tirto.id - “Situasinya sangat buruk, karena Anda akan menyaksikan satu kamar tidur tanpa jendela diisi 30 orang.”
Pernyataan itu meluncur dari mulut Kesselly Kamara, pemain sepakbola muda asal Liberia. Kepada BBC, Kamara menceritakan pengalamannya menjalani hari-hari bersama Champasak United, kesebelasan sepakbola dari Laos. Namun, alih-alih memenuhi cita-cita Kamara menjadi pemain sepakbola profesional, Champasak justru menelantarkannya.
Reportase BBC yang bertajuk "Underage African footballers 'trafficked' to Laos" itu dikerjakan pada 2015 silam dengan bantuan FIFPro, organisasi pemain seluruh dunia yang sebelumnya telah melangsungkan investigasi selama empat bulan. BBC menelusuri jejak perdagangan dan perbudakan manusia dalam balutan sepakbola di Asia Tenggara yang dilakukan Champasak United.
Klub Divisi Utama Laos ini diketahui mengimpor 23 pemain berusia di bawah umur dari Afrika Barat melalui akademi sepakbola yang tidak terdaftar—dan tidak jelas juntrungannya. Enam pemain di antaranya—yang berusia 14 dan 15 tahun—bahkan tampil rutin di tim utama. Salah satunya adalah Kamara yang juga sempat mencetak gol untuk Champasak.
Para pemain ini dibawa oleh mantan pemain Liberia, Alex Karmo (yang juga pernah menjadi kapten tim Champasak) via IDSEA Champasak Asia African Football Academy. Mengingat tak ada akademi sepakbola di Liberia, mereka pun gembira menyambut tawaran Karmo. Harapan jadi pemain bintang layaknya George Weah bukan lagi angan-angan belaka—kira-kira seperti itulah yang mereka bayangkan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Para pemain ini dipaksa menandatangani kontrak enam tahun sebelum bermain di tim utama. Dalam kontrak itu, mereka dijanjikan gaji dan akomodasi. Akan tetapi, seperti yang diakui Kamara, selama lima bulan mereka tidak pernah diupah, tidak dapat akses kesehatan, dan harus tidur di ruangan dalam stadion beralas kasur tipis serta tanpa ventilasi. Rencananya, anak-anak Liberia tersebut akan disimpan dan "ditempa" terlebih dahulu sebelum akhirnya dijual ke klub lain dengan harga tinggi.
Sialnya lagi, mereka akan berstatus imigran gelap begitu masa berlaku visa mereka habis. Mengurus izin kerja pun mustahil mengingat usia mereka masih di bawah umur.
“IDSEA adalah akademi fiktif yang tidak pernah didirikan secara legal,” tegas jurnalis Liberia, Wleh Bedell. “Ini akademi yang tidak punya pelatih atau dokter. Karmo adalah pelatih, manajer bisnis, sekaligus orang yang mengurusi hal-hal lainnya. Sama sekali tak masuk akal.”
Atas desakan FIFPro, 17 pemain akhirnya berhasil dibebaskan pada April 2015. Walaupun begitu, enam anak di bawah umur lainnya memilih untuk tetap tinggal demi mengejar impiannya. Dalam peraturan FIFA, pada hakikatnya, setiap klub dilarang merekrut pemain di bawah usia 18 tahun.
Faktor Berantai
Dalam “Southeast Asia’s African Football Slaves” yang terbit di The Diplomat, Jeremy Leudi menjelaskan ada banyak faktor pendorong perdagangan manusia di Asia Tenggara dengan berkedok sepakbola. Di antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan upah yang lebih baik, regulasi FIFA, serta tingginya permintaan dari klub-klub Asia Tenggara.
Di kalangan anak-anak muda Afrika, ada anggapan bahwa profesi pesepakbola di klub luar negeri merupakan alat mobilitas sosial. Kondisi sepakbola domestik mereka sungguh memprihatinkan. Banyak tim lokal maupun regional yang tidak bisa membayar gaji pemain. Tiga dari empat pesepakbola Afrika bahkan berpenghasilan kurang dari $1.000 per bulan.
Melihat kondisi tersebut, cita-cita merumput di Eropa seperti Didier Drogba dan Mohammed Salah wajar adanya. Alasannya sederhana: Eropa mampu memberikan gaji yang ideal.
Namun, karena jalan menuju Eropa sulit dilalui dan penuh kompetisi, para pemuda Afrika ini pun menengok ke Timur, termasuk Asia Tenggara, di mana pemain-pemain asal Afrika menerima gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan di negara asal mereka. Seperti yang dituturkan dalam “Southeast Asia’s African Football Slaves,” klub Myanmar misalnya, menggaji pemain asing sebesar $9 ribu per bulan. Di Vietnam mereka digaji sekitar $80 ribu per tahun. Sementara di Indonesia, pemain asing bisa mendapat upah hingga $300 ribu per tahun.
Walhasil, eksodus pemain Afrika pun tak terhindarkan. Didukung kisah sukses dari rekan sepergaulan yang pernah merantau ke Asia Tenggara, niat mereka pun semakin kuat. Sebuah LSM bernama Culture Foot Solidaire mencatat sekitar 15 ribu pemain sepakbola bermigrasi dari Afrika Barat setiap tahunnya.
Potensi tersebut lantas menyuburkan keberadaan agensi abal-abal. Mereka mengklaim bakal membantu semua urusan administrasi (termasuk kontrak) pemain Afrika dengan klub-klub di Asia Tenggara.
Leudi juga menyoroti regulasi FIFA yang memungkinkan lahirnya agensi-agensi palsu ini. "Sebelum 2015," tulis Leudi, "FIFA mewajibkan semua agensi lulus verifikasi dan memperoleh akreditasi dari asosiasi sepakbola masing-masing negara." Namun, pada 2015, FIFA merevisi regulasi tersebut dan mengizinkan calon agensi beroperasi tanpa melalui mekanisme verifikasi dan akreditasi asosiasi sepakbola resmi. Alasannya, asosiasi-asosiasi sepakbola Afrika dianggap korup.
Kombinasi antara tingginya permintaan pemain asing di Asia Tenggara dan kemunculan agensi-agensi bodong inilah yang akhirnya mengorbankan pemain Afrika. Niat polos jadi pemain bola kondang justru dihancurkan oleh agensi. Ditipu, tak dapat klub, dan akhirnya terlunta-lunta sebagai pengangguran, gelandangan, residivis, serta tak jarang mati di tanah yang mereka impikan.
Emmanuel Koska, misalnya. Sebelumnya, Koska dikenal sebagai pemain Aigle Royal Menoua di Liga Kamerun. Posisi itu ia lepas untuk mengejar mimpi jadi pemain asing di Thailand. Seperti yang dilansir VOA, Koska menjual tanah ayahnya agar bisa berangkat. Sayangnya, Koska ditipu agennya. Tak ada pula tim di Thailand yang bersedia menampungnya dalam jangka waktu yang lama.
Koska tak sendirian. Di Kamboja, sekitar 23 pemain asing ditipu agen dan akhirnya dideportasi oleh otoritas setempat pada Mei 2017.
Memang ada yang beruntung dan sukses mencicipi kompetisi papan atas seperti Zah Rahan (pemain Sriwijaya FC dan Persipura). Namun, bagi yang apes, pilihannya tak banyak. Di tengah keputusasaan, kemiskinan, dan tenggat visa, pemain Afrika akan mengambil kesempatan apapun—termasuk bermain di klub kecil tanpa bayaran memadai—asalkan bisa bertahan hidup dan tak dideportasi. Situasi ini menyebabkan mereka rentan dieksploitasi.
Leudi mencontohkan, di Myanmar, pemain Afrika hanya dibayar $200 per bulan, setengah lebih tinggi dari harga sepasang sepatu bola. Masalah tak sampai situ saja; pemain Afrika yang sudah kehilangan hasrat main bola dan malu pulang ke negerinya, akhirnya memilih jadi kriminal demi menyambung hidup.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Pada 2016 silam, Kantor Imigrasi Kelas II Depok mendeportasi tiga pemain sepakbola asal Nigeria akibat berstatus melebihi izin tinggal (overstay). Seperti diwartakan Pikiran Rakyat, ketiga pemain tersebut antara lain Nwaneri Johnson, Anyanwu Ikechukwu Kennedy, dan Henry Chisom Iwu.
Kedatangan mereka ke Indonesia difasilitasi oleh agensi. Johnson, Kennedy, dan Iwu pun dijanjikan kesempatan bermain di klub nasional. Naasnya, kesempatan itu tak kunjung tiba. Ketiganya terpaksa pindah ke Depok yang biasa hidupnya lebih murah dan seraya bermain dalam kompetisi antar kampung (tarkam).
Kemudian ada Ndetou Blaise, mantan pemain Mitra Kukar yang ditangkap akibat penipuan bermodus penggandaan dollar pada 2017. Blaise mengaku melakukan aksi kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Darragh McGee, pengajar dari Universitas Bath, menyatakan bahwa FIFA harus meningkatkan program pendidikan serta mengkampanyekan kesadaran akan resiko migrasi dalam sepakbola. Tapi, yang tak kalah penting, tulis McGee, FIFA mesti "memulihkan rasa keadilan sosial dan akuntabilitas industri sepakbola selama ini telah didominasi elit tertentu."
Rantai perdagangan manusia berkedok sepakbola diperkirakan bakal terus terjadi. Mengutip “African Footballer Should Not Be Treated as Commodity?” yang dipublikasikan Michigan State University, mata rantai semacam ini dianggap menguntungkan tiap pihak yang terlibat. Si pemain bakal mendapatkan gaji lebih layak, agensi pun turut memperoleh keuntungan, dan masyarakat sekitar—terutama pemerintah—akan merasa bangga melihat warganya bermain di klub luar negeri.