tirto.id - Mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menjawab sebagian besar pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sidang kedua kasus korupsi e-KTP dengan kalimat, “Saya lupa,” dan “Saya tidak tahu.”
Misalnya, sebagian pertanyaan Jaksa KPK untuk Gamawan di sidang itu berfokus pada pertemuan antara Kemendagri dengan Komisi II DPR RI mengenai perubahan skema penganggaran e-KTP, yakni dari semula bersumber dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi APBN murni.
Tapi, jawaban Gamawan soal ini tidak gamblang. "Saya tidak tahu. Itu kewenangan DPR dan Kementrian Keuangan. Kemendagri hanya pengguna anggaran," kata Gamawan menjawab pertanyaan soal itu di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Kamis, (16/03/2017).
Jaksa KPK sempat meminta Gamawan menjelaskan alasan dia menyetujui perubahan skema anggaran tersebut. Pertanyaan Jaksa KPK juga berkaitan dengan kelebihan sisa pembayaran senilai Rp62 miliar berdasar temuan BPK di audit proyek e-KTP.
Namun, Gamawan beberapa kali menegaskan tidak mengetahui soal ini dengan alasan tidak memiliki kewenangan mengenai perubahan teknis penganggaran.
"Saya tidak tahu yang mulia. Itu bukan kewenangan saya. Saya tidak tahu. Kalaupun ada kelebihan ya sudah kembalikan saja ke anak buah saya," ujar Gamawan.
Begitu pula ketika Jaksa KPK bertanya ke Gamawan mengenai siapa saja anggota Komisi II DPR RI yang hadir di sejumlah Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kemendagri membahas penganggaran e-KTP pada kurun waktu akhir 2009 hingga 2010.
"Saya lupa, saya tidak ingat," Gamawan menjawab.
Jawaban Gamawan juga sama untuk pertanyaan Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar Butar mengenai pertemuan tertutup antara Kemendagri dengan Komisi II DPR RI yang membahas e-KTP.
Selain menyatakan tidak mengetahui ada pertemuan itu, Gamawan juga menjawab, "Di pengakuan saya (di BAP) tidak ada pertemuan dengan anggota DPR di kamar tertutup. Tapi, di tempat umum yang wartawan saja bisa mengaksesnya."
Di keterangannya yang lain, Gamawan mengatakan Kemendagri telah meminta KPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), untuk mengawal proses pelaksanaan proyek e-KTP.
Menurut Gamawan, KPK meminta ada pengawalan dari BPKP dan LKPP di proyek e-KTP. Sekjen Kemendagri juga bersurat ke LKPP dan BPKP untuk memantau proyek ini sejak awal prosesnya.
Saat itu, Gamawan mengimbuhkan, sempat ada perbedaan pendapat antara LKPP dan Pejabat Pembuat Komitmen di Kemendagri. Setelah ia melapor ke Wapres Budiono, pemerintah membentuk tim khusus yang memediasi penyelesaian perbedaan pendapat itu.
Anggota Majelis Hakim, Anwar berupaya mendalami keterangan Gamawan itu dengan pertanyaan mengenai pelaksanaan rekomendasi BPK terhadap kelebihan bayar di pengadaan e-KTP. "Lalu catatan BPK soal kelebihan pembayaran bagaimana?"
Gamawan menjawab, "Memang ada yang meyatakan bahwa ada kelebihan pembayaran dengan uang Rp 62 milyar. Saya katakan ke anak buah saya, kalau ada ya dikembalikan saja," ujar Gamawan.
Ia mengimbuhkan BPK juga menyimpulkan ada kelebihan bayar tambahan senilai Rp18 miliar dan juga sudah dikembalikan ke negara.
Di sidang ini, Gamawan bersaksi untuk persidangan dengan terdakwa dua mantan anak buahnya di Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Keduanya didakwa secara bersama-sama dengan puluhan pihak lain, termasuk Gamawan di dalamnya, menyebabkan pelaksanaan proyek e-KTP yang menelan dana Rp5,9 triliun, merugikan negara sebanyak Rp2,3 triliun.
Dakwaan Irman dan Sugiharto menyebut ada 38 pihak perseorangan dan korporasi yang menikmati duit korupsi e-KTP. Gamawan ada di daftar itu dan diduga menerima 4.500 dolar AS plus Rp50 juta. Di surat dakwaan Irman dan Sugiharto, yang meringkas berkas perkara keduanya menjadi 121 halaman, nama Gamawan Fauzi disebut sebanyak 40 kali.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Addi M Idhom