tirto.id - Tak begitu banyak musisi klasik legendaris yang jalan hidupnya lurus dan tertib. Johann Sebastian Bach adalah salah satu dari yang tidak terlalu banyak itu.
Ludwig van Beethoven, misalnya, hampir dirundung kemurungan sepanjang hidup dan dikenal sebagai musisi temperamen. Sementara Wolfgang Amadeus Mozart gemar mabuk-mabukan, selalu kekurangan duit akibat gaya hidupnya, dan slebor bukan main.
J.S. Bach jauh dari atribut macam itu. Ia disiplin terhadap dirinya sendiri dan menjalani hidup sebagaimana lazimnya orang kebanyakan. Pendeknya, J.S. Bach adalah orang yang teratur.
Orang ini lahir di Eisenach, Jerman, pada 21 Maret 1685. Ia tumbuh besar dalam keluarga yang hampir seluruh anggotanya mencintai musik dan dikaruniai bakat yang cemerlang dalam bermusik. Ayahnya, Johann Ambrosius Bach, adalah direktur musik di kota tersebut. Ibunya, Maria Elisabeth Lämmerhirt, memang bukan musisi terkenal, tapi ia cukup andal memainkan beberapa instrumen. Semua paman J.S. Bach dari garis ayah adalah musisi profesional. Sementara beberapa sepupunya juga menjadi pemain musik terkenal.
Pasangan J.A. Bach dan Lämmerhirt punya delapan anak. J.S. Bach adalah adalah anak bungsu mereka. Sebagaimana diungkap Peter Williams dalam J.S. Bach: A Life in Music (2007: 12-14), ketika J.S. Bach berumur 9, ibunya meninggal. Delapan bulan kemudian, ia menjadi yatim piatu.
Si anak bontot ini lalu diasuh abangnya yang pertama, Johann Christoph Bach, seorang pemain organ gereja. Dari sang kakak lah J.S. Bach mulai belajar dasar-dasar menggubah komposisi. Ia juga diajari alat musik clavichord (piano zaman Renaissance).
Dalam masa pengasuhan sang kakak, dan pada usia yang sangat belia, ia serius mendalami karya-karya komponis besar Jerman, Perancis, dan, tentu saja, Italia. Di periode inilah ketajaman dalam mengenali warna musikal para komponis pendahulunya terasah.
Kesempatan menggeluti musik secara serius datang ketika J.S. Bach mendapat beasiswa untuk belajar di sekolah bergengsi bernama St. Michel di kota Lüneburg. Beasiswa ini diberikan bukan lantaran kepiawaiannya dalam bermusik, tapi justru karena suara soprano J.S. Bach yang merdu.
Di sekolah itu, ia mulai menemukan jalan bagi kariernya di masa datang: menggubah musik.
Menggubah Musik untuk Tuhan dan Masa Depan
Jika Mozart dan Beethoven sudah teramat populer dan bergaya sebagai selebritas di masa mereka hidup, J.S. Bach boleh dibilang obskur dibanding dua maestro itu. Karier musik profesionalnya bermula pada 1703 ketika ia diterima sebagai pemain biola di sebuah orkestra kamar yang tidak begitu terkenal di Weimar. Ia sebenarnya berharap menjadi pemain organ, tapi kesempatan itu tak kunjung datang.
Setelah itu, selama dua puluh tahun berikutnya, Bach berganti-ganti orkes dan berubah-ubah posisi. Ia memang tetap konsisten menggubah lagu di tengah kesibukan bermain musik. Tapi, musik yang ia ciptakan tidak mendapat sambutan baik. Toh, J.S. Bach tak pernah kecewa dengan penerimaan khalayak yang biasa-biasa saja. Ia terus menggubah lagu. Seorang jenius kadang-kadang memang perlu waktu untuk membuktikan diri.
Betapa “tersembunyi”-nya kejeniusan J.S. Bach, sampai-sampai ia pernah ditawari untuk menduduki jabatan direktur musik di Leipzig secara ogah-ogahan. Penguasa Leipzig mencari musisi nomor wahid dan dua orang nama teratas menolak tawarannya. Apa boleh buat, ketimbang terlalu lama kursi direktur lowong, ia terpaksa menunjuk J.S. Bach.
Malcolm Boyd dalam The Master Musicians: Bach (2000) mencatat, dalam rentang hidup yang cukup panjang, 65 tahun, J.S. Bach memproduksi lebih dari 800 komposisi atau setara dengan 1.500-an lagu (hlm. 228). Keseluruhan karya tersebut mencakup hampir semua genre yang populer di zamannya: kantata, fugue, prelude, konserto, overture, komposisi harpa, oratorio, misa, dan beberapa lainnya.Sebagian besar karya itu dipersembahkan untuk gereja dan puji-pujian kepada Tuhan. Ia memang penganut Lutheran yang saleh. Penuturan sejarawan Joseph Herl dalam Worship Wars in Early Lutheranism: Choir, Congregation, and Three Centuries of Conflict (2004) bisa menggambarkan betapa religiusitas J.S. Bach terekam jelas dalam musik-musik yang digubahnya. Ratusan karya sakral yang ia ciptakan, kata Herl, tidak cuma terdengar sebagai manifestasi atas keterampilannya, tapi juga memancarkan hubungan yang benar-benar intim dengan Tuhan (hlm. 123).
“Misa dalam B minor” bisa diambil sebagai contoh totalitas J.S. Bach dalam menciptakan karya untuk gereja. Ia merancang komposisi ini sejak 1714 dan hingga 1749, satu tahun sebelum meninggal, J.S. Bach belum sempat menyelesaikannya. Komposisi ini adalah salah satu lagu misa paling kolosal yang dimiliki gereja dengan tingkat kesulitan yang lumayan tinggi, sehingga jarang digunakan dalam pelayanan gereja.
Di masa J.S. Bach hidup—sebuah era yang dalam pembabakan sejarah musik klasik disebut “zaman Barok”—musik-musik “sulit” memang mulai bermunculan di mana-mana. Tapi musik dengan tingkat kesulitan seperti karya-karya J.S. Bach masih dianggap aneh bagi sebagian besar orang.
Saat itu, musik-musik yang terikat pada nada dasar (kunci) tertentu menjadi mainstream di kalangan musisi. Kelak, pola seperti ini bahkan dijadikan patron standar bagi musik populer di Barat. J.S. Bach mencoba keluar dari pakem tersebut. Ia menjelajahi gaya kontrapuntal—sebuah teknik bermusik yang memainkan dua melodi terpisah secara bersamaan dan terbebas dari ikatan nada dasar.
Orang-orang yang hidup di zaman Barok tentu saja merasa asing dengan gaya macam itu. Telinga mereka biasa dimanja karya-karya yang mengandalkan teknik permainan dan keteraturan nada. Musik gubahan Bach dianggap terlalu absurd, terlalu rumit.
J.S. Bach meninggal pada 28 Juli 1750, tepat hari ini 268 tahun lalu, di Leipzig. Bahkan hingga sampai saat meninggalnya, karya-karya yang ia hasilkan diabaikan banyak orang dan tetap obskur.
Karya-karya J.S. Bach mulai dilirik dan dianggap penting hampir setengah abad setelah kematiannya. Para komponis besar pasca-Bach seperti Joseph Haydn, Wolfgang Mozart, dan Ludwig van Beethoven mengapresiasi kejeniusan musisi saleh ini. Ketiga orang itu juga secara terang-terangan mengakui bahwa karya-karya mereka terpengaruh oleh musik yang digubah J.S. Bach. Sejak itulah orang-orang mulai ngeh dengan karya-karyanya.
Pada pertengahan abad ke-19, merebaklah demam terhadap karya-karya J.S. Bach di seluruh Eropa. Para sejarawan musik menjuluki periode ini sebagai “Bach revival”. Ia jauh lebih populer di zaman itu ketimbang di masa hidupnya.
Editor: Nuran Wibisono