tirto.id - Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilihan umum memutuskan Pilkada tetap berlangsung tahun 2020 dengan penerapan protokol kesehatan. Satu yang gagal mereka perhitungkan: bila dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja banyak pelanggaran protokol, bagaimana jaminan hal yang sama tak terulang di masa Pilkada?
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat dalam tiga hari sudah ada 243 pelanggaran protokol kesehatan terhitung dari tanggal 4-5 September 2020. Penghitungan itu dimulai sejak pembukaan penyerahan dokumen pendaftaran calon kepala daerah ke KPU berdasar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 tahun 2020.
Pendaftaran seharusnya hanya diikuti ketua dan/atau sekretaris partai pengusung dan paslon yang akan berkontestasi. KPU sudah bersedia menyediakan siaran langsung lewat internet agar masyarakat dan massa pendukung dapat menyaksikan langsung. Tapi kerumunan massa dan pelanggaran protokol tetap saja terjadi.
Di Solo, misalnya, sehari sebelum pendaftaran, PDIP sebagai pengusung pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Gibran Rakabuming-Teguh Prakoso meyakinkan publik partainya tidak akan melibatkan banyak massa dan “memperhatikan protokol kesehatan.” Massa yang ikut paling hanya 30 orang.
Di hari yang ditentukan, Jumat (4/9/2020), keyakinan PDIP meleset. Sejak Gibran-Teguh berangkat dari kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Solo menggunakan sepeda onthel, massa sudah tidak terbendung. Sesampainya di KPU, simpatisan dan relawan pendukung Gibran-Teguh juga menanti di sana—tentunya dengan tidak mematuhi protokol kesehatan.
Contoh lain adalah saat pendaftaran paslon Wali Kota-Wakil Wali Kota Surabaya Machfud Arifin-Mujiaman pada Minggu (6/9/2020). Lagi-lagi ribuan massa berkumpul di kantor KPU Kota Surabaya. Massa kemudian terlibat saling dorong dengan petugas karena banyak yang memaksa ikut masuk ke dalam kantor KPU. Semuanya tak memperhatikan jaga jarak dan sebagian lagi tak mematuhi imbauan pemakaian masker selama pandemi.
Tak Berkutik
PDIP mengaku sudah melakukan tindakan preventif agar massa tidak berkerumun. Tentu salah satunya dengan imbauan, tapi toh nyatanya usaha itu gagal dan Ketua DPC PDIP Kota Solo FX Hadi Rudyatmo hanya mampu pasrah. Mereka tetap mendaftar dengan kerumunan massa di tengah pandemi COVID-19.
“Relawan sebenarnya sudah dilarang untuk hadir hari ini. Tapi mau bagaimana lagi, mereka kan juga punya kaki masing-masing,” kata Hadi setelah pendaftaran seperti dikutip Gatra.
PDIP juga punya rekam jejak buruk lainnya dalam menerapkan protokol kesehatan selama pendaftaran cakada. Pasangan Bobby Nasution-Aulia Rachman yang mendaftar sebagai calon Wali Kota-Wakil Wali Kota Medan juga diiringi oleh massa yang tumpah ruah. Lagi-lagi PDIP tak bisa berbuat banyak.
“Semua partai ndak ada yang bisa rem. Pilkada disebut pesta demokrasi, susahnya yang namanya pesta, ekspresi gembira, suka bikin lupa bahaya," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) PDIP Bambang Wuryanto sebagaimana dikutip CNN, Sabtu (5/9/2020). "Meski DPP Partai sudah bersurat, instruksikan protokol COVID-19 dan Peraturan KPU.”
Pernyataan pria yang kerap disapa Bambang Pacul selaras dengan pengurus Partai Golkar, Arif Fathoni. Partai berlambang pohon beringin ini menjadi pengusung pasangan Machfud-Mujiaman di Pilkada Kota Surabaya. Kendati imbauan sudah dikeluarkan, ujung-ujungnya tetap tidak dihiraukan massa.
“Rapat terakhir memang karena ini masa pandemi, kita ingatkan pendukung agar tidak mengantarkan, menggerakan kader dalam jumlah banyak,” kata Toni seperti dilansir Selalu.
Beberapa kepala daerah, semisal Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, juga sudah meminta agar tidak ada kerumunan yang dibawa saat pendaftaran kepala daerah. Sekali lagi, itu seperti sia-sia belaka.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyalahkan kepala daerah atas kegagalan mengatasi kerumunan massa ini. Sampai Kamis (10/9/2020), Tito sudah menegur 69 kepala daerah karena tak patuh protokol kesehatan dan 56 di antaranya adalah petahana yang kembali berkontestasi dalam Pilkada 2020. Teguran ini masih bisa bertambah seiring banyaknya laporan yang masuk ke Kemendagri soal pelanggaran protokol kesehatan.
Jika diringkas, solusi Tito mencegah pengulangan pelanggaran ini ada tiga. Pertama, mewajibkan kepala daerah untuk menandatangani pakta integritas menerapkan protokol kesehatan. Kedua, memberikan sanksi teguran atau bahkan pemberhentian dari jabatan. Ketiga, menunda pelantikan pemenang Pilkada dan mengharuskannya ikut pelatihan kepatuhan pada undang-undang yang diselenggarakan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendagri.
Target solusi tersebut juga dipecah menjadi dua. Solusi pertama dan ketiga untuk petahana dan calon kepala daerah yang baru. Sedangkan solusi kedua hanya bisa berlaku kepada petahana.
Masalahnya, bagi sebagian orang solusi tersebut tidak menimbulkan efek jera dan menghentikan potensi pelanggaran protokol kesehatan berulang di kemudian hari. Belajar dari pengalaman, ada tiga potensi kerumunan di tahapan pemilu: saat pengundian nomor, kampanye, dan pencoblosan paslon. Harus ada sanksi lebih tegas berupa diskualifikasi.
DPR sempat mengingatkan bahwa paslon yang melanggar protokol kesehatan bisa didiskualifikasi berdasar PKPU Nomor 6 tahun 2020. Tapi faktanya tidak semudah itu.
Dalam PKPU 6/2020 Pasal 11 ayat (1) KPU menyebut “Setiap penyelenggaran pemilihan, pasangan calon, tim kampanye, penghubung pasangan calon, serta para pihak yang terlibat dalam pemilihan serentak lanjutan wajib melaksanakan protokol kesehatan […] paling kurang berupa penggunaan masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu.”
Artinya, jika sudah memakai masker maka pihak-pihak yang disebutkan di atas sudah dianggap menerapkan protokol kesehatan. Padahal bisa jadi ada pelanggaran lain seperti nihil jaga jarak dan tetap menyentuh satu sama lain.
Lanjutan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan KPU bisa menegur pihak-pihak yang bersangkutan dan pada ayat (3), bila teguran tidak dipatuhi, maka KPU bisa mengenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Permasalahan yang muncul dalam pendaftaran Pilkada 2020 kemarin, pelanggar protokol kesehatan kebanyakan adalah massa pendukung, relawan, atau simpatisan yang belum tentu masuk dalam deskripsi Pasal 11 ayat (1) PKPU 6/2020. Jika mereka masuk dalam aturan pun, maka yang bertanggung jawab bukan paslon peserta Pilkada 2020 atau partai pengusung, tetapi secara pribadi.
Tidak ada sanksi yang memberatkan paslon peserta Pilkada 2020 pelanggar protokol kesehatan atau menimbulkan kerumunan yang melanggar protokol kesehatan.
Lagi pula KPU juga sudah menyatakan bahwa frasa “mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku” sebenarnya merujuk pada UU Nomor 10 tahun 2016 yang dibuat sebelum pandemi.
Betapapun calon kepala daerah melanggar protokol kesehatan, mereka tidak bisa didiskualifikasi dari kontestasi karena memang tak ada aturannya.
Untuk opsi membuat aturan diskualifikasi, Mendagri Tito Karnavian baru menyampaikan pada KPU ada kemungkinan membahas agar sanksi itu bisa terealisasi. Dan apabila pendukung, simpatisan, dan relawan yang melanggar, apakah cakada ikhlas didiskualifikasi? Itu contoh satu pertanyaan yang mungkin harus dijawab jika aturan didiskualifikasi hendak dilegalkan KPU.
Pemerintah Terbelit Visi Sendiri
Dalam Pilkada 2020 akan ada 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang menentukan nasib daerahnya. Pada Juni 2020 dua provinsi berada di zona oranye dan 3 provinsi berada di zona merah, sedangkan 101 kabupaten dan kota masuk zona oranye dan 40 kabupaten/kota masuk dalam zona merah.
Ketika diakses pada 6 September 2020, Peta Risiko pemerintah menunjukan 17 kota masuk zona merah dan 20 lainnya di zona oranye. Untuk kabupaten, ada 18 yang masuk zona merah, 110 masuk zona oranye. Peningkatan jumlah kasus di Indonesia belakangan juga masih di atas 4.000 setiap harinya.
Sebagai perbandingan, di Selandia Baru, kendati kasus hanya bertambah 58 dalam satu hari, pemerintah memutuskan untuk menunda pemilu. Bagi mereka, pemilu justru memicu munculnya kemungkinan klaster-klaster baru.
Merunut ke belakang, ketika perdebatan Pilkada 2020 harus digelar tahun ini atau ditunda sampai tahun depan, Tito tampil sangat optimis. Dia berujar bahwa "justru dengan adanya Pilkada ini bisa menekan penyebaran COVID-19, dengan mengangkat isu COVID-19 sebagai isu yang paling utama dalam Pilkada ini. Jadi isinya mencari kepala daerah yang efektif bisa menangani COVID-19.”
Pendapat Tito kemudian diperkuat dengan argumen Kemendagri bahwa jika pelaksanaan Pilkada ditunda lagi, maka banyak kekosongan pejabat daerah yang sulit untuk diisi. Menko Polhukam Mahfud MD juga meyakini keputusan pemerintah dan DPR untuk Pilkada tanggal 9 Desember adalah yang paling tepat.
“Kalau menunggu kapan corona selesai juga tidak ada yang tahu, kapan corona selesai. Sedangkan pemerintah itu perlu bekerja secara efektif,” kata Mahfud seperti dikutip Kompas.
Pada 5 Agustus 2020 Jokowi juga menguatkan narasi pelaksanaan Pilkada 2020. Dalam rapat terbatas, Jokowi meminta dua hal berjalan beriringan. Pertama, Pilkada menjadi momentum peserta berinovasi dalam pemilu. Kedua, jangan sampai ada klaster baru.
Kedua hal ini nyatanya tidak bisa berjalan beriringan. Pilkada berjalan dan sekarang klaster Pilkada 2020 sudah di depan mata.
Dengan banyaknya pelanggaran protokol kesehatan, solusi yang ditawarkan Tito juga menjadi kontraproduktif dengan narasi pemerintah sebelumnya ketika hendak menjalankan Pilkada 2020. Alasan pemerintah: harus ada kepemimpinan agar penanganan COVID-19 berjalan baik. Selain itu, situasi akan tambah ruwet kalau terlalu banyak pejabat sementara (Pjs) atau pelaksana tugas (Plt) kepala daerah.
Sekarang, jika Tito menerapkan pemberhentian petahana lebih awal sebagai sanksi pelanggaran protokol kesehatan, mau tidak mau maka akan banyak sekali Pjs dan Plt yang harus bertugas dalam waktu cukup lama. Belum lagi, ancaman itu seakan-akan hanya pepesan kosong mengingat pada 27 September 2020 petahana harus cuti untuk ikut dalam masa kampanye.
Berikutnya, jika pelantikan kepala daerah ditunda dan mereka ikut pelatihan kepatuhan pada perundang-undangan, lagi-lagi ada kekosongan jabatan dan impian Tito “Pilkada ini bisa menekan penyebaran COVID-19” akan menjadi omong kosong belaka.
Padahal peran kepala daerah dalam menentukan kebijakan melawan COVID-19 di daerahnya sangat penting. Kekosongan itu malah bisa jadi senjata makan tuan karena kepala daerah justru tidak bisa bekerja.
Dilema lain, jika kepala daerah disanksi setelah menang tetap saja tidak akan menghentikan penyebaran virus COVID-19. Klaster Pilkada 2020 bisa muncul dari kerumunan tanggal 4-6 September 2020. Sejauh ini paslon yang berkontestasi dalam Pilkada 2020 dan mendaftarkan diri di tanggap tersebut sudah ada yang tervonis positif COVID-19.
Pemerintah boleh saja menimbang sanksi setelah pelanggaran susulan, tapi klaster baru tidak akan menunggu sanksi. Ia bisa muncul kapan saja saat pelanggaran protokol terjadi.
Satu kali pelanggaran protokol dan peluang klaster baru harusnya cukup menjadi tanda bagi pemerintah bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Padahal menunda penyelenggaraan Pilkada 2020 sangat mungkin dilakukan menilik UU Nomor 6/2020 mencatat Pilkada 2020 bisa ditangguhkan lagi apabila pandemi COVID-19 belum selesai.
Dan sekarang jawabannya jelas: COVID-19 belum selesai.
“Jika pemerintah, KPU, dan DPR tidak dapat memastikan protokol kesehatan akan dipenuhi secara ketat, kami mendesak agar tahapan Pilkada 2020 ditunda terlebih dulu sehingga pelaksanaan pilkada tidak menjadi titik baru penyebaran COVID-19,” kata Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati, Rabu (8/9/2020).
Editor: Ivan Aulia Ahsan