tirto.id - Pertanyaan mengenai kapan berakhirnya pandemi COVID-19 di Indonesia masih hangat dibahas di tengah masyarakat. Sudah setahun lebih sejak kasus Corona pertama dilaporkan. Jawaban dari pertanyaan itu erat hubungannya dengan perkembangan proses vaksinasi.
Sekitar empat bulan yang lalu, pada 13 Januari 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima suntikan dosis pertama vaksin COVID-19. Vaksin yang ia terima saat itu adalah CoronaVac buatan Sinovac. Penyuntikan tersebut mencetak sejarah sebab Jokowi adalah orang pertama yang menerima vaksin tersebut di Indonesia.
“Saya telah memerintahkan agar vaksinasi COVID-19 segera dilaksanakan di seluruh Tanah Air," tulis Jokowi di unggahan akun Twitter resmi miliknya pada hari yang sama.
Sejak saat itu, jutaan orang sudah menerima vaksin COVID-19. Salah satunya adalah R Jasminé, yang meminta namanya tidak disebutkan secara lengkap. R adalah juru bahasa isyarat di Jakarta yang telah menerima dosis keduanya pada 27 Maret 2021. Saat pertama kali mendengar bahwa vaksin sudah tiba di Indonesia, ia tidak berharap akan segera menerima suntikan vaksin.
Namun, pada tengah malam, R tiba-tiba mendapatkan formulir pendaftaran vaksinasi dari tempat kerjanya. Vaksinasi tersebut dijadwalkan untuk hari berikutnya.
“Jadi benar-benar cuma jeda 7 jam doang. Gue nggak kebayang bahwa mendadak ‘dangdut’ banget,” ungkap R kepada Tirto, Jumat (30/4/2021).
Cerita R hanyalah satu dari pengalaman warga yang telah menerima vaksinasi COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir. Namun, jalan Indonesia masih terjal. Menurut Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Soumya Swaminathan, diperlukan setidaknya 70 persen penduduk yang menerima vaksin untuk menciptakan kekebalan populasi (herd immunity) dan memutus rantai penyebaran virus COVID-19.
Karena itulah, di Indonesia sendiri, untuk menciptakan kekebalan populasi, pemerintah menargetkan untuk memberikan vaksinasi COVID-19 pada 181,5 juta orang selama periode Januari 2021-Maret 2022.
Lantas seperti apa laju cakupan vaksin COVID-19 di Indonesia saat ini dan apa saja tantangannya? Kemudian, apa saja yang bisa menjadi pembelajaran dari pengalaman Indonesia dan negara lain untuk kelanjutan program vaksinasi COVID-19 di Tanah Air?
Vaksinasi Masih Lambat?
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa vaksinasi di Indonesia direncanakan untuk berlangsung selama 15 bulan. Proses vaksinasi dibagi menjadi Gelombang I (Januari-April 2021) dan Gelombang II (April 2021-Maret 2022). Baru-baru ini, Jokowi bahkan menargetkan 70 juta penduduk Indonesia menerima vaksinasi per Juli 2021, seperti dilansir dari CNN Indonesia.
Gelombang I menargetkan vaksinasi untuk tenaga kesehatan, petugas publik dan penduduk lanjut usia (lansia), yang dibagi menjadi tahap I dan tahap II. Sementara itu, pada Gelombang II, pemerintah menargetkan vaksinasi untuk masyarakat rentan di daerah dengan risiko penularan tinggi dan masyarakat secara umum hingga mencapai 181,5 juta orang.
Menukil dari laman data vaksinasi Kemenkes, pemerintah menargetkan untuk memberikan suntikan dosis pertama vaksin COVID-19 pada 40,35 juta orang tenaga kesehatan, petugas publik, dan lansia. Gelombang I vaksinasi ini memang dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap pertama untuk tenaga kesehatan dan disusul tahap kedua untuk petugas lansia dan petugas publik.
Namun, realisasi dari Gelombang I vaksinasi ini masih jauh dari target. Total penduduk yang telah menerima vaksinasi dosis pertama baru mencapai 12,4 juta atau 30,7 persen dari target, per 30 April 2021. Artinya, dari total target vaksinasi penduduk Indonesia sejumlah 181,5 juta orang, baru 6 per 100 penduduk yang mendapatkan 1 dosis vaksin COVID-19.
Capaian vaksinasi dosis kedua lebih rendah lagi. Per 30 April 2021, baru 7,64 juta orang, atau hampir 19 persen dari total target, yang telah menerima suntikan vaksin COVID-19 dosis kedua. Dengan kata lain, baru sekitar 4 per 100 penduduk di Indonesia yang mendapatkan dua dosis vaksin Corona jika dibandingkan dengan target 181,5 juta orang.Menilik data terbaru dari laman Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, per 6 Mei 2021, jumlahnya belum jauh berbeda. Data menunjukkan bahwa 12,9 juta orang telah menerima suntikan vaksin dosis pertama dan 8,31 juta orang telah menerima vaksin dosis kedua.
Jika ditelisik menurut provinsi, per 29 April 2020, Bali, DKI Jakarta dan Yogyakarta menjadi tiga provinsi teratas dari persentase cakupan vaksinasi COVID-19 pertama dan kedua dibanding target total vaksinasi provinsi tersebut. Sebaliknya, Aceh dan Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara merupakan dua provinsi yang memiliki cakupan vaksinasi terendah untuk kedua dosisnya per tanggal yang sama.
Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan kepada Tirto (4/5/2021) bahwa keterbatasan stok vaksin di tengah kebutuhan yang besar menjadi salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia dari targetnya, meskipun tingkat vaksinasi di Indonesia relatif lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN.Data yang diolah dari publikasi saintifik Our World In Data menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi di ASEAN untuk proporsi penduduk yang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19, setelah Singapura dan Kamboja. Indonesia juga menduduki peringkat yang sama untuk jumlah proporsi penduduk yang menerima vaksin COVID-19 secara “penuh”, yakni dua dosis.
Lebih lanjut, gangguan distribusi vaksin memperlambat realisasi vaksinasi, baik distribusi dari luar negeri ke Indonesia, maupun distribusi vaksin ke berbagai wilayah di Indonesia. Masalah operasional pun menjadi faktor penghambat lainnya, seperti keterbatasan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana penunjang seperti puskesmas.Dicky menduga, pemahaman yang salah terkait vaksin COVID-19, kendala akses terhadap vaksin dan ketidakjelasan komunikasi menjadi beberapa penyebab rendahnya capaian dosis kedua vaksin COVID-19.
“Ada juga pemahaman mungkin yang salah dari masyarakat bahwa setelah satu suntikan, [penerima vaksin] merasa sudah aman,” kata Dicky.
Tantangan Pemerintah?
Kendala yang disebut Dicky tampaknya adalah sebuah realita bagi pemerintah.
“Sebagian masyarakat mendukung program vaksinasi COVID-19 ini, namun tidak sedikit yang meragukan efektifitas dan keampuhan vaksin COVID-19. Beberapa di antaranya bahkan menolak untuk diberi vaksin,” tulis Kemenkes pada 27 Maret 2021.
Survei Kemenkes, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNICEF dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) pada November 2020 menunjukkan, sekitar 65 persen responden menyatakan bersedia menerima vaksin COVID-19 jika disediakan pemerintah. Kendati demikian, 8 persen menolak vaksin tersebut dan sisanya (27 persen) menyatakan ragu dengan rencana pemerintah untuk mendistribusikan vaksin COVID-19.
Menjaga ketersediaan vaksin juga menjadi tantangan lainnya. “Kita ketahui bahwa vaksin ini rebutan di seluruh dunia, makin lama makin keras rebutannya,” ucap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi daring pada 18 April 2021
Budi menuturkan, jumlah vaksinasi harian turun dari 500 ribu suntikan menjadi 250 sampai 300 ribu suntikan pada bulan puasa akibat gangguan pasokan dari India. Pasalnya, India ingin memastikan stok vaksinnya mencukupi kebutuhan domestiknya terlebih dahulu di tengah jumlah kasus COVID-19 yang melonjak di negara tersebut.Pemerintah saat ini sedang mengantisipasi hal ini dengan memesan lebih dari 426 juta dosis vaksin COVID-19 dari empat merek, ujar Budi. Langkah ini diambil agar pengadaan vaksin tetap dapat berlanjut di kala ada salah satu pihak yang bermasalah. Kemenkes memperkirakan bahwa jumlah ini akan mencukupi hingga kuartal pertama di 2022.
Sementara itu, Budi dalam konferensi pers pada 23 April 2021 juga mengungkapkan, vaksin COVID-19 yang dibeli Bio Farma mencapai 26,2 juta dosis. Dari total tersebut, sekitar 18 juta dosis sudah disuntikkan, sehingga tersisa sekitar 8 juta dosis. Perlu dicatat bahwa jumlah suntikan harian sudah naik ke kisaran 350-400 ribu suntikan per hari."Jadi kalau 8 juta stok [vaksin dengan] 400 ribu [suntikan] sehari, kita punya stok sekitar 20 hari suntik. Agak mepet sebenarnya karena memang siklus produksinya Bio Farma untuk setiap kali menerima bahan baku itu 1 bulan," ucapnya dalam konferensi pers tersebut.
Kabar terbaru, PT Bio Farma juga sudah menyiapkan 16-18 juta dosis vaksin jadi COVID-19 pada Mei 2021, seperti dilansir dari Kontan.
Namun, di luar persediaan dosis vaksin, Budi pada konferensi pers 13 April 2021 juga mengakui bahwa pemerintah masih sulit untuk menjangkau lansia dalam vaksinasi nasional. Dari target sekitar 21,5 juta orang, baru 2,5 juta lansia yang menerima vaksin dosis pertama per 30 April 2021. Hal ini kontras dengan jumlah pekerja publik yang telah menerima dosis pertama, yang jumlahnya telah mencapai separuh dari target. Sementara itu, jumlah tenaga kesehatan yang telah menerima vaksinasi dosis pertama bahkan telah melebihi target dalam periode yang sama.
Laporan Tirto pada 21 Maret 2021 menunjukkan bahwa sebagian lansia memang menempuh jalan terjal untuk mendapatkan vaksin COVID-19. Kendalanya beragam, mulai dari ketidakjelasan jadwal, hingga keterbatasan dalam mengakses pendaftaran vaksinasi secara daring.
Kelanjutan Vaksinasi?
Menimbang target angka yang besar dan tantangan yang beragam, epidemiolog Dicky Budiman mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang target yang ia nilai akan berat untuk dicapai pada Maret 2022. Selain itu, ia menilai perlu adanya evaluasi antar daerah dari sisi pasokan, distribusi dan operasional.
Dicky menyarankan, penyampaian informasi terkait efektivitas vaksin sebaiknya disampaikan melalui capaian-capaian saat ini guna membangun kepercayaan masyarakat terhadap vaksin. Ia menilai pemerintah juga memerlukan strategi komunikasi yang tepat untuk menangani keraguan seputar vaksinasi di Indonesia.
Terakhir, pemerintah juga perlu melakukan penambahan jumlah penyedia vaksin di Indonesia.
“Bukan hanya puskesmas atau klinik, tapi juga dokter swasta, bidan praktek swasta dan lain sebagainya. Ini yang harus kita tingkatkan, tentu dengan melibatkan masyarakat,” ujar Dicky.
Pemerintah saat ini juga sedang mematangkan program Vaksinasi Gotong Royong, yang akan dilakukan oleh Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Bio Farma. Selain untuk mempercepat laju vaksinasi di Indonesia, program vaksinasi Gotong Royong juga memberi peluang bagi Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara dan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAS/KITAP).
Baca selengkapnya di artikel "Pemerintah Matangkan Vaksinasi Gotong Royong Pakai Sinopharm", https://tirto.id/gfhF
Selain Dicky, beberapa duta besar dalam konferensi tertutup yang dihadiri Tirto, Senin (4/5/2021), juga menanggapi kondisi vaksinasi di Indonesia. Duta Besar Irlandia di Indonesia, Olivia Leslie memuji cakupan vaksinasi terhadap tenaga kesehatan. Namun, ia menyoroti tantangan menjangkau daerah pedesaan di Indonesia serta keterbatasan suplai secara global.
“Pembelajaran yang paling diambil sistem medis kami adalah menjadi fleksibel. Jika Anda tiba-tiba memiliki banyak vaksin yang masuk, atau jika Anda perlu mengubah siapa yang menerima vaksin, Anda harus dapat melakukannya dengan cepat dan memastikan tidak ada yang terbuang, tidak satu menit pun terbuang,” ujar Leslie.
Duta Besar Uni Eropa di Indonesia Vincent Piket juga menjelaskan, berdasarkan pengalaman di Eropa, Indonesia perlu juga mendorong penambahan juga tenaga medis. Pasalnya, beban kerja tenaga kesehatan cenderung terlalu berat saat pandemi menerjang maupun pada saat vaksinasi berlangsung, baik di Indonesia maupun secara global.
Sementara itu, Duta Besar Belanda Lambert Grijns menilai tidak ada satu cara yang paling benar untuk menangani vaksinasi nasional sebab setiap negara memiliki kebijakannya masing-masing. Namun, ia mengingatkan bahwa vaksinasi membutuhkan waktu yang lama sebelum dapat memberikan perlindungan yang efektif.
“Berhati-hatilah dalam melonggarkan pembatasan [COVID-19] pada saat vaksinasi karena vaksinasi akan memakan waktu berminggu-minggu, mungkin berbulan-bulan, sebelum perlindungan ini benar-benar terbentuk,” tegas Grijns.
Pemerintah saat ini melakukan pelarangan mudik menjelang Idul Fitri, dari tanggal 6 Mei 2021 hingga 17 Mei 2021, dalam rangka mengurangi penularan virus COVID-19.
Editor: Farida Susanty