tirto.id - Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang memperbolehkan korban bencana di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, untuk mengambil bahan makanan di toko-toko ritel menimbulkan kontroversi. Pernyataan itu seakan jadi legitimasi tindakan masyarakat mengambil barang di berbagai tempat.
Dalam konferensi pers Minggu (30/9/2018), Tjahjo mempersilakan warga untuk mengambil barang-barang di minimarket. Pemerintah akan menggantinya.
"Kami sudah perintahkan untuk Alfamart dan Indomaret itu sudah bisa diambil barang-barangnya. Catat semua apa yang diambil, diinventaris. Kami akan bayar itu semua," ujar Tjahjo, dikutip dari BBC Indonesia.
Tjahjo memang membantah bahwa apa yang dia katakan bukan bermaksud menganjurkan penjarahan. Ia juga menyebut kalau apa yang dilakukan masyarakat bukan menjarah.
"Ada toko di bandara yang rusak akibat gempa, makanan dan minuman berhamburan kemudian diambil masyarakat. Jadi bukan penjarahan. Saya melihat kejadian itu," kata Tjahjo Kumolo, Kemarin (30/9/2018).
Pagi tadi, bantahan itu kembali ia sampaikan di beberapa stasiun televisi. Ia menyampaikan bahwa pernyataannya dikutip secara tak lengkap oleh media.
Tjahjo menjamin kalau seluruh barang yang diambil akan dibayar secepatnya oleh pemerintah daerah. Ia juga menginstruksikan Pemda Sulawesi Tengah untuk menghubungi para pemilik toko untuk membahas pembayaran.
Dinilai Tidak Siap
Pada mulanya pengambilan paksa memang hanya menyasar toko makanan dan minuman. Hal ini dapat dimaklumi sebab dalam situasi chaos, dimana akses pengiriman bantuan menuju lokasi bencana sulit ditembus dan perekonomian lumpuh, mengambil paksa bahan makanan di toko-toko ritel merupakan usaha terakhir untuk bertahan hidup.
Masalahnya, kini yang diambil bukan hanya makanan dan minuman. Barang-barang elektronik seperti televisi, handphone, dan ban motor juga tak luput dari sasaran.Palu Grand Mall jadi salah satu pusat perbelajaan yang disasar warga.
Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher menyayangkan sikap Tjahjo Kumolo yang abai dengan akibat dari pernyataannya itu. Hal ini, menurut dia, adalah tanda bahwa pemerintah pusat dan daerah kurang sigap dalam menangani bencana alam.
"Masyarakat belum dapat respons dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam arti yang sangat cepat. Mestinya kan tingkat responsnya lebih cepat," katanya saat dihubungi Tirto, Senin (1/10/2018).
Salah satu bidang kerja Komisi VIII adalah sosial. Beberapa rekan kerja komisi ini adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Departemen Sosial.
Tjahjo boleh saja sebetulnya berkata demikian, kata Ali, tapi harus didahului dengan koordinasi matang dengan pejabat yang berwenang. Dari sana, Satpol-PP, BNPB Daerah serta kepolisian dan TNI bisa dimobilisasi.
"Jadi jangan warga disuruh datang dan mengambil. Tapi petugas yang membagikan," tambahnya.
Lagipula, kata politikus PAN tersebut, anggaran yang telah dialokasikan untuk penanggulangan bencana dan membantu para korban sudah lebih dari cukup. "Tahun 2018 ini ada Rp4 triliun lebih dana siap pakai di APBN," imbuh Ali.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memastikan dana siap pakai itu jumlahnya mencapai Rp560 miliar. Dana tersebut selalu tersedia dan dicadangkan oleh pemerintah untuk digunakan pada saat keadaan darurat bencana sampai dengan batas waktu keadaan darurat berakhir.
"Proses penganggarannya sedang berjalan sehingga itu kami setujui pada Sabtu (29/9) lalu. Hari ini juga sudah cair," ujar Sri Mulyani di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, pagi tadi (1/10/2018).
BNPB yang bakal menentukan akan dipakai untuk apa uang tersebut.
Pernyataan Tjahjo juga dinilai blunder oleh Roy N. Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Ia mengatakan apa yang dikatakan Tjahjo seakan melegitimasi masyarakat untuk bertindak di luar aturan.
Catatan mereka, penjarahan telah terjadi di 40 gerai Alfamart dan satu gerai Hypermart di Palu.
"Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri terkesan arogan dengan memberikan izin bagi masyarakat untuk mengambil barang di toko ritel yang ada di Palu dan Donggala tanpa koordinasi lebih dahulu dengan para pemilik usaha atau manajemen maupun menghubungi Aprindo sebagai asosiasi pengusaha toko modern," ujar Roy dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (1/10/2018).
Para pemilik toko ini juga termasuk korban. Dengan terjadi penjarahan dan tak jelas penggantiannya, kerugian mereka jadi berlipat ganda.
"Keputusan ini tidak mendidik masyarakat," tambahnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino