Menuju konten utama

Fokus COVID-19, Indonesia-OPM Semestinya Sepakati Gencatan Senjata

TNI-Polri dan TPNPB-OPM sebaiknya menyepakati gencatan senjata di tengah sumber daya pemerintah daerah menangani COVID-19 di Papua.

Fokus COVID-19, Indonesia-OPM Semestinya Sepakati Gencatan Senjata
Prajurit TNI dan Polri mengikuti apel pengamanan di Timika, Papua, Sabtu (30/11/2019). ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding/wpa/foc.

tirto.id - Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan apa yang mungkin kita semua sudah tahu: COVID-19 berdampak buruk ke semua aspek kehidupan manusia. Orang-orang menganggur, ekonomi lemah, pandemi tidak mengenal ras dan etnik, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah ia menyerukan ada "gencatan senjata global".

"Sudah waktunya menempatkan konflik bersenjata di akhir dan fokus bersama berjuang demi kehidupan bersama," demikian pidatonya di markas PBB di New York, AS. "Seharusnya hanya ada satu perang di dunia kita hari ini," katanya, "yaitu perang bersama melawan COVID-19".

Tapi, seruan itu tak bergaung di Papua, kawasan di ujung timur dan satu-satunya daerah di Indonesia yang menyimpan bara kekerasan bersenjata yang meski intensitasnya rendah tetapi terjadi sporadis. Aparat keamanan Indonesia melakukan patroli dan menjaga aset-aset negara dan perusahaan yang dianggap objek vital nasional. Sebaliknya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) berperang secara gerilya.

Baru-baru ini, di area tambang emas raksasa PT Freeport Indonesia di Mimika, dua warga sipil Papua tewas ditembak. Eden Armando Bebari (19) dan Roni Wandik (23) diduga ditembak oleh TNI di Mile 34, Distrik Kwamki Narama. Tiga hari sebelumnya, anak SMA kelas X bernama Melki Maiseni (16) diduga didor aparat keamanan Indonesia dalam operasi yang disebut "memburu kelompok kriminal bersenjata" pada pukul 03.00 waktu setempat.

Menurut akademisi yang menggeluti isu Papua, Adriana Elisabeth, gencatan senjata memang semestinya dipikirkan kedua belah pihak. Gencatan senjata penting untuk setidaknya meringankan beban saat mencegah penyebaran COVID-19 di Papua.

Masalah penanganan COVID-19 di Papua kompleks karena infrastruktur kesehatannya sama sekali tidak memadai. Hanya ada tujuh dokter spesialis paru-paru, total ruang isolasi di semua rumah sakit hanya ada 200, itu pun cuma dua yang sesuai standar Badan Kesehatan Dunia (WHO); 198 ruang isolasi lain hanya mengandalkan HEPA filter untuk membatasi udara di dalam ruangan.

Per 19 April, sudah ada 107 kasus positif; 19 di antaranya sembuh dan 7 pasien meninggal. Kabupaten Mimika, tempat eskalasi kekerasan bersenjata karena di sini menjadi lokasi Freeport, memiliki kasus positif COVID-19 terbanyak di Papua.

"Dengan asumsi penyebaran tidak bisa dicegah, jumlah orang asli Papua tidak banyak, mereka bisa jadi korban terbesar dan itu mengancam kehidupan mereka selanjutnya," kata Adriana.

Adriana bilang selain gencatan senjata, krisis pandemi COVID-19 semestinya dapat mempercepat perundingan antara Jakarta dan OPM yang rencananya muncul pada tahun lalu. Ketika itu Jokowi mengaku siap bertemu dengan orang-orang pro-kemerdekaan, sementara OPM mengajukan beberapa syarat.

"Ini bisa jadi titik awal mereka untuk berpikir lebih komprehensif bahwa ini bukan hanya isu biasa. Ada isu terkait kehidupan orang Papua. Selain isu Corona, banyak masalah kesehatan di sana," kata Adriana.

OPM Mau Gencatan

Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengaku setuju atas usul gencatan senjata.

"Kami di hutan, aman dari virus corona. Tapi, kasihan rakyat. Maka, kami minta perang berhenti untuk sementara waktu," kata Sebby, Senin (20/4). "Setelah krisis virus corona, TPNPB tetap lanjutkan perang revolusi untuk menuntut hak kemerdekaan bangsa Papua."

Namun, karena saat ini menurutnya aparat masih bersiaga, OPM tidak mundur. "TNI-Polri masih melakukan operasi militer," katanya.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem berkata situasi pandemi dan baku tembak adalah mimpi buruk bagi warga sipil.

Ia menilai pernyataan Sebby sebenarnya dapat membuat "rantai kekerasan putus" dengan syarat "pernyataan itu diseriusi dan harus ditanggapi oleh pemerintah pusat."

Pihak ketiga seperti PBB juga dapat memfasilitasi gencatan senjata, tambah Theo.

Adriana Elisabeth berpendapat pemerintah Indonesia tak perlu memenuhi syarat yang diajukan oleh kelompok bersenjata, apalagi yang bertentangan dengan pemerintah. “Tapi, membicarakan masa depan manusia Papua itu penting sekali.”

Namun, sampai sekarang, pemerintahan Jokowi belum membuat pernyataan apa pun soal tawaran gencatan senjata.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino