tirto.id - Patung Garuda Wisnu Kencana karya I Nyoman Nuarta setinggi 121 meter diresmikan Presiden Jokowi pada Sabtu, 22 September 2018. Tengara pariwisata Bali tersebut berdiri di Bukit Ungasan, Kuta Selatan, Badung. Dalam sambutannya, Jokowi menyampaikan bahwa patung tersebut merupakan mahakarya anak bangsa dan salah satu patung tertinggi di dunia.
“Pada malam hari yang indah ini saya sangat senang, bisa hadir bersama bapak ibu dan saudara-saudara sekalian menyaksikan mahakarya anak bangsa, patung Garuda Wisnu Kencana. Saya sebut mahakarya karena patung Garuda Wisnu Kencana adalah salah satu patung tembaga terbesar di dunia,” tuturnya seperti dilansir Antara.
Ia menambahkan bahwa tinggi patung Garuda Wisnu Kencana adalah tertinggi ketiga di dunia setelah The Spring Temple Buddha di Cina dan The Laykyun Sekkya Buddha di Myanmar.
Keberhasilan I nyoman Nuarta membangun patung raksasa tersebut dilalui dengan perjalanan panjang selama lebih dari 28 tahun.
Ide awalnya tercetus pada 1989 saat I Nyoman Nuarta bertemu dengan Direktur Jenderal Pariwisata Joop Ave. Orang yang kemudian menjadi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi itu mengusulkan pembangunan patung setinggi 5 meter dan rencananya akan ditempatkan di Bandara I Gusti Ngurah Rai. I Nyoman Nuarta, seperti dikutip Tempo, menyampaikan bahwa gagasannya bukan membuat patung setinggi 5 meter, tapi jauh lebih tinggi dan lebih besar.
Pada 1990, gagasan tersebut disampaikan kepada Gubernur Bali Ida Bagus Oka yang menyambutnya dengan antusias. Selanjutnya Gubernur Bali mengajak Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana untuk ikut urun rembuk tentang rencana pembangunan tengara tersebut.
Mahasiswa Protes
Kabar tentang rencana pembangunan patung berbiaya tinggi ini kemudian tersebar ke masyarakat luas, termasuk kalangan sivitas akademik. Pada 7 Juli 1993, 12 orang anggota delegasi Senat Mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar mendatangi DPRD Bali untuk mempertanyakan agenda tersebut.
Di hadapan komisi C DPRD Bali, mereka menyampaikan sejumlah pokok pikiran yang salah satunya adalah dana pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana sebesar 80 miliar sebaiknya dimanfaatkan untuk pembangunan bidang lain di sektor pariwisata atau untuk pengentasan kemiskinan.
“Bali memiliki Perda tata ruang yang menetapkan tinggi bangunan tidak melebihi pohon kelapa (15 meter). Dan kalau patung jadi dibangun, tidakkah ini bertentangan dengan Perda itu,” ungkap I.G.A.G.A. Widiana K. selaku pimpinan rombongan seperti dilansir Kompas (9/7/1993).
Pokok pikiran lain yang disampaikan delegasi Senat Mahasiswa Universitas Udayana adalah dari sudut pandang agama. Mereka mengkhawatirkan patung tersebut berdampak negatif bagi umat Hindu Bali yang rata-rata tingkat pendidikannya masih rendah. Mereka menekankan bahwa karena patung tersebut juga menjadi simbol dalam peribadatan Hindu, dikhawatirkan ada kalangan yang akan mendewakannya.
Protes Tak Digubris
Sejumlah saran dan pertanyaan dari para mahasiswa tak menggoyahkan rencana para penggagasnya. Pada 1994, Joop Ave, I Nyoman Nuarta, Ida Bagus Oka, dan Ida Bagus Sudjana menghadap Presiden Soeharto untuk mempresentasikan gagasan tersebut.
Menurut I Nyoman Nuarta sebagaimana dikutip Kompas (9/6/1997), Soeharto menyetujuinya dan setahun kemudian mulai mengolah lahan Bukit Ungasan yang merupakan bukit kapur sebagai land art.
Dalam Gatra edisi 6 Juni 1997, tiga tahun setelah disetujui Soeharto, dilakukan upacara penanaman batu merah bergambar “perlambang suci” sebagai tanda dimulainya proyek pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana.
Rangkaian upacara juga melibatkan ribuan warga dari berbagai usia, di antaranya puluhan remaja yang membawakan prosesi Baleganjur dan Baris gede. Mereka bergerak mendekati pondasi patung seluas 140x140 meter.
Sejumlah pementasan kesenian pun digelar pada malam harinya, yaitu kesenian Gandrung dengan membawakan fragmen berjudul Bedawang Nala Karya yang didukung 600 penari dan 1.000 punggawa yang diperankan anak-anak SD. Selain itu, ada juga tari kecak kolosal yang ditampilkan oleh 650 orang.
“Di tengah kegelapan, satu helikopter berkeliling menebarkan ribuan potongan kertas emas, diiringi riuhnya gamelan Bali yang magis,” tulis Gatra.
Terlaksananya upacara peletakan batu pertama bukannya tanpa pro dan kontra. Kalangan dari dunia pendidikan lagi-lagi mengkritisi pembangunan patung tersebut, salah satunya dilontarkan Nyoman Gelebet, pakar tata ruang dan dosen Fakultas Teknik Universitas Udayana. Ia berpendapat bahwa pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana kurang sesuai dengan kondisi Bali.
“Masa Sang Hyang Wisnu disuruh menjaga kawasan wisata,” tuturnya.
Empat bulan setelah upacara tersebut, musibah menimpa. Kepala patung Garuda Wisnu Kencana yang 60 persen sudah dirampungkan dan telah menghabiskan dana sebesar 400 juta rupiah terbakar di studio milik I Nyoman Nuarta di Bandung.
Api berasal dari percikan las yang menyambar plastisin atau lilin pembentuk model patung di rongga kepala patung yang terbuat dari kuningan dan tembaga. Api membakar kepala patung yang berukuran panjang 16 meter, lebar 6 meter, dan tinggi 12 itu dalam waktu 45 menit setelah datang petugas pemadam kebakaran.
“Kita ini kan tukang patung. Kalau sudah terkena musibah begini, ya bikin aja lagi. Saya bersyukur tidak ada korban jiwa, itu yang penting,” tutur I Nyoman Nuarta.
The Ning King Datang, Problem Duit Hilang
Krisis moneter yang menimpa Indonesia hingga berujung pada pergantian tampuk pimpinan nasional membuat pengerjaan proyek besar ini terhenti. Kepala burung garuda dan sosok Dewa Wisnu sebahu tak kunjung diselesaikan menjadi karya yang utuh.
Setelah belasan tahun terlantar dan membuat I Nyoman Nuarta sempat berpikir untuk tidak melanjutkan proyek karena berbagai persoalan, akhirnya pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana dapat dilanjutkan.
I Nyoman Nuarta yang tengah frustrasi karena proyek seni terbesarnya tak kunjung menemui titik terang bertemu dengan The Ning King, seorang pengusaha properti pemilik PT Alam Sutera Realty. Perusahaan tersebut lalu mengakuisisi patung Garuda Wisnu Kencana dari PT Garuda Adimatra Indonesia.
“Pak The percaya kepada saya untuk berinvestasi di dunia patung. Saya berterima kasih kepada beliau. Sekarang, saya tak punya saham, nol. Namun, tujuannya supaya Garuda Wisnu Kencana ini jadi,” tuturnya sebagaimana dilansir Kompas (4/8/2018).
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa Garuda Wisnu Kencana terdiri dari 754 modul atau kepingan besar yang membentuk potongan-potongan horizontal tubuh patung yang fungsinya untuk mempermudah pembesarannya.
Dalam catatan Kompas, teknologi pembuatan patung ini telah didaftarkan sebagai hak kekayaan intelektual di Departemen Kehakiman. Dalam pandangan Jean Couteau, peneliti kebudayaan asal Perancis, patung ini menunjukkan bahwa perpaduan seni, sains, dan teknologi berkembang baik di Indonesia.
“Cita-cita yang besar yang membuat kita berani bertahan. Kurang lebih Garuda Wisnu Kencana 5 kali berubah desainnya,” ujar I Nyoman Nuarta dalam konferensi pers di Restoran Jendela Bali pada 2013.
Menurut I Nyoman Nuarta, meski di Bali secara religius aliran Siwa lebih dominan daripada aliran Wisnu, tapi patung Garuda Wisnu Kencana merupakan yang paling khas dan umum, dan tema ini juga relevan di Jawa.
“Sudah ditemukan sejak abad ke-10 di patung dan relief, dan kebesaran warisan itu tetap diakui. Bahkan lakon-lakon pewayangan Jawa pun mengenal cerita Garuda Wisnu,” ungkapnya.
=========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 September 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan