tirto.id -
"Dan, apabila kepentingan hukum yang diutamakan, maka standar dan kecepatan yang ada tentu akan berlaku sama pada semua kasus, ya," kata Fahri melalui pesan suara Whatsapp, Jumat (5/10/2018).
Sebab, menurut Fahri, penanganan kasus Ratna ini disaksikan seluruh warga Indonesia yang siap mengoreksi polisi jika ada kepentingan lain di dalamnya.
"Sekali lagi saya berharap bahwa ini adalah proses hukum yang wajar, dan berlaku pada semua hal, dengan standar kecepatan dan kepentingan yang sama, sehingga kita tidak sedang berpolitik atau menyeret penegak hukum ke dalam politik," kata Fahri.
Dengan begitu, kata Fahri, penegakan kasus Ratna bisa menjadi bagian perbaikan pembangunan hukum nasional, hukum yang demokratis sebagaimana amanah dari UUD konstitusi negara ini.
Semalam, polisi mencekal Ratna di Bandara Soekarno-Hatta saat hendak pergi ke Cile. Kepolisian menduga yang bersangkutan hendak kabur.
Kasubdit Jatanras Polda Metro Jaya AKBP Jerry Siagian mengatakan, surat pemanggilan Ratna sebagai saksi sudah diberikan. Bukannya merespons, Ratna malah mau pergi ke luar negeri.
"Tiba-tiba panggilan polisi dia tidak jawab, tidak jawab terus dia pergi, kita dapat informasi. Kalau ada pemanggilan polisi ya kabarin dong, di mau pergi ya kabarin dong. Kalau setelah pergi enggak ngabarin berarti kan namanya dia kabur," tegas Jerry pada Tirto.
Menurut Jerry, polisi lalu mengambil langkah cepat mencegah Ratna pergi. Sekitar pukul 18.00 WIB, polisi melakukan gelar perkara dengan Ratna sebagai tersangka. Malamnya sekitar pukul 20.00 WIB surat pencegahan dikirimkan ke bandara dan imigrasi.
"Kalau dia kabur kan ditangkap," tegas Jerry. "[Di bandara]Nggak[ngabarin juga]," tambahnya.
Ratna akhirnya dibawa ke Polda Metro Jaya dan tiba sekitar pukul 22.30 WIB.
Ratna dijadikan tersangka karena diduga melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang tindak pidana membuat kegaduhan di masyarakat dengan menyebarkan hoaks dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri