Menuju konten utama

Gembong-Gembong Narkoba Kelas Wahid

Menangkap gembong narkoba internasional ternyata tidak cukup untuk menghentikan peredaran narkoba dunia.

Pablo Escobar (tengah) pada tahun 1993. Foto/businessinsider

tirto.id - Aparat kepolisian Brazil berhasil menangkap Luiz Carlos da Rocha di Sorriso, Brazil pada Sabtu (1/7/2017). Pemimpin kartel kokain internasional itu sudah menjadi buronan selama 30 tahun. Ia mengelabui polisi dengan menggunakan nama samaran Vito Luiz de Moraes dan melakukan bedah plastik agar terhindar dari kejaran polisi.

Raja kokain asal Amerika Selatan tersebut, yang juga memiliki sebutan Cabeca Branca atau White Head, memproduksi kokain di lokasi yang jauh dari jangkauan polisi seperti di dalam hutan Bolivia, Kolombia dan Peru. Setelah itu, kokain tersebut diselundupkan ke Amerika Serikat dan Eropa.

Secara total, polisi memperkirakan bahwa raja kokain tersebut mampu menghasilkan sekitar lima ton kokain setiap bulan. Selain menangkapnya, polisi juga melakukan penggerebekan dan menyita sejumlah harta dan aset miliknya, seperti uang 10 juta dolar AS, peternakan, mobil-mobil mewah, pesawat terbang, dan beberapa real estate. Harta da Rocha ditaksir mencapai 100 juta dolar AS.

Selain sebagai produsen dan pemasok kokain, ia juga dituduh terlibat dalam sederetan tindak kekerasan di Sao Paulo dan di Rio de Janiero, Brazil. Polisi Brazil mengungkapkan bahwa saat melakukan aksi kekerasan, ia menggunakan pengawalan bersenjata yang dilengkapi mobil lapis baja dan senjata berat.

Tak hanya Luiz Carlos da Rocha yang ditangkap. Pada Juni lalu, seorang mantan legislator Meksiko, Lucero Guadalupe Sanchez Lopez ditangkap karena melakukan persekongkolan untuk mendistribusikan kokain bersama pemimpin kartel narkoba internasional Joaquin “El Chapo” Guzman.

Pihak kepolisian setempat telah melakukan penyadapan sejak 2013 dan menemukan bukti komunikasi Sanchez dengan El Chapo. “Baik dia maupun kami tidak tahu bahwa dia sedang diselidiki,” kata pengacara Sanchez, Francisco Verdugo, seperti dikutip La Times. “Jika dia mengetahui, dia tidak akan pergi ke sana.”

El Chapo adalah pemimpin kartel Sinaloa yang menjadi salah satu organisasi pengedar narkoba berskala internasional. Pada 2009, kartel Sinaloa dilaporkan menghasilkan 3 miliar dolar AS per tahun sehingga kekayaan bersih El Chapo mencapai 1 miliar dolar AS. Jumlah itu membuatnya berada di ranking 701 orang terkaya di dunia versi Forbes.

Mengetahui jumlah kekayaan El Chapo yang meningkat tajam, ia kemudian menjadi target utama pemerintah AS. Ia menjadi gembong narkoba yang paling dicari-cari oleh pemerintah AS. Akhirnya, pada Januari lalu, ia berhasil ditangkap. Pria berusia 59 tahun itu pun diekstradisi dari Meksiko ke Amerika Serikat dan ditahan dalam ruang isolasi di Manhattan, AS.

Amerika Latin memang menjadi kawasan yang banyak memunculkan gembong-gembong narkoba nomor wahid. Salah satu yang legendaris adalah Pablo Escobar yang berasal dari Medellin, Kolombia. Sangat lama ia menjadi incaran pemerintah AS. Ia adalah raja kokain yang pada 1980an, di masa puncak kejayaannya, mampu meraup 420 juta dolar AS per minggu. Pada dekade itu, kokain sedang merajai pasar narkoba di Amerika. Sebagian besar kokainnya pun diselundupkan ke Amerika dan itulah sebabnya ia menjadi buruan negeri Paman Sam.

Pendapatan yang tinggi dari bisnis gelap tersebut membuat Escobar bergelimang uang. Setiap bulan saja, ia harus mengeluarkan uang sebanyak 2.500 dolar AS hanya untuk membeli gelang karet guna mengikat tumpukan uang di tempat penyimpanan. Saking banyaknya, terkadang uang-uang itu pun hancur karena dimakan tikus.

Dalam menjalankan bisnisnya, Escobar tak segan-segan membunuh polisi, jurnalis atau mereka yang mencoba menghalangi bisnisnya. Ia juga menyuap polisi dan aparat pemerintah agar tidak dihalang-halangi saat melakukan penyelundupan. Ia juga menyuap para politikus dan pejabat pemerintah agar Kolombia tidak melakukan perjanjian ekstradisi dengan AS.

Sepak terjang gembong-gembong narkoba tak hanya di wilayah Amerika Latin. Khun Sa, yang pernah menjadi petinggi militer Burma (kini Myanmar), juga dikenal sebagai gembong narkoba di segitiga emas yakni Myanmar, Laos dan Thailand. Ia memulai bisnis opium sejak 1963. Pada 1980an hingga 1990an, bisnis Khun Sa diperluas dan mencapai AS.

The Drug Enforcement Administration mengungkapkan bahwa 45 persen heroin yang masuk ke AS berasal dari segitiga emas di Asia Tenggara tersebut. Alfred McCoy yang mencatat kebangkitan Segitiga Emas dalam The Politics of Heroin, menggambarkan Khun Sa sebagai satu-satunya panglima perang Shan yang menjalankan kartel narkoba dengan sangat profesional dan mampu mengangkut opium dalam jumlah besar.

Di Indonesia, pemerintah mencatat jika terdapat 60 jaringan narkoba. Bisnis narkoba di Indonesia membuat negara rugi hingga triliunan rupiah. Selain itu, sekitar 5 juta dari pengguna narkoba, 40-50 orang di antaranya meninggal setiap hari.

"Kerugian akibat penyalahgunaan narkoba mencapai Rp63,1 triliun. Sedangkan di Indonesia terdapat 60 jaringan (narkoba) yang beroperasi. Ini berarti rata-rata Rp1 triliun tiap jaringan," kata Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso, seperti dikutip Antara.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/07/04/narkoba--MILD-Sabit.jpg" width="860" alt="Infografik Sepak terjang gembong narkoba" /

Narkoba adalah masalah laten dunia. PBB sendiri membentuk badan khusus yang menangani soal narkoba yakni United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC). Di berbagai negara juga dibentuk badan nasional untuk menangani masalah ini, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) di Indonesia. Meski demikian, para gembong narkoba masih terus muncul, melakukan regenerasi dan terus menghantui penduduk dunia.

Keterbatasan jumlah personil sering dikeluhkan oleh badan-badan anti-narkoba. BNN, misalnya, hanya memiliki 4.600 orang personil yang masih jauh dari jumlah ideal yakni 74 ribu -- menurut kalkulasi Budi Waseso.

BNN juga mengalami keterbatasan terkait sarana dan prasarana dan teknologi. Selain itu, target rehabilitasi 100 ribu orang pada 2015 mengalami kegagalan. Hal ini, menurut Buwas, karena belum adanya standarisasi program dan metode rehabilitasi yang ditetapkan di Indonesia.

Problem lainnya adalah budaya korupsi yang kadung melembaga. Sudah menjadi praktik yang jamak gembong-gembong narkoba tersebut menyuap aparat pemerintah untuk memuluskan aksi-aksinya. Dalam kasus Indonesia, para gembong narkoba itu bahkan tetap bisa memproduksi narkoba saat sudah berada di dalam penjara. Praktik tersebut hanya bisa terjadi dengan keterlibatan pegawai, pejabat dan aparat pemerintah.

Sedangkan secara global, tantangannya adalah bahwa menangkap para gembong narkoba bukanlah hal yang mudah. Para bos kartel narkoba selalu memiliki cara menghindar dari jangkauan polisi, misalnya dengan operasi plastik hingga menyuap para penegak hukum.

Selain itu, dengan menangkap para pemimpin kartel narkoba, tidak serta merta mematikan bisnis narkoba tersebut. Sebab bisnis itu masih dapat dijalankan oleh anak buahnya, menurut Brian Kelly dari The Week.

Tak jarang, meski sudah ditahan, para gembong narkoba masih dapat mengontrol bisnisnya dari balik jeruji besi, seperti yang terjadi pada El Chapo yang masih mampu mengontrol bisnis kokainnya dari balik penjara. Atau seperti yang dilakukan oleh Freddy Budiman di Indonesia.

Sehingga tak heran jika peredaran narkoba terus berjalan. UNODC dalam laporan berjudul World Drug Report 2016 melaporkan bahwa secara global, sekitar 250 juta orang berusia antara 15 hingga 64 tahun tercatat menjadi mengguna narkoba pada 2014. Selain itu, ada 12 juta yang menginjeksi narkoba menggunakan jarum suntik yang membuat 14 persen dari mereka tertular HIV.

Laporan lainnya datang dari Global Financial Integrity yang diterbitkan pada Maret lalu. Laporan berjudul Transnational Crime and the Developing World menemukan bahwa secara global bisnis kejahatan transnasional mencapai 1,6 triliun hingga 2,2 triliun dolar AS setiap tahunnya.

Studi itu merangkum keseluruhan tindak kejahatan dan kemudian membaginya ke dalam 11 kategori kejahatan yang paling banyak terjadi. Perdagangan narkoba berada dalam posisi kedua sebagai tindakan kejahatan yang nilainya mencapai 246 miliar hingga 652 miliar dolar AS setiap tahunnya.

Posisi bisnis narkoba ini hanya kalah dari tindak kejahatan pemalsuan yang bernilai 923 miliar hingga 1,13 triliun dolar AS setiap tahun. Sedangkan tindak kejahatan lainnya seperti pembalakan liar, perdagangan manusia dan penambangan liar masing-masing senilai 52 miliar hingga 157 miliar dolar AS, 150 miliar dolar AS dan 12 miliar hingga 48 miliar dolar AS.

Laporan ini menunjukkan bahwa perputaran uang dalam bisnis narkoba masih sangat sulit dipatahkan oleh para aparat penegak hukum di berbagai negara. Kendati penangkapan demi penangkapan terus terjadi, namun lingkaran setan bisnis narkoba tetap saja berputar dan bergulir, bahkan semakin menguat.

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Zen RS