tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menggodok aturan baru terkait harga beli dari pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (EBT).
Aturan baru tersebut nantinya mengatur harga beli listrik EBT menggunakan skema feed in tariff. (FiT).
Menteri ESDM Arifin Tasrif formula baru penentuan harga itu akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang saat ini diproses oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
Meski demikian, feed in tariff kali ini akan dibedakan berdasarkan jenis/sumber EBT-nya lantaran tiap EBT memiliki perbedaan biaya dan teknologi.
"Contohnya geothermal, lain dengan solar panel, lain dengan biomassa, dengan hydro. Kalau geothermal kan mirip-mirip migas, mengebor dan survei," jelas Arifin.
Skema FiT mewajibkan PLN membayar suatu tarif untuk listrik EBT di atas Biaya Pokok Produksi (BPP) bahan bakar fosi. Menteri ESDM memastikan, kebijakan baru ini bertujuan agar EBT ramah investasi dan pemodal beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan yang lebih baik untuk lingkungan.
"Kan kemarin feed in tarif diberlakukan untuk semuanya, sehingga tidak jalan. Yang costnya mahal, masa mau dijual murah, malah rugi," ungkap Arifin.
Selain itu saat ini sedang digodok bahwa masa berlakunya akan disesuaikan dengan depresiasi cost yang akan terus menurun sehingga beban PLN tidak terlalu berat. "Supaya ke depan beban PLN tidak terlalu berat, jangan dipukul rata semua, padahal biayanya sudah turun, kan ada depresiasi," jelas Arifin.
Kebijakan baru ini akan menggantikan formula harga pembangkit listrik EBT saat ini dihitung berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan PLN seperti tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 50 Tahun 2017.
Formula baru ini menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mencapai pemanfaatan EBT sebesar 23 persen di dalam bauran energi (energy mix) di 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana