sentosa Raya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Selasa (9/1/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Pada Senin (5/3/2018) dini hari, Jalan Kemang Raya mencekam. Sekelompok orang yang mengendarai sepeda motor menyerang warga dan pengendara lain di sekitar Kafe Drong, Jakarta Selatan. Massa yang membawa senjata merusak fasilitas umum serta memukuli warga yang kebetulan sedang berada di lokasi.

Seluruh adegan terekam oleh video dan tak lama kemudian menyebar di media sosial. Dilansir dari Antara, penyidik Polres Metro Jakarta Selatan masih mendalami kasus ini dengan menganalisis 10 kamera pemantau (Close Circuit Television/CCTV). Ada 10 saksi yang akan diperiksa dengan intensif sebab berada di lokasi kejadian serta menyaksikan peristiwa penyerangan.

Mereka juga menelusuri kaitan insiden ini dengan penusukan terhadap anggota Brimob Bharada Yasri Abdulmas yang terjadi pada Minggu (4/3/2018) dini hari di lokasi yang sama. Ia ditemukan sudah terkapar dengan luka-luka yang diduga akibat sabetan benda tajam.

Tindakan kriminal oleh geng motor di Indonesia telah menjadi perhatian publik dalam beberapa bulan terakhir. Pada pertengahan Januari 2018, Polisi Sektor Caringin, Jawa Barat, mengamankan 10 anggota geng motor Brigez yang kerap mengganggu keamanan dan ketertiban warga Sukabumi. Usai menjalani pemeriksaan diketahui bahwa mereka pernah menganiaya korban dengan menggunakan batu dan kayu.

Dari kesepuluh anggota geng Brigez yang ditangkap, mayoritas di antaranya masih berusia remaja. Identifikasi ini serupa dengan usia rata-rata anggota geng motor di sekitar Jabodetabek yang diamankan kepolisian akibat bertindak kriminal.

Pada akhir Desember 2017 geng motor yang menamakan diri Jepang, akronim 'Jembatan Mampang', melakukan teror di toko Fernando Store di Jalan Sentosa Raya, Kota Depok. Para pelaku membawa senjata tajam menggasak puluhan pakaian bernilai total Rp13 juta.

Belum sampai 24 jam, aparat Polres Depok menciduk 26 pelaku, di antaranya masih di bawah umur serta kategori usia remaja.

Dalam catatan Tirto, sejak 2014 teror serupa pernah dijalankan beberapa anggota geng motor di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Mereka antara lain geng motor di Jalan Salemba Raya (Jakarta Pusat), geng motor Anak Stres 378 (Bekasi), geng motor Kancil (Depok), geng motor Tangki (Bekasi), geng motor Brigez, Moonracer, XTC (Bekasi), geng motor Buster (Bekasi).

Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin membedakan geng dalam tiga golongan: geng kekerasan, geng kriminal, dan geng retreatist. Geng kekerasan beroperasi dengan tujuan untuk menegaskan teritori dan wilayah kekuasaan. Metodenya dengan merusak kendaraan atau properti orang lain tanpa bermaksud merampasnya.

Geng kriminal menjalankan aktivitas dengan motif ekonomi seperti kelompok preman. Sementara geng retreatist adalah geng yang terbentuk karena kegagalan menjadi geng kriminal atau geng kekerasan. Biasanya aktivitas mereka mengonsumsi minuman keras atau narkoba.

“Kalau [penjarahan toko pakaian di Depok] spontan, masuk geng kekerasan. Untuk menegaskan eksistensi dan tidak berniat menguasai properti atau motif ekonomi,” jelasnya.

Sulhin mengatakan biasanya remaja yang bergabung menjadi anggota geng motor tidak memiliki orientasi kriminal. Kalau pun terlibat dalam tindakan kriminal, faktor pendorongnya lebih kepada reaksi atas lemahnya peran keluarga dalam membangun sistem kendali atas mental si pelaku.

Geng motor yang diisi remaja nakal menjadi ciri khas di Indonesia. Hal ini berbeda dengan para anggota geng motor di Amerika Serikat yang rata-rata beranggotakan orang-orang (khususnya pria) dewasa. Motif mereka, menurut catatan otoritas keamanan AS, juga bukan lagi dalam kategori geng kekerasan atau retreatist, tapi sudah di taraf geng kriminal.

Biro Investigasi Federal AS (FBI) menggolongkan geng motor yang berlaku kriminal sebagai “outlaws motorcycle club”. Geng-geng motor ini hobi menjelajahi jalanan di atas motor berukuran besar (motor gede/moge), biasanya berjenis Harley Davidson atau Chopper.

Istilah “outlaw” tidak disematkan karena anggota geng-geng motor AS pasti melakukan kejahatan, tapi mulanya karena mereka tidak tergabung dalam American Motorcyclist Association (AMA). Geng-geng motor “outlaw” pun tak mengikuti aturan main AMA karena tak jadi anggota.

Mereka menciptakan dan menjalankan aturan sendiri atas nama kebebasan. Aturan itu teramat ketat dan bangga, hingga mampu melahirkan subkultur tersendiri.

Dalam riset James F. Quinn bertajuk “Angels, Bandidos, Outlaws, and Pagans: The Evolution of Organized Crime Among the Big Four 1% Motorcycle Clubs” (2001), subkultur geng motor di AS bermula saat jutaan veteran Perang Dunia II muda pulang ke tanah air dan beberapa di antaranya merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sipil.

Mereka kemudian membentuk geng moge karena memang mampu membeli kendaraan akibat ekonomi AS yang tumbuh dengan baik pasca-PD II. Nostalgia bersama rekan prajurit lain di area tempur yang penuh adrenalin disalurkan dengan bergerombol menyusuri jalanan.

Loyalitas dibentuk dengan disiplin tinggi, sebab gaya hidup yang mereka tempuh juga berbahaya. Maklum, selain merayakan kebebasan, mereka juga pantang berkompromi ketika berhadapan dengan otoritas setempat.

Dalam perkembangannya AMA merasa khawatir dengan rekam jejak geng motor tipe “outlaw” karena aksi-aksi keonaran mereka hanya akan merusak reputasi AMA. Pada suatu ketika AMA pernah menyatakan 99 persen pengendara motor itu baik dan taat aturan hukum. Geng “outlaw” yang mendengarnya kemudian dengan bangga menyatakan diri sebagai yang 1 persen atau “one-percenter”.

Quinn menjelaskan bahwa geng-geng motor “outlaw” berubah mulai berubah menjadi sindikat kriminal sejak akhir 1960-an. Mereka saling memperebutkan wilayah untuk melakukan operasi pemerasan dan perdagangan ilegal—termasuk dalam perkembangannya, transaksi obat-obatan terlarang yang menjadi bisnis paling menguntungkan.

Infografik The big 4 Riders

Media AS sering memberitakan geng-geng motor “outlaw” terlibat dalam operasi kriminal di kelab-kelab malam, perdagangan barang curian, senjata api, pencucian uang, dan lain sebagainya. Mereka juga lekat dengan kelakuan tipikal geng-geng motor di seluruh dunia: berkelahi dan membuat keonaran di tempat umum.

FBI dan Badan Intelijen Kriminal Kanada menyebut ada empat geng motor “outlaw” dengan reputasi paling tenar di AS, yakni Hells Angles, The Pagans, The Outlaws, dan The Bandidos. Keempatnya disebut sebagai “Big Four” dan masing-masing mempunyai ribuan anggota. Tiga di antaranya, kecuali The Pagans, bahkan punya cabang di beberapa negara di luar AS.

Pemerintah California memasukkan dua tambahan yakni The Mongols dan Vagos Motorcycle Club. Dalam catatan Vox, kadang geng Sons of Silence juga ditambahkan dalam daftar. Sementara Departemen Kehakiman AS menyebut dua lagi: Black Pistons dan Vagos.

Sejarah mencatat bahwa permusuhan merebak di antara geng-geng tersebut. Yang paling tersohor adalah konflik antara Hells Angels dan The Bandidos. Quin mencatat The Mongols adalah geng motor “outlaw” yang mayoritas beranggotakan pria-pria Latin dan berpusat di Los Angeles. Mereka sedang menikmati reputasi yang cukup baik dalam beberapa dekade belakangan.

Reputasi itu antara lain karena The Mongols menjalin kolaborasi dengan mafia Meksiko dalam operasi narkoba gabungan. The Bandidos juga punya kaitan dengan Los Zetas, kartel narkoba asal Meksiko yang terkenal akan kekejamannya.

Baca juga artikel terkait GENG MOTOR atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf