tirto.id - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai realisasi APBN 2017 mengecewakan. Peneliti FITRA Gurnadi Ridwan menyebutkan ada beberapa tema besar yang menjadi kritikan lembaganya.
Pertama, realisasi pajak yang meleset dari target. Bahkan, sejak 2015, realisasi pajak selalu kurang dari 90 persen. Menurut Gurnadi, di antara faktor penyebab rendahnya realisasi pajak ialah tingginya ketergantungan terhadap sektor migas, lesunya daya beli masyarakat terhadap produk domestik, dan tata kelola pajak yang kurang optimal.
"Berdasarkan kajian FITRA, yang didapatkan dari penerimaan pajak tahun lalu, realisasi pajak di akhir 2017 hanya akan mencapai 86,5 persen. Pada 2017, realisasi pajak enggak maksimal, padahal ada program tax amnesti," ujar Gurnadi di kantor FITRA Jakarta, pada Rabu (10/1/2018).
Kedua, FITRA menyoroti menguapnya anggaran negara akibat bunga utang. Menurut Gurnadi, kenaikan beban fiskal negara untuk meningkatkan pelayanan program-program pemerintah dan kecilnya pendapatan negara berimplikasi pada semakin membengkaknya utang negara.
Dia mencatat, pada 2016, utang negara mencapai Rp3.515,46 triliun dan meningkat tajam menjadi Rp3.866,45 triliun, pada 2017. Apalagi, pada 2018, beban negara untuk membayar utang juga lebih besar. Sebab, utang jatuh tempo Indonesia di 2018 setara tiga kali lipat dari angka di 2017, yakni 354,36 juta dolar AS atau Rp4,7 triliun (kurs Rp13.500).
Sementara pada APBN 2018, pembiayaan anggaran untuk utang mencapai Rp399 triliun atau bertambah Rp14 triliun dari 2017.
"Bunga yang cukup tinggi ini diakibatkan oleh kurang cermatnya pemerintah memilih kreditur. Hal ini terlihat dari tingginya bunga utang Indonesia, bahkan lebih besar dari pada negara tetangga kita, seperti Thailand dan Malaysia," kata dia.
Sementara catatan FITRA yang ketiga ialah soal adanya kerugian negara sebesar Rp613 miliar akibat akibat buruknya tata kelola keuangan pada 78 kementerian/lembaga.
Gunardi memaparkan, berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) tahun anggaran 2016, yang dirilis pada September 2017, terdapat ketidakpatuhan atas ketentuan perundang-undangan sebanyak 1.137 masalah dengan total senilai Rp3.411 miliar.
Penyebab terbesar kerugian negara itu adalah kelebihan pembayaran dengan nilai sebesar Rp285 miliar atau 47 persen dari total kerugian. Lalu, kekurangan volume pekerjaan/barang sebesar Rp142 miliar atau 23 persen dari total kerugian.
"Penyebab terbesar kerugian adalah piutang atau pinjaman berpotensi tidak tertagih sebesar Rp1.174 miliar," kata Gurnadi.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) FITRA Yenny Sucipto menilai kinerja Kementerian Keuangan perlu di evaluasi, karena selama empat tahun masa pemerintahan Joko Widodo tidak ada optimalisasi penerimaan negara.
"Kebijakan yang dikeluarkan seperti tax amnesty itu tidak berpengaruh apapun," ujar Yenny. "Ada loss (kehilangan) penerimaan yang sampai saat ini belum ada treatmentnya (solusinya). Ini jadi salah satu PR (pekerjaan rumah) terberat dari kementerian keuangan," kata Yenny.
Ia juga berpendapat belum terlihat konsistensi pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dalam mengurangi utang negara di tengah ruang fiskal APBN yang sempit.
Yenny juga menuding pemerintah masih mengesampingkan kelemahan kinerja sejumlah kementerian dan justru lebih sering menyalahkan pemerintah daerah. "Tidak melakukan optimalisasi kinerja sesuai target. Saya pikir ini jadi satu evaluasi untuk berpikir dua tahun ke depan," ujarnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom