tirto.id - Iyan, bukan nama sebenarnya, mendengar kabar dari seorang teman yang baru kembali dari Jakarta bahwa di sekitar ibu kota sedang ada kegiatan yang sedang digemari para pemuda: balap lari liar. Konsepnya sama seperti balap lari pada umumnya. Uji kecepatan biasanya dilakukan dua-tiga orang. Bedanya, lomba dilakukan bukan di trek lari, tapi di jalanan. Itu kenapa ia disebut ‘liar’--mengikuti istilah balap motor/mobil liar.
Ia tertarik dan memutuskan menggelar kegiatan serupa di kampungnya di Baros, Kecamatan Cimahi Tengah, Jawa Barat, sejak akhir Agustus lalu.
“Khususnya di Cimahi, banyak orang-orang yang butuh wadah buat menunjukkan kemampuan. Banyak anak muda bingung menyalurkannya,” kata Iyan ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (14/9/2020).
Menurutnya, balap lari lebih mengasyikkan ketimbang, misalnya, turnamen permainan daring. Iyan bilang kompetisi online tak berkembang di wilayahnya meski berhadiah uang. Lagipula lomba ini tidak terlalu bahaya ketimbang balap motor liar yang potensi kecelakaan dan kematiannya tinggi.
Peserta balap lari di Baros sebagian besar berstatus pelajar dan mahasiswa. Aada juga calon taruna yang iseng ikut serta. Laki-laki dan perempuan halal turun ke lintasan. Tidak ada yang benar-benar berprofesi sebagai ‘joki dua tak’ seperti di balap motor liar.
Mereka harus mendaftarkan diri via Whatsapp atau pesan di Instagram komunitas. Sebelum bertanding disepakati apakah peserta nyeker atau pakai alas kaki. Juga harus sepakat apakah bertelanjang dada atau berpakaian lengkap. Lintasan juga disapu sebelum dipergunakan, agar kerikil dan benda tajam lainnya tersingkir.
Biasanya balap lari liar diselenggarakan pada Sabtu dan Senin malam. “Kami tidak menutup jalan,” katanya. Di tempat Iyan, kegiatan ini diketahui masyarakat setempat. “Kami izin ke Karang Taruna, ada RT/RW, ada Babinsa.” Mereka diizinkan asal tidak ribut. “Jauh juga [lintasan] dari tempat warga.”
Penonton berdatangan dan semakin ramai jika durasi lomba semakin panjang. Mereka penasaran. Penyelenggara lomba mewajibkan penonton mengikuti protokol kesehatan, tanpa terkecuali.
Di tempat Iyan biasanya lomba berlangsung 60 menit saja. Setelah itu peserta dan penonton bubar.
Pemenang dapat sebungkus rokok, bukan duit. Iyan merasa itu tak masalah sama sekali. “Rokok apakah disebut taruhan? Rokoknya juga buat mereka.”
Ancaman Pidana
Fenomena balap lari liar seperti ini muncul di Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa bulan terakhir. Mereka dikenal cukup luas karena aktif di media sosial. Akun @info.balaplari100m misalnya, rutin mengunggah video-video balap di kawasan Banten. Sementara @info.balaplarijakbar mengunggah pertarungan di kawasan Jakarta Eye Center Kedoya.
Kegiatan muda-mudi ini ternyata menarik perhatian polisi. Mereka berupaya untuk menghalangi kegiatan ini. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan polda telah meminta kepada para kapolres untuk mengimbau itu tak dilakukan dengan cara partroli.
“Telah kami sampaikan kepada para kapolres untuk mengedepankan preemptive dan preventif,” katanya, Senin (14/9/2020).
Sehari sebelumnya, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo mengatakan balap lari liar tak boleh dilakukan “tanpa seizin dari pihak yang berwenang”. Aparat akan langsung membubarkannya. Meski sampai saat ini itu belum pernah terjadi karena “mereka waktunya hanya sebentar-sebentar, kadang kami datangi mereka sudah bubar.”
Ia juga mengatakan “ada sanksi” yang dapat diberikan kepada pelaku balap lari liar dan penontonnya sebab mereka menutup jalan, sesuatu yang dilarang dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Hukumannya pidana penjara dari tiga bulan sampai 18 bulan atau denda dari Rp200 juta sampai Rp1,5 miliar.
Para aktivis yang menggeluti reformasi hukum di Indonesia menilai pernyataan tersebut terlalu terburu-buru.
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan “tidak bisa sekadar berasumsi. Dalam istilah hukum yakni ‘geen straf zonder schuld’ (tiada mungkin orang dipidana jika tidak ada kesalahan),” kepada reporter Tirto, Senin (14/9/2020).
Peneliti dari Institute Criminal for Justice Reform Maidina Rahmawati bahkan mengatakan “dalam hal ini tak ada unsur pidana seperti niat jahat. Di sini jelas masyarakat bersepakat dan itu juga sarana ekspresi ruang publik.”
Alih-alih memberikan ancaman, semestinya mereka difasilitasi. “Seperti ruang terbuka hijau yang memiliki trek lari atau sepekan sekali membuka jalan untuk acara itu,” kata Maidina kepada reporter Tirto.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino