tirto.id - Salah satu diskusi menarik menjelang Pemilihan Umum 2024 adalah keberadaan pemilih muda. Jumlah pemilih muda diperkirakan mendekati 60 persen dari total pemilih atau sekitar 114 juta orang.
Menurut analisis CSIS, pemilih muda merupakan tipe yang dinamis, adaptif, dan responsif, salah satunya terhadap isu lingkungan hidup. Hasil survei pilahpilih.id menunjukkan 9 dari 10 anak muda punya kekhawatiran akan kondisi lingkungan. Dari survei yang dilakukan terhadap 1.035 anak muda dari 36 provinsi ini, mayoritas anak muda (98 persen) mempertimbangkan isu lingkungan saat memilih calon pemimpin pada tanggal 14 Februari mendatang.
Pada Minggu (29/1) lalu saya dan ribuan pemilih muda lain berkesempatan mendapatkan penjelasan langsung dari juru bicara tim pemenangan ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam acara Festival Pemilu. Sayangnya, tim pemenangan masing-masing capres dan cawapres belum mampu menjawab keresahan anak muda terhadap berbagai permasalahan lingkungan.
Penjelasan dari para juru bicara tidak menyebutkan secara gamblang target bauran energi, termasuk soal rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar. Padahal dari hasil penjaringan pilahpilih.id tadi, terungkap isu transisi energi sangatlah mendesak untuk diselesaikan oleh Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
Isu lingkungan seharusnya menjadi pertimbangan penting untuk menggaet suara generasi muda. Bukan jargon, meme, dan segala atribut kampanye yang hadir tanpa substansi.
Selama ini generasi muda hanya dilihat sebagai objek kampanye, penggembira agenda-agenda pemerintah, atau gimmick dalam komunikasi politik. Belum ada keterlibatan signifikan dalam proses-proses strategis penentuan kebijakan, termasuk di isu lingkungan. Padahal di balik anggapan anak muda yang dinilai cenderung cuek, antisosial, doyan hura-hura, dan stigma negatif lainnya, mereka memiliki perhatian yang besar pada problem lingkungan di sekitarnya termasuk berupaya menemukan solusinya.
Catatan perjalanan saya bersama tim pilahpilih.id bertemu anak-anak muda di berbagai daerah menguatkan isu krisis iklim ini bukan lagi isu elitis. Kegaduhan di ranah maya saat polusi udara melingkupi Jakarta beberapa waktu lalu hanyalah setitik dari sekian ribu masalah.
Lain lubuk lain belalang. Beda daerah beda pula masalahnya. Di Banyumas, Jawa Tengah kekeringan terjadi sejak bulan Agustus hingga Desember yang seharusnya sudah masuk musim penghujan. Problem yang serupa terjadi di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Daerah yang kita kenal memiliki hawa sejuk ini justru menghadapi krisis air lantaran sumber air menyusut dan hujan datang terlambat.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) pada tahun 2021 mengungkapkan dunia diprediksi hanya punya waktu 15 tahun sebelum melampaui ambang batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius pada akhir abad.
Aktivitas manusia menghangatkan suhu rata-rata bumi sebanyak 1,1 derajat Celcius dari pembakaran bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Kondisi ini akhirnya memicu terjadinya anomali cuaca dan sederet persoalan lingkungan lain.
Di lain sisi Indonesia sangat tergantung pada bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik, transportasi, dan industri. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional, persentase bauran energi tahun 2023 masih didominasi batubara (40,46%), minyak bumi (30,18%), dan gas bumi (16,28%).
Sementara sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) hanya menyumbang 13,09%. Pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada bauran energi nasional pada tahun 2025. Akan tetapi belakangan direvisi menjadi sekitar 17-19% pada 2025.
Kondisi geografis Indonesia menjadikan wilayah ini memiliki beragam potensi EBT, mulai dari air, panas bumi, matahari, angin, hingga biomassa. Tantangannya adalah bagaimana pemanfaatannya tidak hanya sekadar perkara perubahan fisik sumber energi. Namun juga bagaimana transisi tersebut memberikan keadilan untuk mewujudkan demokratisasi energi.
Bukan hanya berorientasi keuntungan ekonomi bagi pihak-pihak tertentu, namun juga memberikan manfaat kepada seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok masyarakat di akar rumput. Tidak hanya sumber energinya saja yang berasal dari energi baru terbarukan, namun juga pengelolaan yang adil dan berkelanjutan dengan menempatkan transparansi dan akuntabilitas, partisipasi publik, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, keadilan ekologi, keadilan ekonomi, mendorong transformasi, serta mendukung upaya penanggulangan krisis iklim.
Perjalanan saya ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera, hingga Nusa Tenggara menemukan kenyataan anak muda dan komunitasnya punya cara-cara tersendiri menunjukkan kepedulian pada isu lingkungan dan transisi energi. Di Bantul dan Sembalun misalnya, anak-anak muda dilibatkan dalam program transisi energi berbasis komunitas. Mereka menganalisis potensi energi alternatif, merancang dan memasang instalasi, dan bertanggungjawab pada pemeliharaan.
Dari obrolan di tongkrongan, anak-anak muda Semarang menyadari sumbatan sampah plastik jadi pangkal persoalan banjir yang jadi langganan saban musim hujan, selain kondisi permukaan laut yang terus naik 10 centimeter per tahun di pesisir Semarang-Demak. Mereka juga mendesak percepatan transisi energi untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil yang lebih banyak memberi dampak negatif pada lingkungan. Salah satunya plastik yang berasal dari minyak dan gas bumi.
Di balik gadget yang seharian dipelototi, anak muda bisa menjadi agen penting dalam proses transisi energi. Mereka memiliki akses informasi untuk memastikan transisi energi ini bisa dijalankan secara berkeadilan, terutama bagi masyarakat marginal yang memiliki keterbatasan akses.
Aspek keterbukaan ini yang seringkali luput dalam diskusi tentang transisi energi. Salah satunya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Alih-alih mengedepankan pelibatan serta transparansi tentang risiko penerapan teknologi, regulasi ini terkesan seperti memfasilitasi gagasan salah satu calon wakil presiden dalam debat kandidat. Ketiadaan transparansi ini semakin mengaburkan perwujudan demokratisasi energi dalam proses transisi energi yang mengedepankan pelibatan publik untuk mendapat klaim atas energi.
Selain itu, anak muda juga memiliki kemampuan dalam berjejaring dan menumbuhkan kesadaran yang disebarkan melalui berbagai platform komunikasi. Utamanya media sosial. Jejaring ini merupakan modal sosial penting dalam proses transisi energi. Selama ini, transisi energi identik dengan infrastruktur berbiaya besar. Padahal, masyarakat sebetulnya sudah punya konsep transisi energi di skala komunitas.
Di Dasan Tengah, Sembalun, Lombok, masyarakat tidak lagi risau pemadaman listrik yang kerap terjadi. Sejak awal bulan Ramadhan tahun 2023 lalu mereka bisa memanfaatkan listrik dari panel energi surya berkapasitas 4.700 watt peak. Panel ini mampu memenuhi kebutuhan listrik masjid yang menjadi pusat aktivitas ibadah dan sosial warga. Juga membantu penerangan sekolah dan jalan desa.
Dua sumur bor yang sebelumnya mangkrak karena daya listrik dari PLN tidak mencukupi dapat dimanfaatkan kembali berkat panel surya. Warga bisa mendapatkan akses air untuk konsumsi sehari-hari serta mengaliri lahan-lahan pertanian.
Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan transisi energi bisa dimulai level kecil. Lewat anak muda, inisiatif-inisiatif ini bisa diamplifikasi untuk menumbuhkan kesadaran serupa di tempat lain. Dari kesadaran yang sama akhirnya akan menciptakan jejaring transisi energi yang mengedepankan pelibatan masyarakat.
Momentum Pemilu 2024 menjadi titik penting. Kita harus mengapresiasi ketiga calon presiden dan wakil presiden yang telah memiliki kesadaran tentang isu lingkungan dan transisi energi dalam visi-misinya. Pun dengan adanya representasi anak muda sebagai salah satu calon wakil presiden, terlepas dari mekanisme pencalonannya.
Di hari-hari terakhir menuju pencoblosan suara sangat penting untuk melihat komitmen masing-masing calon terhadap isu lingkungan dan transisi energi ini secara cermat dan kritis. Penting juga untuk menelusuri rekam jejak masing-masing calon dan barisan partai-partai pendukungnya untuk melihat sejauh mana konsistensi yang dituliskan dalam dokumen visi dan misi dengan kenyataan sebenarnya.
Sebagai pemilih muda, kita memiliki kemampuan untuk lebih bijak memilah dan memilih agar tidak terjebak dalam euforia kampanye semata. Siapapun yang terpilih, kita berharap akan mampu menerjemahkan janji-janji tadi dalam langkah konkrit yang berpihak bagi kepentingan masyarakat dalam proses yang berkeadilan bagi semua golongan. Termasuk bagi generasi muda. Generasi yang akan mewarisi bumi ini selanjutnya.
*Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara & Kampanye Pilah Pilih
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.