tirto.id - Media sosial Twitter ramai dengan tagar #UsirLGBTdariIndonesia. Tagar ini muncul bukan tanpa sebab. Rupanya, masyarakat mulai mendengar kabar kedatangan utusan dari Amerika Serikat (AS) Jessica Stern.
Kabar yang beredar, Jessica Stern hendak melakukan kampanye LGBTQI+ di Indonesia. Benarkah demikian? Dalam memorandum yang dirilis oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS), berikut ini bunyinya:
"U.S. Special Envoy to Advance the Human Rights of LGBTQI+ Persons Stern’s Travel to Vietnam, the Philippines, and Indonesia
NOVEMBER 28, 2022
U.S. Special Envoy to Advance the Human Rights of LGBTQI+ Persons Jessica Stern will travel to Vietnam from November 28-December 2; the Philippines from December 3-6; and Indonesia from December 7-9. During her visits, Special Envoy Stern will meet with government officials and representatives from civil society to discuss human rights, including advancing the human rights of LGBTQI+ persons."
(Perjalanan Utusan Khusus AS untuk Memajukan Hak Asasi Manusia LGBTQI+, Stern ke Vietnam, Filipina, dan Indonesia
28 NOVEMBER 2022
Utusan Khusus A.S. untuk Memajukan Hak Asasi Manusia LGBTQI+ Jessica Stern akan melakukan perjalanan ke Vietnam mulai 28 November-2 Desember; Filipina dari 3-6 Desember; dan Indonesia pada 7-9 Desember. Selama kunjungannya, Utusan Khusus Stern akan bertemu dengan pejabat pemerintah dan perwakilan dari masyarakat sipil untuk membahas hak asasi manusia, termasuk memajukan hak asasi manusia LGBTQI+).
Dari memo yang disampaikan Pemerintah AS tersebut dapat disimpulkan, kunjungan Stern ke Indonesia akan membahas soal memajukan Hak Asasi Manusia (HAM) LGBTQI+.
Kunjungan Stern ini sontak mendapat penolakan dari masyarakat Indonesia. Organisasi Islam di Indonesia seperti PBNU dan MUI telah menyatakan menolak kedatangan Jessica Stern ke Indonesia.
Pandangan Jessica Stern Soal LGBT
Jessica Stern menjabat sebagai utusan khusus AS yang bertugas untuk memajukan hak asasi manusia orang-orang LGBTQI+. Ia sudah lama terlibat dalam memperjuangkan hak-hak asasi kelompok rentan di seluruh dunia.
“Salah satu tujuan saya bekerja untuk hak asasi manusia LGBTQI+ adalah untuk mempersingkat waktu menunggu hak asasi mereka dihormati dan dilindungi,” kata Stern, dikutip laman US Embassy.
Dalam perannya sebagai utusan khusus, dia bekerja dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk mempromosikan penghormatan yang setara terhadap hak asasi manusia komunitas LGBTQI+ di seluruh dunia.
“Sangat sedikit pemerintah di dunia yang berkomitmen untuk mengintegrasikan hak asasi manusia LGBTQI+ dalam kebijakan luar negeri mereka,” kata Stern.
Stern mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa prioritasnya sebagai utusan akan mencakup:
- Dekriminalisasi aktivitas sesama jenis.
- Mengadvokasi pengakuan gender secara legal.
- Memperkuat kebijakan non-diskriminasi.
- Memperluas undang-undang tentang kekerasan berbasis gender sehingga tidak terbatas pada hubungan perkawinan dan perbedaan jenis kelamin.
Baru-baru ini dia menjadi direktur eksekutif untuk OutRight Action International, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berkantor pusat di New York City.
Selama di sana, dia bekerja dengan organisasi lain untuk memastikan bahwa PBB memiliki pakar independen tentang orientasi seksual dan identitas gender, yang dianggap sebagai kemenangan bersejarah bagi komunitas LGBTQI+.
Stern, yang pernah tinggal di Meksiko, Inggris Raya, dan Uruguay, mengatakan dia telah melihat kemajuan di beberapa wilayah di mana orang LGBTQI+ diperlakukan dengan bermartabat dan dilindungi. Namun, di negara lain hak-hak mereka masih dilanggar dan bahkan banyak terjadi kekerasan kepada mereka.
Presiden Biden mengeluarkan Memorandum tentang Memajukan Hak Asasi Manusia Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan Interseks di Seluruh Dunia pada bulan Februari. Dokumen tersebut menguraikan kebijakan luar negeri AS tentang hak asasi manusia orang-orang LGBTQI+.
“Semua manusia harus diperlakukan dengan hormat dan bermartabat dan harus dapat hidup tanpa rasa takut tidak peduli siapa mereka atau siapa yang mereka cintai,” tulis memo tersebut.
Stern adalah orang kedua yang ditunjuk untuk menjalankan peran tersebut. Dubes Randy Berry menjabat sejak 2015 hingga 2017.
“Ada yang beranggapan bahwa pengakuan terhadap kaum LGBTQI+ akan mengikis tatanan masyarakat atau stabilitas bangsa. Apa yang membuat negara kuat adalah keragaman dan persamaan hak asasi manusia untuk semua tanpa kecuali," pungkas Stern.
Profil Jessica Stern
Jessica Eve Stern lahir pada 11 Februari 1958. Ia adalah seorang akademisi yang memiliki latar belakang pendidikan tentang terorisme.
Stern menjabat sebagai profesor riset di Pardee School of Global Studies di Boston University.
Sebelumnya dia pernah menjadi dosen di Universitas Harvard. Dia bertugas di Satuan Tugas Institusi Hoover untuk Keamanan Nasional dan Hukum.
Pada tahun 2001, dia muncul dalam serial majalah Time tentang Innovator. Pada tahun 2009, dia dianugerahi Guggenheim Fellowship untuk karyanya tentang trauma dan kekerasan.
Ia juga menulis buku tentang terorisme berjudul ISIS: The State of Terror (2015), yang ditulis bersama J.M. Berger.
Stern pernah bertugas sebagai staf Dewan Keamanan Nasional Presiden Bill Clinton dari tahun 1994 hingga 1995 sebagai direktur Urusan Rusia, Ukraina, dan Eurasia.
Editor: Iswara N Raditya