Menuju konten utama

Emas, Komoditas yang Diburu di Masa Pandemi Tahun 2020

Harga emas mencetak rekor berkali-kali selama masa pandemi tahun 2020. Lalu, bagaimana prospeknya pada tahun depan?

Emas, Komoditas yang Diburu di Masa Pandemi Tahun 2020
Ilustrasi Peti Harta Karun. foto/istockphoto

tirto.id - Emas menjadi komoditas yang banyak dicari di masa pandemi sepanjang 2020. Di tengah semua ketidakpastian akibat COVID-19, logam mulia ini dianggap sebagai wadah investasi yang paling aman.

Harga emas mulai merangkak naik pada awal 2020. Ketika itu dunia belum terlalu memahami seberapa dahsyat dampak COVID-19 yang muncul di Wuhan, Cina dan kemudian menyebar ke beberapa negara. Dilansir dari Statista, pada Januari 2020, rata-rata bulanan sebesar US$1.560,67 per ounce.

Setelah itu harga emas terus meningkat sejalan dengan semakin meluasnya penyebaran COVID-19 yang memberikan implikasi besar pada perekonomian dunia.

Sepanjang tahun ini bahkan harga emas mencetak rekor tertinggi beberapa kali. Rekor tertinggi harga emas pertama tahun 2020 pecah pada 27 Juli. Di pasar spot, harga emas naik 2,3% menjadi US$1.944,68 per ounce. Harga ini mengalahkan rekor tertinggi emas sebelumnya seharga US$1.920 per ounce saat krisis finansial pada September 2011. Demikian dilansir The Guardian.

Rata-rata, harga emas pada Juli menurut Statista mencapai US$1.840,81 per ounce. Statista membuat rata-rata harga per ounce untuk emas murni di pasar London.

Harga emas melonjak tajam pada bulan tersebut seiring semakin menguatnya kekhawatiran terhadap dampak pandemi terhadap perekonomian. Sejumlah lembaga keuangan mulai merevisi proyeksi ekonomi seiring pandemi yang belum juga tertangani memasuki semester II.

Faktor geopolitik turut memberikan sentimen pendorong kenaikan harga emas, yaitu memburuknya kembali perdagangan Amerika Serikat dan Cina. Hal itu dipicu oleh keputusan otoritas Cina untuk mengambil alih konsulat AS di kota Chengdu untuk merespons perintah pemerintahan Trump menutup konsulat Cina di Houston.

“Sementara kita berpikir emas akan terus disokong oleh naiknya tensi geopolitik, dalam pandangan kami pendorong utama dari kenaikan harga emas adalah korelasi negatif dengan suku bunga dan dolar,” kata Chief Investment Officer Mark Haefele, seperti dilansir dari CNBC. “Kami pikir tiga faktor ini, dikombinasikan dengan pertumbuhan suplai yang terbatas karena perusahaan tambang akan terus membatasi belanja modal, akan mendorong harga emas naik,” lanjutnya.

Dolar AS dan harga emas biasanya bergerak berlawanan arah. Pelemahan dolar akan membuat harga emas naik, demikian juga sebaliknya. Hal serupa berlaku untuk pergerakan suku bunga. Pandemi COVID-19 memaksa bank sentral untuk menekan suku bunga ke titik terendah agar ekonomi terus bergerak. Emas menjadi komoditas favorit di tengah lingkungan suku bunga yang rendah.

Harga emas pun kembali mencetak rekor. Angkanya menembus US$2.000 per ounce pada 5 Agustus. Sentimen pendorongnya masih sama, yakni kekhawatiran tentang ketidakpastian ekonomi karena pandemi COVID-19 yang belum terlihat ujungnya. Rata-rata, harga emas pada bulan Agustus mencapai US$1.971,17 per ounce.

Setelah itu, perlahan harga emas turun, apalagi setelah munculnya kabar seputar penemuan vaksin.

Hingga November 2020, harga emas secara rata-rata mencapai US$1.762,77 per ounce. Ini berarti dari Januari hingga November harga emas sudah naik hingga 26%, menurut data Statista. Pada 2019, harga emas rata-rata sebesar US$1.392,6 per ounce dengan tingkat permintaan sebanyak 4.355,7 per metrik ton di seluruh dunia.

Harga emas memang sudah berada di bawah US$1.900 per ounce memasuki Desember. Namun Peter Grosskopf, CEO Sprott Inc, menyatakan tetap optimistis emas berada pada level harga yang baik pada akhir tahun ini. Ia juga memperkirakan harga emas bisa tembus US$2.000 per ounce lagi pada 2021, bahkan US$2.300 atau US$2.400 di tengah perekonomian global yang dipenuhi utang akibat pandemi.

“Ada kebutuhan yang meningkat bagi investor untuk memegang jaminan lebih banyak karena kita akan terus melihat belanja pemerintah yang tidak terkontrol dan defisit,” katanya, seperti dilansir dari Kitco.

Pemerintahan dari berbagai belahan dunia memang perlu untuk menggelontorkan stimulus besar-besaran untuk menangani dampak pandemi baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Pada April 2020, IMF memperkirakan total stimulus di berbagai belahan dunia mencapai 9 triliun dolar AS.

Stimulus besar-besaran akan membawa dampak pada tingkat inflasi. Pada situasi inflasi yang meningkat, emas akan menjadi investasi tempat berlindung. Stimulus besar-besaran itu juga membuat defisit anggaran negara semakin lebar. Dampaknya, tingkat utang negara-negara di dunia diperkirakan meningkat tajam.

“Prospek emas dan logam berharga lainnya dalam jangka menengah-panjang masih bulish di tengah lingkungan suku bunga rendah serta stimulus fiskal dan moneter,” kata Margaret Yang, seorang market strategist, seperti dikutip dari BBC.

Saat situasi sedang bergejolak tak terkendali, investor memang biasanya akan menempatkan investasi di tempat yang aman, salah satunya emas. Ia akan menjadi pelindung untuk menutup kerugian dari aset-aset lain yang tergerus selama masa ketidakpastian. Dengan kata lain, emas adalah aset 'safe haven'.

Baca juga artikel terkait EMAS atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Rio Apinino