Menuju konten utama
Cholil Mahmud

ERK: "Kami Berusaha Menjaga Konsistensi antara Lagu dan Kenyataan"

Cholil Mahmud. Efek Rumah Kaca. Sekolah. Lagu protes.

ERK:
Cholil Mahmud, vokalis ERK. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sejak Cholil Mahmud pindah ke New York pada 2015 silam untuk melanjutkan studi, Efek Rumah Kaca (selanjutnya ERK) jarang manggung. Sebagai gantinya, ERK tampil dalam wujud lain bernama Pandai Besi. Pindahnya Cholil memang sedikit mengerem laju ERK. Namun, para penggemar malah semakin menanti kedatangannya.

Pada September 2016, usai tampil dalam festival musik yang diklaim “paling besar se-Indonesia” di Pulau Dewata, ERK membuat hajatan dadakan untuk para penggemarnya. Konser di Gudang Sarinah tersebut diadakan sebagai salam perpisahan pada Cholil yang keesokan harinya terbang ke New York. Tiket acara bertajuk “Tiba-Tiba Suddenly Konser” yang dijual secara mandiri (tanpa sponsor) itu ludes dalam waktu singkat.

Setahun kemudian, pada Juli 2017, ERK menyelenggarakan pentas serupa. Bedanya, kali ini konser diadakan untuk menyambut kedatangan Cholil dari Amerika. Judulnya, "Tiba-Tiba Suddenly Konser Again." Mengambil tempat di Ballroom Kuningan City, tiket terjual tanpa sisa.

Baru-baru ini, ERK kembali menggelar hajatan. Cholil bahkan rela balik ke Indonesia untuk turut ambil bagian dalam konser tersebut. Seperti tertera lewat akun Instagram-nya, ERK membuka kesempatan bagi promotor lokal yang ingin mengundang ERK sebagai bintang tamu pada 18 Februari hingga 3 Maret 2018.

Agenda ini ditempuh dalam rangka penggalangan dana untuk tampil di ajang festival SXSW (South by South West). ERK tercatat mewakili Indonesia dalam acara yang berlangsung di Texas, Austin tersebut setelah beberapa kali gagal lolos kurasi panitia penyelenggara.

Ditemui Tirto setelah mengisi program Mata Najwa pada Rabu (1/3) kemarin, Cholil mengungkapkan kesibukannya selama di New York, proyek pribadinya bersama Najwa Shihab, sampai alasan mengapa ia kurang setuju dengan konsep fans bagi sebuah band.

Apa yang Anda kerjakan selama di New York?

Saat ini sedang fokus menemani istri. Pilihan ini diambil setelah kami merasa kalau dua orang melanjutkan sekolah (master) di waktu bersamaan adalah merupakan hal yang berat. Di keberangkatan pertama dulu, memang gue ambil master. Tapi, sekarang fokus nemenin istri aja. Biar istri yang sekolah.

Ambil konsentrasi studi apa waktu ambil master dulu?

Gue dulu ambil kajian Arts Politics. Jadi sesuatu yang agak kurang nyambung, sih, karena dulu S-1 ambil ekonomi. Tapi, berhubung gue udah punya bekal yang gue dapet selama main bareng Efek Rumah Kaca, ya cukup membantu juga. Jadinya, enggak terlalu jumping jauh. Dari situ tinggal mempertajam aja selain juga belajar dasar-dasar berpikir maupun teori yang lain.

Tesis yang ditulis tentang apa?

Sebetulnya, gue enggak ambil tesis waktu kuliah dulu karena gue enggak diwajibkan untuk bikin itu. Ada dua pilihan: tesis atau kuliah biasa. Kuliah Arts Politics itu kebetulan porsinya setengah-setengah. Antara kajian seni dan praktik. Gue dulu bikin sound essay dan semacam video sebagai tugas akhir. Dari situ pula ada pergeseran cara berpikir gue bahwa kalau di sini [Amerika], master enggak dituntut untuk nulis. Lulusan master biasanya berorientasi dengan praktisi bukan jadi scholar. Kalau memang ingin jadi scholar dan dapat banyak kesempatan untuk nulis, ya, ambil sekolah lagi.

Lalu manfaat apa yang Anda dapatkan dari situ?

Dengan kita punya beban tulisan tiap minggu, itu sudah membantu kita untuk berpikir runut. Baca buku, bikin paper, lantas nulis critical review. Hal-hal semacam itu melatih disiplin berpikir. Bagi musisi atau seniman hal ini sangat bermanfaat banget karena bagi mereka yang selama ini sulit menyampaikan gagasannya ke penonton, sekarang, setelah belajar, mulai punya arahan untuk menyampaikan.

Tertekan enggak dengan pola belajar yang seperti itu?

[Tertawa] Ya, bisa dibilang stres juga, sih. Karena hampir setiap hari berurusan dengan kuliah. Di rumah baca buku dan materi, masih bikin paper, kalau belum selesai diselesaikan sambil naik kereta. Belum lagi di jalan menuju kampus masih dengerin materi kuliah biar enggak ada yang kelupaan. Aktivitas tersebut bahkan membuat gue jarang dengerin musik.

Ibarat kata, kepergian ke New York adalah proses bertapa. Setiap proses bertapa biasanya membuahkan hasil. Apa hasil yang Anda bawa?

Sekarang sedang menguatkan niat untuk menulis sedikit demi sedikit tentang politik seni. Masih dalam proses pembuatan kerangka berpikirnya. Rencana gue bikin buku seperti punyanya Martin [Suryajaya] yang Sejarah Estetika. Namun, bakal gue tambahin dengan materi-materi yang belum ada di sini.

Anda tercatat bikin lagu untuk film Marlina, Dialita, dan terakhir untuk acara Mata Najwa. Bisa diceritakan sedikit prosesnya?

Waktu Dialita dulu, itu gue bikinnya sebelum pergi ke Amerika pada 2016. Itu gue ambil project Dialita enggak lama setelah tur bareng Ruru selesai. Tapi, masalahnya waktu itu kondisinya mepet banget. Akhirnya, Dialita gue prioritasin sebelum berangkat ke Amerika dan kalau enggak salah tanggal 10 Maret 2016, materinya sudah jadi.

Sementara untuk Marlina, itu kondisinya pas lagi balik ke Jakarta. Waktu itu, mereka belum ada niat buat bikin theme song. Sampai akhirnya, keinginan itu muncul untuk jadi gimmick bagi penonton lokal. Gue yang bikin liriknya dan untuk aransemen musik, Zeke [Khaseli] yang buat.

Untuk Mata Najwa ini ceritanya agak unik. Ceritanya, Desember kemarin Najwa kirim pesan kalau dia ingin dibuatkan lagu untuk acaranya. Gue sempet berpikir, di tengah aktivitas sebagai bapak rumah tangga, gue sempet ragu untuk mengerjakannya. Takut enggak cukup waktunya. Tapi, berhubung gue nge-fans acaranya dan kenal lama dengan Najwa, tawaran itu enggak mungkin ditolak.

Setelah setuju, gue langsung mengerjakan lagu itu. Karena waktunya mepet, gue sempet nawarin ke Najwa gimana kalau pakai lagu ERK yang udah jadi. Tapi Najwa menolak. Dia pengen lagu baru. Akhirnya, gue lempar ke anak-anak karena gue di sini juga enggak ada peralatan. Anak-anak bersedia, yang bikin musik dan vokalnya gue. Sementara untuk aransemennya mereka yang bikin.

Ketika udah jadi mentahnya, gue kirim ke Najwa. Najwa merasa masih ada yang kurang. Akhirnya kita take lagi. Kali ini, gue guide by phone selama dua jam. Memastikan apa yang kurang, apa yang berlebihan. Setelah jadi, sekitar Februari awal, gue kasih materinya ke Najwa dan Najwa bilang suka.

Itu berarti lagu masih dalam bentuk kasar, ya?

Iya, itu masih dalam bentuk kasar. Belum rekaman. Waktu itu kita belum tau bisa rekaman apa enggak karena kita sibuk rapat persiapan keberangkatan ke SXSW—festival budaya pop di Texas, Austin. Problem saat itu, visa kami sedikit bermasalah. Itu yang membuat kami sedikit terhambat. Tiba-tiba, visa kami ada sinyal untuk diterima. Dari situ, gue memutuskan untuk balik. Sekalian rekaman dan mengumpulkan dana untuk bantu biaya keberangkatan.

Bisa ketutup, ya?

[Tertawa] Ya, semoga. Untuk dana SXSW ini sebenernya Bekraf—Badan Ekonomi dan Kreatif—nanggung kita. Tapi, hanya beberapa yang ditanggung. Padahal kami berangkat bareng keluarga. Makanya kami bikin penggalangan dana untuk menutup itu.

Lagu untuk Mata Najwa berarti proyek jarak jauh pertama yang dilakukan?

Bener. Dulu Sinestesia [album ketiga ERK] sempet tertunda gara-gara problem jarak sebelum akhirnya gue balik dan diselesein sama-sama.

Rencana Efek Rumah Kaca akan membawakan lagu apa aja di SXSW?

Yang jelas, kami akan ngomong kalau kami band dari Indonesia yang enggak beda dari band manapun. Sidik jari musik kami seperti ini. Di sana, kami akan coba menawarkan dua hal; tentang konteks sosio-politik yang ada di lagu-lagu ERK dan estetika musik ERK sendiri.

Berbicara soal “Sebelah Mata” yang jadi materi kampanye untuk Novel Baswedan, Anda merasa aneh tidak dengan lagu itu? Lagu bicara soal diabetes, tapi sekarang jadi lagu pengawal aksi anti-korupsi?

Jujur gue merasa aneh. Gue juga enggak paham mengapa lagu ini yang dipilih. Bingung juga awalnya. Tapi, gue pikir enggak masalah juga. Selama memang lagunya pas buat isu atau concern terkini, ya, kenapa enggak?

Anda percaya dengan konsep fans?

Sebetulnya gue enggak terlalu percaya itu. ERK enggak mengorganisir fans, memberi nama resmi untuk penggemar, dan sebagainya. Kami punya prinsip, kalau suka cukup dengan karyanya, jangan dengan bandnya. Band bisa bubar kapan aja, tapi kalau karya 'kan bisa dibilang bakal awet.

Selama ini ERK dikenal sebagai band yang kritis. Dan saat ini, orang yang kritis diharapkan berlaku setia sesuai perkataannya. Beban buat ERK?

Wah, jujur berat untuk ERK berjalan seperti itu. Sebetulnya agak susah, tapi, kami berusaha konsisten antara lagu dan kenyataan.

Baca juga artikel terkait EFEK RUMAH KACA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf