Menuju konten utama

Gamawan Kembali Diperiksa KPK, Jelaskan Kronologi E-KTP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada Kamis (20/10/2016) untuk dimintai keterangan terkait kasus korupsi pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp2 triliun itu, KPK sebelumnya pada 12 Oktober silam telah memeriksa mantan Mendagri periode 2009-2014 itu.

Gamawan Kembali Diperiksa KPK, Jelaskan Kronologi E-KTP
Mantan Mendagri Gamawan Fauzi (tengah) memberi keterangan pers setibanya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/10). Gamawan Fauzi diperiksa terkait kasus pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP Elektronik). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada Kamis (20/10/2016) untuk dimintai keterangan terkait kasus korupsi pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp2 triliun itu, KPK sebelumnya pada 12 Oktober silam telah memeriksa mantan Mendagri periode 2009-2014 itu.

Berbicara kepada media sebelum memasuki gedung KPK, Gamawan menjelaskan mengenai kronologi pengadaan paket E-KTP 2011-2012 di bekas kementeriannya. Menurut Gamawan sebelum diajukan, anggaran pengadaan paket e-KTP tersebut telah dibahas bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di tempat Wakil Presiden Boediono.

"Jadi, kalau ada yang bilang Bu Sri Mulyani tidak ikut, itu bohong," kata Gamawan tanpa menyebut tanggal pelaksanaan rapat.

Seperti diketahui Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan pada 2005-2010, selanjutnya Sri Mulyani menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia pada 2010-2016.

"Pertama rapat itu di tempat Wapres, dibahas ada Menkeu, Bappenas, dan menteri-menteri terkait. Lalu saya meminta kalau bisa jangan Kemendagri yang mengerjakan ini. Saya kan orang daerah, tidak tahu seluk beluk Jakarta seperti itu," ungkap Gamawan.

Karena itu, terang Gamawan, setelah Rincian Anggaran Biaya (RAB) disusun ia meminta untuk diaudit oleh Badan Pengawan Keuangan Pembangunan (BPKP).

"Selesai diaudit BPKP, saya bawa ke KPK, saya presentasikan di KPK lagi. Saran KPK saat itu, “coba didampingi oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)”," tambah Gamawan.

Gamawan bahkan mengaku pendampingan kerja juga dilakukan BPKP, kemudian baru dimulai tender terbuka dengan masih didampingi LKPP, BPKP dan 15 kementerian.

"Malah saya tidak ikut, setelah itu tender, panitia lapor ke kami. Lalu saya minta, “apa kalian sudah yakin ini benar?” “Benar” kata mereka, dan “bertanggung jawab”. Saya belum yakin, saya kirim lagi berkasnya ke BPKP, untuk diaudit kemudian diaudit dua bulan oleh BPKP," jelas Gamawan.

Sebelum kontrak ditandatangani, Gamawan mengirim lagi kontrak ke KPK Polri, dan Kejagung.

"Kalau informasinya tidak ada KKN, bagaimana kami batalkan kontrak? Karena itu saya minta tolong ke KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Jadi, saya sudah sungguh-sungguh. Hanya sampai sekarang belum dijawab firm oleh KPK."

"Bagaimana kita mau tahu, terus diperiksa setiap tahun oleh BPK, lalu BPK memeriksa lagi dengan tujuan tertentu, tidak pernah ada temuan sampai sekarang tapi tiba-tiba, saya dapat kabar ada kerugian Rp1,1 triliun," ungkap Gamawan.

Menurut Gamawan, pengawasan sudah dilakukann secara ketat misalnya satuan harga diaudit oleh BPKP baru diberikan ke Kemendagri dan didampingi pula oleh BPKP dan LKPP.

"Kemudian saya presentasi lagi di KPK lalu ada dua saran KPK, didampingi LKPP, saya tambah malah sama BPKP."

"Kedua tender secara elektronik padahal waktu itu kita belum siap tender elektronik, kita kejarlah persiapan 15 hari. Maka di tender elektronik didampingi LKPP, terus juga sama BPKP. Sampai akhir tidak pernah ada temuan. Jadi saya commit dua kali diaudit BPKP, tiga kali diperiksa BPK, sampai terakhir tidak pernah ada temuan," tegas Gamawan.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Hukum
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH