Menuju konten utama

Food Estate Dikritik, Jokowi Siapkan Rp108,8 T untuk Pangan

Strategi transformasi ekonomi di bidang ketahanan pangan dialokasikan
sebesar Rp108,8 triliun.

Food Estate Dikritik, Jokowi Siapkan Rp108,8 T untuk Pangan
Presiden Joko Widodo mengenakan baju adat Tanimbar, Maluku, melambaikan tangan saat tiba di lokasi Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/spt

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan program food estate tetap berjalan pada 2024. Food estate masuk dalam program ketahanan pangan dengan nilai anggaran Rp108,8 triliun.

"Strategi transformasi ekonomi di bidang ketahanan pangan dialokasikan

sebesar Rp108,8 triliun," kata Jokowi saat membacakan rancangan nota keuangan 2024 di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

Jokowi mengatakan, anggaran tersebut akan dialokasikan untuk peningkatan ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga pangan. Kemudian, peningkatan produksi pangan domestik, penguatan kelembagaan petani, dan dukungan pembiayaan serta perlindungan usaha tani.

"Rp108,8 triliun yang diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga pangan, peningkatan produksi pangan domestik, penguatan kelembagaan petani dan dukungan pembiayaan serta perlindungan usaha tani, percepatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pangan, pengembangan kawasan food estate, serta penguatan cadangan pangan nasional," bebernya.

Sebelumnya, pemerintah menganggarkan Rp3,90 triliun untuk proyek food estate pada 2022. Angka ini tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang ditetapkan untuk tahun 2022 bersama sederet proyek besar lainnya yang diberi label demi pemulihan ekonomi nasional.

Sementara itu, pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai anggaran ketahanan pangan mengalami kenaikan yang sedikit pada 2024. Prioritas juga tidak bergeser jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Salah satu alokasi terbesar adalah untuk bantuan pangan, serta bantuan pangan non tunai (BPNT).

Dia menuturkan, pemerintah mengklaim sudah membangun embung, bendungan, dan jaringan irigasi. Infrastruktur itu dibangun untuk memastikan, salah satunya, ketersediaan air.

"Logikanya, jika benar infrastruktur pertanian ini dibangun masif mestinya diikuti kenaikan produksi komoditas pangan. Akan tetapi, kalau dicek, pembangunan infrastruktur pertanian itu belum berdampak maksimal pada peningkatan produksi pangan dalam negeri. Pembangunan infrastruktur pertanian sepertinya tidak linier dengan peningkatan produksi pangan," kata Khudori.

Dia juga menduga anggaran ini ada kaitannya dengan hasil audit BPK berbagai tahun yang salah satu kesimpulannya yaitu pembangunan infrastruktur. Irigasi kata dia tidak diketahui keuntungan atau sumbanganya bagi peningkatan produksi pertanian.

"Seperti bendungan sudah dibangun, tapi jaringan irigasi di memanfaatkan air dari bendungan ini belum ada. Akhirnya air yang ditampung di bendungan tidak termanfaatkan dengan baik," ungkapnya.

"Ada pula irigasi primer dan sekunder sudah dibangun, tapi irigasi berikutnya, yakni tersier, belum dibangun. Lagi-lagi air jadi tak tersedia. Ada juga jaringan irigasi dibangun jauh dari wilayah sawah yang dicetak," tambahnya.

Tidak hanya itu, dia juga menuturkan subsidi pupuk sampai saat ini belum maksimal. Dia juga tidak bisa memastikan subsidi pupuk benar-benar tepat sasaran dan dinikmati petani.

"Karena itu, selain alokasi anggaran diperbesar yang tidak kalah penting adalah mengevaluasi aneka anggaran ketahanan pangan itu bagaimana efektivitasnya. Hal ini untuk memastikan sumbangan alokasi anggaran itu pada peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan petani," bebernya.

Baca juga artikel terkait ANGGARAN KETAHANAN PANGAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin