Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Gele Harun Nasution: Pahlawan Lampung Berdarah Batak

Lahir di Sibolga, Sumatera Utara, Gele Harun ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung. Ia memimpin perlawanan terhadap pendudukan Belanda dari ujung selatan Sumatera.

Gele Harun Nasution: Pahlawan Lampung Berdarah Batak
Ilustrasi Gele Harun Nasution, pahlawan Lampung.

tirto.id - Betapa sedih Gele Harun Nasution dan istrinya pada pertengahan 1949 itu. Di pedalaman Lampung Barat, putri kesayangan mereka sudah tidak sanggup bertahan lagi. Bayi berusia 8 bulan itu awalnya sakit, tetapi hidupnya tidak tertolong karena obat-obatan yang tak memadai, begitu pula stok makanan yang amat terbatas.

Gele Harun yang kala itu menjabat sebagai pelaksana tugas Residen Lampung memang sedang bergerilya. Bersama laskar rakyat dan warga Lampung, mereka menghadapi ancaman Belanda yang ingin kembali berkuasa. Gele Harun dan orang-orangnya terpaksa bermarkas di pedalaman untuk menghindari serangan musuh yang bersenjata lebih lengkap dan canggih.

Setelah penyerahan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada pemerintah Indonesia pada akhir 1949, karier politik Gele Harun berjalan mulus. Dari Residen Lampung, kemudian ke Jakarta sebagai anggota Dewan Konstituante, hingga anggota DPR-GR dan MPR-S.

Tahun 1968, masa tugasnya di parlemen berakhir. Gele Harun pun kembali ke Lampung dan kembali menjalani profesi lamanya sebagai advokat sampai wafatnya pada 4 April 1973, tepat hari ini 45 tahun silam. Pada 10 November 2015 lalu, pria Batak ini ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung.

Anak Sibolga Lulusan Belanda

Amiruddin Sormin dalam 100 Tokoh Terkemuka Lampung: 100 Tahun Kebangkitan Nasional (2008) menggambarkan sosok Gele Harun Nasution yang mudah dikenali. “Perawakannya sangat khas: berewokan, kepala plontos, dan (biasanya) ada handuk kecil yang melilit di leher. Teman seperjuangannya menjuluki dia Si Berewok” (hlm. 27).

Ditilik dari marganya, Gele Harun Nasution jelas berdarah Batak. Ia lahir di Sibolga, Sumatera Utara, pada 6 Desember 1910. Namun, Gele Harun justru akrab dengan Lampung sejak kecil. Ayahnya, Harun Al-Rasyid Nasution, yang berprofesi sebagai dokter, sudah lama menetap dan punya lahan yang sangat luas di Tanjungkarang Timur, Bandar Lampung.

Pertengahan dekade 1930-an, Gele Harun berkesempatan melanjutkan studi ke sekolah hakim tinggi di Leiden, Belanda, hingga memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Menjelang 1939, ia kembali ke Lampung dan membuka kantor bantuan hukum pertama di daerah itu.

Berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia yang digantikan pemerintahan militer Jepang berimbas pada karier Gele Harun di bidang hukum. Sejak 1942, ia ditunjuk sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang hingga 1947.

Pemimpin Darurat Lampung

Kondisi perang yang dimulai tidak lama setelah Indonesia merdeka seiring masuknya Belanda membuat Gele Harun terlibat langsung dalam kancah pertempuran. Ia memimpin Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Palembang kendati masih menjabat Ketua Mahkamah Tentara Sumatera Selatan yang diembannya sejak 1947.

Selain di Palembang, API juga berdiri di sejumlah daerah lain di Indonesia, termasuk di Lampung, Jakarta, Banda Aceh, dan seterusnya. Menurut Saleh As'ad Djamhari dalam Ichtisar Sedjarah Perdjuangan ABRI: 1945-Sekarang (1971), nama-nama seperti Chairul Saleh, Wikana, Pangeran Mohammad Nur, dan Nawawi Manaf juga pernah memimpin laskar perjuangan ini (hlm. 3).

Masa tugasnya sebagai Ketua Mahkamah Tentara Sumatera Selatan di Palembang harus terhenti pada 1948 setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda (de facto), Hubertus van Mook, memberi peringatan bahwa seluruh tentara RI, termasuk hakim militer, harus hengkang dari Palembang.

Gele Harun memilih pulang ke Lampung, bergabung dengan API pimpinan Pangeran Mohammad Nur. Tak lama berselang, Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Tak hanya di pusat pemerintahan RI di Yogyakarta, namun berdampak pula hingga ke berbagai daerah, termasuk Lampung.

Sejak akhir 1948, Belanda menduduki Tanjungkarang, ibukota Karesidenan Lampung. Kondisi ini membuat para pejabat Karesidenan Lampung saat itu, termasuk Rukadi selaku residen, menyingkir dari Tanjungkarang, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan.

Atas dasar itulah, seperti diungkap dalam Sejarah Daerah Lampung (1981), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Karesidenan, setelah bermusyawarah dengan para pimpinan partai politik, pada 5 Januari 1949 sepakat untuk mengangkat Gele Harun Nasution sebagai Kepala Pemerintah Darurat atau Pejabat Pelaksana Tugas Residen Lampung (hlm. 151).

Infografik Gele harum nasution

Dari Gerilya ke Parlemen

Tanjungkarang yang sudah dikuasai Belanda tidak mungkin lagi ditempati. Maka itu, Gele Harun berpindah-pindah. Dari Pringsewu, kemudian ke Talang Padang, hingga ke Way Tenong, kawasan hutan di pedalaman Lampung Barat. Di belantara Way Tenong inilah Gele Harun kehilangan bayi perempuannya yang sakit lalu meninggal dunia karena minimnya obat-obatan dan makanan yang layak.

Setelah menguburkan jasad putri kecilnya di tengah hutan, Gele Harun bergerak lagi karena posisi mereka sudah diketahui Belanda. Dari Way Tenong, seperti tercatat dalam Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Daerah Sumatera Selatan (1996), rombongan ini menaiki Bukit Kemuning. Mereka pindah lagi ke Pulau Panggung yang berada dalam rangkaian Pegunungan Bukit Barisan, lalu ke Sumber Jaya, Lampung Barat (hlm. 199).

Situasi mulai membaik setelah disepakatinya gencatan senjata pada 15 Agustus 1949 oleh pemerintah Indonesia dan Belanda. Gele Harun dan rombongannya memang sudah bisa keluar dari hutan dan turun bukit. Namun, mereka baru kembali ke Tanjungkarang usai pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Memasuki masa damai, terhitung mulai 1 Januari 1950, Gele Harun resmi ditetapkan sebagai Residen Lampung. Jabatan ini diemban hingga 7 Oktober 1955. Setelah itu, Gele Harun ke Jakarta untuk menempati posisi sebagai anggota Dewan Konstituante.

Sejak 1965, Gele Harun akhirnya masuk parlemen. Buku P.N.I. dan Perdjuangannja (1960) mencatat, ia menjadi anggota DPR Gotong Royong (DPR-GR) sekaligus Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR-S) mewakili Fraksi Partai Nasional Indonesia atau PNI (hlm. 279).

Setelah masa jabatannya usai pada 1968, ia pulang ke Lampung dan kembali menekuni profesi sebagai advokat, hingga wafat pada 4 April 1973 dalam usia 62. Empat puluh dua warsa kemudian, tepatnya 10 November 2015, Gele Harun, orang Batak bermarga Nasution itu, ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan