tirto.id - Survei terbaru Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingkat demokratisasi di Indonesia makin menurun. Bahkan hasil survei menunjukkan para pendukung partai koalisi pun menilai pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin kurang demokratis.
Survei Indikator ini melibatkan 1.200 responden yang tersebar dari seluruh provinisi yang merepresentasikan populasi laki-laki 50,3 persen dan perempuan 49,7 persen. Kemudian usia responden mulai dari 21 hingga 55 tahun.
Hasilnya terdapat 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis dan 37 persen menyatakan Indonesia tetap sama keadaannya. Hanya 17,7 persen yang menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis.
Jika dilihat dari demografi basis politik berdasarkan Pemilu 2019, ada 55,5 responden merupakan pendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Sementara sisanya 45,5 persen merupakan pendukung Prabowo dan Sandiaga Uno.
Dari survei tersebut, pendukung Jokowi dan Ma’ruf yang menganggap pemerintah saat ini kurang demokratis lebih banyak daripada yang menilai lebih demokratis. Ada 28,8 persen responden pendukung mereka yang setuju bahwa pemerintah saat ini kurang demokratis. Sementara yang setuju bahwa saat ini pemerintah lebih demokratis hanya 20,9 persen.
Kemudian jika dilihat demografi responden berdasarkan dukungan partai politik, ada banyak pendukung partai koalisi pemerintah yang juga cenderung menilai pemerintah kurang demokratis. Partai pendukung pemerintah tersebut di antaranya adalah Gerindra, PPP, dan Nasdem.
Pendukung Partai Gerindra ada 21,1 persen dari total seluruh responden. “Meski Gerindra sudah masuk ke pemerintahan tapi pemilihnya menilai pemerintah kurang demokratis,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi saat memaparkan hasil survei melalui pertemuan daring, Minggu (25/10/2020).
Ada 40,9 persen pendukung Partai Gerindra yang menilai bahwa pemerintah saat ini kurang demokratis. 32,3 persen menilai kondisinya sama saja dan hanya 17,6 persen yang menyatakan pemerintah lebih demokratis.
Kemudian Partai Nasdem yang juga memiliki beberapa menteri di dalam pemerintahan, dari 3,1 persen responden yang merupakan pendukung partai tersebut 60 persen menyatakan bahwa pemerintah kurang demokratis. Hanya 8,4 persen yang menyatakan pemerintah lebih demokratis.
Pendukung PAN ada 1,1 persen dari total keseluruhan responden, sebanyak 48,1 persen di antaranya menyatakan pemerintah Jokowi kurang demokratis. Pendukung PPP ada 0,6 persen dari total responden, sebanyak 63,9 persen menyatakan pemerintah Jokowi kurang demokratis.
Pun demikian dengan pendukung partai oposisi seperti PKS, ada 5,9 persen dari total responden 58,4 di antaranya menyatakan pemerintah Jokowi kurang demokratis. Sementara di luar koalisi lainnya yakni pendukung Partai Demokrat ada 5,9 persen dari total responden, 37,6 persen menyatakan pemerintah Jokowi kurang demokratis, sementara yang menilai kondisinya sama saja ada 41,7 persen.
Hasil survei yang menunjukkan bahwa pendukung partai pro-pemerintah yang cenderung menilai pemerintah Jokowi saat ini kurang demokratis, menurut Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera hal itu sebagai suatu hal yang wajar.
“Itu artinya akal sehat di masyarakat untuk menilai pemimpinnya atau patron dan partainya agar mengambil sikap yang benar itu masih sehat,” kata Mardani dalam kesempatan yang sama.
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan hasil survei bahwa responden pendukung Partai Nasdem, terdapat 60 persen yang menyatakan pemerintah kurang demokratis tidak dapat merepresentasikan partai, katanya.
“Pemilih atau pendukung itu belum tentu kader partai,” kata Willy saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (27/10/2020). Saat pemilu, Nasdem mendapatkan suara 9,1 persen, dan pemilih yang benar-benar kader Nasdem kata dia hanya 2,4 persen.
Jika Pemerintah Tutup Kuping Protes Membesar
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol) Aditya Perdana kepada reporter Tirto, Selasa (27/10/2020) mengatakan selama ini dukungan terhadap partai politik lebih bersifat cair. Artinya yang menjadi sikap elite partai belum tentu merepresentasikan pendukung partai.
“Yang khawatir itu hanya elite politik saja, kenapa massa mereka tak mendukung pemerintah? Semestinya mereka berpikir keras kenapa itu tidak terjadi bukan menyalahkan massa atau pendukung mereka,” kata Aditya.
Dari dulu menurutnya tak ada partai yang mampu mengkonsolidasikan pemilihkan. Hanya sebagian kecil partai yang bisa melakukan, itu pun dalam hal mengkonsolidasi kader bukan pemilih mereka, seperti PKS dan PDIP.
Menurutnya yang perlu menjadi refleksi elite politik di pemerintahan adalah mengenai apa yang telah mereka lakukan sehingga mendapatkan protes dari masyarakat. Serta membuat semakin tingginya persepsi masyarakat tentang kurangnya demokrasi. Ini menurut Aditya harus disikapi oleh pemerintah, komunikasi politik yang selama ini dilakukan harus dibenahi.
“Warningnya sekarang semakin keras, banyak orang yang menyatakan secara vulgar pandangannya bahwa pemerintah ada yang salah, saya pikir ketika publik menyampaikan itu semakin banyak dan luas seharusnya mulai didengarkan jangan makin menutup kuping lagi. Kalau itu yang dilakukan protes makin membesar,” kata Aditya.
Pemerintah wajib melakukan antisipasi agar protes tak makin meluas dan membesar. Aspirasi yang disampaikan langsung oleh masyarakat kemudian diperkuat dengan hasil survei menurutnya jadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan antisipasi, menunjukkan komunikasi politik yang baik.
“Misalkan kalau terjadi demonstrasi ya jangan direpresi, jangan kemudian menekan terlalu keras. Kalau ada yang melakukan pelanggaran ya harus diusut ditampilkan dan disebut ke publik,” katanya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz