Menuju konten utama
26 Maret 1827

Beethoven Mengubah Dunia Musik lewat "Simfoni Nomor 9"

Komponis tuli.
Mahakarya simfoni
lekat abadi.

Beethoven Mengubah Dunia Musik lewat
Ilustrasi Ludwig van Beethoven. tirto.id/Gery

tirto.id - Gedung Teater Kärntnertor penuh sesak oleh ratusan orang siang itu, 7 Mei 1824. Selebaran telah diedarkan ke seluruh penjuru kota Wina beberapa bulan belakangan. Isinya: sebuah simfoni akbar yang digubah seorang komponis besar akan dipertunjukkan untuk pertama kalinya.

Seluruh Wina tahu sang komponis sudah lama absen memimpin orkestra. Sejak dua belas tahun sebelumnya, ia memang memutuskan berhenti sebagai pengaba, menarik diri dari muka umum, dan lebih sering menyendiri di rumahnya.

Ia harus memilih keputusan yang berat itu sebab ketuliannya sudah mencapai ambang yang tak bisa ditoleransi. Ia tidak mampu lagi mendengar suara-suara, bahkan ketika seseorang mesti berteriak dari jarak satu hasta. Pendengarannya hancur karena penyakit yang diderita sejak usia 20-an. Pada umur 50-an, masa ketika konser di Kärntnertor itu dihelat, ia telah pekak sepekak-pekaknya.

Dalam masa kesepian dan kesendirian dan ketulian itulah ia mencurahkan seluruh kreativitasnya untuk menggubah musik. Dan karya-karya terbesarnya lahir justru pada periode ini.

Karya yang ia tampilkan hari itu adalah sebuah simfoni panjang, amat panjang, yang ditulis sejak dua tahun sebelum pertunjukan perdana tersebut digelar. Tentu saja orang-orang menanti dengan penasaran, musik macam apa lagi yang akan ia sajikan. Dua tahun sebelumnya, ia sukses mengganyah para pecinta musik di seluruh Kerajaan Prusia dengan Fidelio, satu-satunya opera yang pernah ia gubah.

Di dalam teater, orkestra besar sudah bersiap di atas panggung. Jumlahnya tak biasa untuk ukuran zaman itu: 24 pemain biola, 10 penggesek viola, 12 pemain cello, 12 penggesek bas, peniup brass dan wind yang berjumlah dua kali lipat, empat penyanyi, dan paduan suara yang berisi 50-an orang.

Ini tentu saja konser yang memberi kehormatan hakiki bagi para musisi dan penyanyi. Mereka mendapat kesempatan bermain langsung di bawah ayunan baton komponisnya, sang maestro Ludwig van Beethoven, sesudah dua belas tahun menyingkir dari gemerlap panggung musik Wina.

Hari itu, para penonton yang memadati Kärntnertor adalah orang-orang yang beruntung: mendengarkan “Simfoni Nomor 9 dalam D minor” karya Ludwig van Beethoven—komposisi musik terbaik dari abad ke-19—untuk pertama kalinya.

Tapi sebenarnya bukan Beethoven yang secara resmi memimpin pertunjukan itu. Michael Umlauf, Kappelmeister (kepala bagian musik) Teater Kärntnertor, pernah menyaksikan Beethoven memimpin gladi resik dan yang terjadi adalah kesemrawutan dan kebingungan luar biasa di antara para musisi. Seorang pekak, tentu saja, akan sangat sulit memimpin sebuah orkestra.

Akhirnya, Umlauf bikin keputusan yang melegakan para pemain musik. Seperti dicatat Nicholas Cook dalam Beethoven: Symphony No. 9 (1993), sang Kappelmeister memutuskan bahwa dirinyalah yang memimpin konser, sementara sang maestro berdiri mendampingi di sebelahnya. Semua musisi mengacu kepada aba-aba Umlauf dan concert meister Ignaz Schuppanzigh, bukan kepada ayunan baton Beethoven (hlm. 21-23).

Algemeine musikalische Zeitung, jurnal musik terkemuka zaman itu, yang menayangkan ulasan atas konser tersebut, melaporkan bahwa “Tuan Schuppanzigh mengarahkan biola, Tuan Kappelmeister Umlauf memberi aba-aba dengan baton, sementara sang komposer mengarahkan semuanya.”

Tentu saja “arahan” Beethoven tak bekerja. Ia memang melihat partitur di depannya dan menggerakkan baton ke sana-ke mari sembari membayangkan musik mengalun dalam pikiran, tapi aba-abanya jelas keliru. Kadang-kadang Beethoven tampak seperti orang kesetanan yang seolah-olah bernafsu memainkan semua alat musik di hadapannya. Ia lama berdiri, sesekali duduk atau menggoyang-goyangkan badan atau menampilkan raut muka aneh.

Kesaksian Joseph Böhm, salah satu pemain biola, yang dikutip Cook (hlm. 22) menggambarkan secara ringkas bagaimana polah Beethoven di atas panggung:

“[…] ia berdiri di depan stand pengaba dan bolak-balik seperti orang sinting. Pada satu momen, dia merentangkan tangannya, kemudian meringkuk di lantai, menghentak-hentakkan kaki dan tangannya seakan-akan ia ingin memainkan semua instrumen dan menyanyikan semua bagian vokal.”

Mengapa "Simfoni Nomor 9" Penting?

Beethoven menggubah "Simfoni Nomor 9" bermula dari pesanan Philharmonic Society of London (PSL) pada 1817. Ia menerima pesanan itu lantaran sedang kepepet butuh uang dan punya utang yang lumayan besar kepada beberapa kerabatnya.

Seperti diungkap Maynard Salomon dalam Beethoven (1997: 251), PSL terkesan dengan kedalaman karya-karya pria kelahiran Bonn, 17 Desember 1770 itu. Musiknya dianggap mewakili suara humanisme Eropa abad ke-19. Lima tahun kemudian, pada 1822, barulah Beethoven mulai menggarap komposisi tersebut secara serius.

Sang maestro menulis Simfoni Nomor 9 selama dua tahun—rentang waktu yang terhitung lama untuk pengerjaan sebuah komposisi. Tulisan di bawah tanda tangan yang tertera di partitur aslinya menunjukkan simfoni itu selesai pada Februari 1824.

Beethoven memang tipikal musisi yang lambat dalam menciptakan karya. Dibandingkan dengan musisi pendahulunya yang ia kagumi, Wolfgang Amadeus Mozart, Beethoven kalah jauh dari segi kuantitas karya yang dihasilkan. Dalam rentang umur yang begitu pendek (Mozart mati di usia 35), musisi asal Salzburg ini menghasilkan 626 komposisi yang terdiri dari beragam genre. Sedangkan Beethoven, sampai ia meninggal di usia 56, “cuma” memproduksi 65 komposisi dengan cakupan genre yang tak seberagam Mozart.

Obsesi Mozart memang menciptakan musik sebanyak-banyaknya. Setiap saat, di kepalanya terngiang-ngiang bebunyian instrumen yang ingin segera ia tuangkan ke dalam deretan notasi balok. Ia bisa menciptakan sebuah lagu dalam waktu kurang dari satu jam atau menulis simfoni penuh dalam waktu kurang dari seminggu. Mozart kadang-kadang tinggal menulis sebuah karya yang sudah selesai di dalam kepalanya. Karena itu, partitur orisinalnya kerap bersih dari coretan.

Beethoven, sementara itu, gandrung dengan kedalaman. Ia tidak bisa begitu saja menulis sebuah lagu dengan cepat. Semuanya lewat pertimbangan matang dan tata rencana yang teliti. Hampir tidak ada nada dalam seluruh karya Beethoven yang diturunkan secara untung-untungan. Sebab itulah partitur-partitur orisinal milik Beethoven penuh dengan coretan dan koreksi.

Simfoni Nomor 9 menunjukkan dengan jelas betapa obsesifnya Beethoven terhadap kedalaman dan intensitas musik. Dalam simfoni ini, ia seperti mengerahkan semua energi musikalnya. Komposisi ini memiliki durasi kolosal—hampir 70 menit—dan terdiri dari 4 movement:

  1. Allegro ma non troppo, un poco maestoso
  2. Molto vivace
  3. Adagio molto e cantabile
  4. Allegro assai

"Simfoni Nomor 9" yang dibawakan Herbert von Karajan dan Berliner Philharmoniker pada 1976. Karajan dianggap sebagai salah satu penafsir terbaik Beethoven dari abad ke-20. Interpretasinya atas "Simfoni Nomor 9" banyak diikuti dan menjadi patokan pengaba lain.

Dalam pembabakan sejarah musik klasik, era Beethoven lazim disebut zaman Klasik, di mana musik instrumental sedang berada di puncak kejayaan. Lebih tepatnya, Beethoven hidup di babak akhir periode itu. Para musikolog, salah satunya Grace Gridley Wilm dalam A History of Music (1940), berpendapat bahwa musik-musik Beethoven lah yang menjadi penanda transisi antara periode Klasik dengan periode sesudahnya, yang biasa disebut zaman Romantik (hlm. 197-204). Pada periode Romantik inilah musik-musik vokal dalam format opera mulai berkembang pesat. Dengan kata lain, Beethoven menjadi jembatan dua periode paling penting dalam sejarah musik klasik Barat.

"Simfoni Nomor 9" adalah penanda paling jelas dari masa transisi tersebut. Beethoven melahirkan beberapa terobosan baru yang tidak ada presedennya dalam periode Klasik. Struktur formal sebuah simfoni yang dianggap baku oleh para musisi zaman Klasik, misalnya, diterabas begitu saja oleh Beethoven. Ia juga memperpanjang skala simfoni dan memperluas jangkauannya.

Pada movement 1, meski Beethoven masih menyajikan gaya sonata ala zaman Klasik, ia membiarkan pendengarnya menikmati campur-aduk harmonis antara fortissimo yang menghentak dengan bagian akhir yang rada tenang.

Tidak berhenti sampai di situ, Beethoven malah menukar scherzo yang energetik pada movement ke-2. Lazimnya, di periode Klasik, scherzo ditempatkan pada movement ke-3.

Sementara di movement ke-3, sang maestro menyajikan nada-nada yang kalem dan tenteram, seakan-akan pendengarnya berada dalam suasana pastoral yang penuh doa-doa. Di sinilah terlihat ide visioner Beethoven dalam memperlakukan sebuah simfoni: menempatkan adagio pada movement ke-3, alih-alih di bagian ke-2.

Pada movement pamungkas, semakin tampak betapa Beethoven memang seorang jenius yang melampaui zamannya. Ia menambah unsur vokal (chorus) yang liriknya diambil dari puisi panjang karya Friedrich Schiller, “An die Freude”, atau yang lebih dikenal dengan judul “Ode to Joy”. Beethoven lah orang pertama yang secara kreatif memasukkan unsur vokal dalam sebuah simfoni.

Di periode yang sangat “instrumentalistik” itu, melibatkan vokal dalam simfoni adalah bidah. Tapi Beethoven berani melakukannya dan malah dianggap sebagai terobosan penting sekaligus berpengaruh bagi generasi musisi sesudahnya. Ia, lewat “Simfoni Nomor 9”, merambah segala kemungkinan yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh si jenius Mozart atau sang Bapak Simfoni Joseph Haydn—dua ikon paling agung dari zaman Klasik.

infografik mozaik beethoven

Kematian yang Ditangisi Banyak Orang

Movement ke-4 “Simfoni Nomor 9” tinggal beberapa detik lagi selesai pada premier 7 Mei 1824 itu. Michael Umlauf kian bersemangat mengayunkan baton pada bagian chrous, bagian paling akhir simfoni di mana bunyi semua instrumen dan vokal berada dalam power tertinggi.

Di sebelah Umlauf, sang maestro menunjukkan gelora yang lebih hebat. Ia setengah meloncat, bergoyang kian-kemari, sambil berusaha menyanyikan bait-bait sajak Schiller.

Beethoven masih terus mengayunkan batonnya. Ia tidak menyadari, lebih tepatnya tidak mendengar, musik telah berhenti dan pertunjukan telah usai. Melihat gelagat macam itu, penyanyi kontralto Caroline Unger mendekati sang maestro, menghentikan gerakannya, dan menuntunnya ke arah para penonton. Sore itu, setelah Beethoven menurunkan batonnya, tidak ada apa-apa di dalam Teater Kärntnertor kecuali isak haru dan gemuruh tepuk tangan.

Tiga tahun setelah pertunjukan perdana “Simfoni Nomor 9”, Beethoven meninggal dunia di Wina pada 26 Maret 1827, tepat hari ini 191 tahun lalu. Upacara pemakamannya dihadiri 20.000 orang.

Baca juga artikel terkait MUSIK KLASIK atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Musik
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Nuran Wibisono