Menuju konten utama

Franz Liszt, Superstar Pertama di Dunia

Jauh sebelum kemunculan Elvis Presley, The Beatles, atau Justin Bieber, pianis dan komposer Franz Liszt sudah memiliki basis penggemar yang kuat. Ia adalah superstar pertama di dunia yang mampu membuat fans-nya menjerit, bersorak, hingga beberapa ada yang pingsan saat menonton konsernya di era 1830-an. Lisztomania yang mewabah di Eropa pada abad ke-19 itu tak hanya didukung oleh bakatnya yang luar biasa, tapi juga wajahnya yang rupawan.

Franz Liszt, Superstar Pertama di Dunia
Lukisan Franz Liszt Fantasizing memainkan Piano (1840), karya Danhauser. [Gambar/wikipedia]

tirto.id - Pemandangan perempuan remaja berkumpul mengelilingi idolanya di atas panggung sambil berteriak, bersorak, menangis, hingga pingsan, adalah hal yang lumrah di era modern ini. Penyanyi pop dipuja bagaikan dewa bahkan dari satu gerakan tubuh kecil saja. Justin Bieber misalnya. Fans garis kerasnya yang dikenal dengan nama Belieber, histeris bak orang gila sejak Beiber pertama kali mengeluarkan suara. Apalagi saat penyanyi yang terkenal dengan single “Baby” itu membuka kaos untuk memamerkan tato yang melekat di sekujur badannya.

Elvis Presley di era 1950-an juga paham betul sensasi menjadi seorang superstar. Begitu pula Ringo Starr, George Harrison, Paul McCartney, dan John Lennon di era 1960-an. Keempatnya pernah menyebarkan virus Beatlemania ke seluruh dunia. Bukan konser The Beatles namanya jika tak diiringi oleh histeria massal dari penonton perempuan. Tipe konser yang amat sangat melelahkan bagi petugas keamanan yang mesti sesekali mengamankan fans-fans nakal yang berusaha menjamah sang idola.

Sejumlah pengamat musik menduga fenomena itu muncul di industri musik pop pasca Perang Dunia II. Namun, yang jarang diketahui orang, fenomena superstar dan histeria penontonnya itu rupanya telah ada sejak abad ke-19. Sang superstar pertama yang lahir ke dunia itu adalah seorang pianis sekaligus komposer legendaris bernama Franz Liszt.

Franz Liszt lahir di Hongaria, 22 Oktober 1811. Ia adalah seorang anak ajaib yang mulai memamerkan kemampuannya sejak usia muda. Ia pernah menjajaki sejumlah panggung di Wina, Paris, hingga ke London. Liszt tak hanya diberi bakat natural untuk teknik bermain piano. Ia memang memiliki daya eksplorasi yang kuat sebagai seorang komposer dan/atau konduktor, tetapi di sisi lain ia juga piawai membius penonton dengan gayanya yang khas saat berada di panggung.

Memasuki era 1830-an, Liszt telah mempersembahkan sekitar seribu resital dalam periode 8 tahun saja. Fakta ini, menurut penulis buku biografi Liszt Oliver Hilmes, adalah sebuah jumlah yang luar biasa. Akhirnya, performa yang konsisten dan konser yang memukau membuat nama Liszt terkenal. Secara tak sadar, ia juga membangun basis fans yang loyal dan cukup besar—meskipun tak terorganisir seperti sekarang. Para fansnya berangkat dari beragam kalangan serta memiliki perilaku yang unik.

“Dalam prosesnya, ia secara efektif menciptakan profesi pianis untuk konser level internasional. Saat ia sekali waktu berurusan dengan pihak berwajib, otoritas setempat bersedia memberikan uang jaminan agar Liszt bebas. Semua perempuan mendekatinya, dan sebagian lain mirip orang kesurupan. Media mainstream saat itu mengulas konser-konser Liszt dalam porsi tulisan yang panjang, bahkan untuk beberapa konser sengaja agak dipanjangkan mengingat Liszt saat itu sudah jadi seorang superstar,” kata Hilmes kepada BBC.

Liszt telah berubah dari seseorang dengan latar belakang keluarga miskin menjadi seorang selebritis. Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, kata “celebrity”, sebagaimana definisinya sekarang, pertama kali digunakan sejak tahun 1830-an atau era ketika Liszt mulai terkenal. Terlepas hal tersebut benar adanya atau hanya sebuah kebetulan, satu hal yang pasti, kala itu Liszt mendapatkan reputasi yang berbeda dibanding pianis lain.

Dalam sebuah konser musik klasik normal, penonton bersikap sopan, formal, kaku, dan mengapresiasi tepat di waktu-waktu tertentu. Persis seperti penonton musik klasik sekarang. Namun, situasi ini jarang ditemukan di konser Liszt. Keramaian dan bisik-bisik tetangga tak hanya terjadi saat konser, tetapi juga setelahnya. Terutama saat Liszt ke luar rumah untuk makan di restoran atau pergi ke tempat publik.

Sebagaimana diungkap Hilmes, “Penampilan Liszt sejak awal sudah menjadi bahan bisik-bisik di khalayak luas. Liszt, yang menurut fenomena musisi zaman sekarang, menyalurkan imajinasi erotis para perempuan tentang sosok laki-laki yang seksi. Imajinasi ini dulu masih dianggap tabu dan rahasia, tak seperti sekarang.”

“Menurut laporan koran saat itu, ada sejumlah perempuan yang lupa diri saking terpesonanya dengan sosok Liszt. Mereka dikabarkan sampai mengorbankan nama baik keluarga dan pendidikan mereka hanya untuk dekat dengan Liszt. Seorang saksi mengatakan ada seorang perempuan yang memungut cerutu Liszt yang baru dihabiskan setengah lalu dihisapnya sampai habis dengan ekspresi kegirangan. Perempuan lain mencoba untuk menyentuh gelas atau sapu tangan yang digunakan Liszt,” imbuh Hilmes.

Lisztomania dan Wajah Tampan Itu

Lisztomania mewabah di daratan Eropa di era 1840-1850an. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh penyair Jerman abad ke-19, Heinrich Heine. Menurut Dr Ruth Deller selaku Dosen Kepala di Jurusan Media dan Komunikasi Sheffield Hallam University (juga seorang pakar perilaku fans), perilaku fans fanatik hari ini berkesesuaian dengan perilaku fans fanatik yang dahulu terkena virus Lisztomania: berteriak, bersorak, dan pingsan.

Tak hanya dari sikap emosial, pengabdian fans Liszt saat itu juga serupa dengan yang sekarang. Mereka setia menonton pujaannya di manapun konser digelar. Kurang jelas juga apakah saat itu Liszt memiliki grupie, tetapi tak diragukan lagi bahwa ada sebagian fans perempuan yang tergila-gila dengannya dan bercita-cita untuk digaet sang bintang sebagai pasangan hidup (atau sekedar “cinta satu malam”).

Memang ada sejumlah perbedaan mendasar, misal, Liszt tak didukung promotor. Namun ramuan menjadi superstar sejak dulu dan sekarang tak jauh berbeda. Popularitas terdiri dari talenta plus kreativitas yang luar biasa, dipadukan dengan penampilan fisik yang istimewa. Pendek kata: kharisma. Dan beruntung, Liszt tak hanya dianugerahi bakat alam yang mengagumkan, tetapi juga wajah yang rupawan.

Jika Anda pernah menonton penampilan aktor Johny Depp di film What's Eating Gilbert Grape, Liszt mirip dengannya. Baik Johny Depp maupun Liszt, keduanya sama-sama memiliki hidung mancung, pandangan mata yang menusuk ke hati, dan bentuk rahang yang aduhai. Pesona itu makin lengkap dengan rambut panjang sebahu yang terurai rapi tetapi agak acak-acakan ke belakang. Dipadukan dengan jas yang elegan, Liszt adalah paket lengkap seorang superstar.

Jangan dilupakan juga, sebagai maestro, Liszt terkenal dengan karya-karyanya yang dianggap sebagai fondasi atas kreasi para komposer modern. Ia sejajar dengan legenda lain seperti Frédéric Chopin, Pyotr Ilyich Tchaikovsky, atau Johannes Brahms. Beberapa karyanya yang dikenang hingga sekarang adalah Hungaria Rhapsody dari bagian pertama hingga ke-19. Sedangkan karyanya yang paling populer di telinga masyarakat awam adalah Liebestraum atau The Dream of Love.

Meski sama-sama bergelar superstar, musisi zaman sekarang bagi Hilmes sangat jauh dibandingkan dengan Liszt. Kini hampir tak mungkin membawa musik klasik ke pentas industri musik populer. Sekarang juga banyak orang-orang yang populer meski hanya memiliki secuil talenta dan didukung oleh faktor sensasi dan uang saja.

Liszt beda. Ia adalah seniman yang lengkap dan memang pantas mendapat titel superstar. Untuk memudahkan perbandingan, Hilmer berkata, “Superstar hari ini akan nampak seperti anak ingusan yang masih makan bangku sekolah di hadapan seorang Franz Liszt.”

Baca juga artikel terkait KOMPOSISI MUSIK KLASIK atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Musik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti