tirto.id - Fadli Zon kembali menegaskan bahwa pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Fadli Zon sama sekali tidak membahas tentang koalisi pada pemilu presiden 2019 mendatang.
Meski tidak berbicara seputar koalisi, Wakil Ketua DPR RI fraksi Partai Gerindra itu tetap mengatakan bahwa partainya akan mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pilpres 2019 mendatang.
“Saya kira dari kami, dari kader, dari seluruh level Gerindra aklamasi mendukung Prabowo menjadi bakal calon presiden Gerindra di 2019,” kata Fadli, Senin (31/7/2017).
Fadli menjelaskan, meski Prabowo tercatat 3 kali kalah dalam pemilu, namun Gerindra tetap optimistis mengusung mantan Pangkostrad itu maju sebagai calon presiden.
Fadli bahkan menganalogikan kekalahan Prabowo sama halnya dengan Presiden Amerika ke-16 Abraham Lincoln Ia menilai ada kesamaan nasib antara Prabowo dengan Lincoln. Di samping kegagalan, elektabilitas tinggi juga menjadi kesamaan mereka.
“Saya kira biasa dalam demokrasi dalam kontestasi kalah menang biasa. Ada orang berkali-kali. Abraham Lincoln berkali-kali juga seperti itu. Saya kira enggak ada masalah,” kata dia.
Fadli juga mengatakan bahwa belum tampak tokoh lain selain Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan mencalonkan diri dalam Pilpres 2019.
“Tapi kali ini mengkerucut dua figur Pak Prabowo dan Jokowi. Saya kira sampai sejauh ini kita belum tahu apakah nanti akan ada calon lain, kita lihat nanti dalam perjalanannya. Tapi dari sisi popularitas elektabilitas saya kira modal politik Prabowo tinggi,” terangnya.
Terkait pertemuan antara Prabowo dan SBY, menurut Fadli kedua tokoh itu hanya membahas RUU Pemilu dengan tingkat presidential threshold sebesar 20 persen yang telah disahkan.
Baca juga:
- Prabowo: Presidential Treshold 20% adalah Lelucon Politik
- Duet Prabowo-SBY di Pilpres 2019 Tantangan Berat Bagi Jokowi
Atas dasar itulah, Gerindra dan Demokrat mengadakan pertemuan untuk menjalin kerja sama antar partai. Kerja sama ini, menurut Fadli, bukanlah tanda nyata suatu bentuk koalisi. Yang penting sekarang adalah bagaimana terus menjaga agar komunikasi politik tetap berjalan.
“Jadi istilah kita kerja sama tidak membentuk suatu koalisi karena kita tahu koalisi kalau cepat enggak bagus. Terlalu lama belum tentu efektif, apalagi koalisi kadang-kadang fluid dulu yang ada dalam koalisi ini. Begitu mudah berpindah pada koalisi lain atau posisinya berubah. Jadi lebih bagus kerja sama. Kerja sama strategis taktis bisa saja. Itu yang kita bicarakan di dalam. Intinya kita ingin memperkuat dukungan poltiik dari masyarakat terhadap hal yang bisa dikerjasamakan ke depan,” terang Fadli.
Menurut Fadli, kesamaan antara Partai Demokrat dan Gerindra belum sampai pada tahapan penyamaan visi-misi jelang pilpres 2019. Namun, kesamaan tersebut lebih kepada melihat bagaimana menyelesaikan banyaknya masalah ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia saat ini.
Fadli pun mengatakan bahwa pihaknya masih sangat terbuka terhadap semua partai politik untuk mengadakan kerja sama dalam Pilpres 2019 mendatang.
“Saya kira terbuka sekarang, dengan parpol lain juga terbuka tentu kalau tetap 20 persen. Kita masih menunggu nanti dari MK (Mahkamah Konstitusi) apakah mengabulkan atau menolak. Kalau misalnya MK menggunanakan nalar dengan 0 persen sesuai keputusan MK sebelumnya karena keserentakan itu berarti setiap parpol bisa mengusung calon saya kira bagus bagi demokrasi juga,” jelasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto