Menuju konten utama

Ekosistem Startup Lokal: Kaya Inovasi, Minim Akselerasi

Negeri ginseng tercatat memiliki 8.708 startup yang terus berkembang.

Ekosistem Startup Lokal: Kaya Inovasi, Minim Akselerasi
Ilustrasi START UP. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Drama Korea atau drakor Start Up mendapatkan sorotan luar biasa dari masyarakat Indonesia. Drakor yang dibintangi Bae Suzy dan Nam Joo-hyuk ini menceritakan seluk beluk membangun startup alias perusahaan rintisan.

Bae Suzy yang didapuk menjadi pemeran utama bernama Seo Dal-mi, perempuan yang punya mimpi menjadi CEO di perusahaan rintisan. Untuk memuluskan jalannya menjadi CEO, Seo Dal-mi bersama Nam Do-san yang diperankan oleh Nam Joo-hyuk serta tiga rekan lainnya membangun perusahaan rintisan bersama bernama “Samsan Tech”.

Samsan Tech punya keuntungan begitu besar karena mampu lolos menjalani program akselerasi bisnis di “Sandbox”. Perjalanan tim “Samsan Tech” mengembangkan bisnisnya sukses membius para pecinta drakor di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Start Up ini banyak menyoroti soal peran akselerator dan inkubator dalam proses bisnis perusahaan rintisan. Penonton disuguhi kecanggihan dari akselerator bernama “Sand Box”, rumah bagi inovasi teknologi untuk mengembangkan bisnisnya.

Menengok Ekosistem Startup Negeri Ginseng

Kendati Start Up adalah fiksi, namun cerita soal kecanggihan Korea Selatan sebagai rumah yang ideal bagi perusahaan rintisan bukan bualan. Negeri ginseng tercatat memiliki 8.708 startup yang terus berkembang. Sebanyak 12 startup di antaranya bahkan telah menyabet gelar unicorn. Industri startup di Korea Selatan juga telah menyerap total 100 ribu tenaga kerja.

Pemerintah Korea Selatan memberikan suntikan dana per kapita tertinggi di dunia. Pemerintah menyiapkan anggaran hingga 12 triliun won atau USD 9 miliar untuk mendanai para perusahaan rintisan tahun ini. Pemerintah juga menargetkan tambahan 10 startup berstatus unicorn baru pada 2022 mendatang.

Perusahaan rintisan Korea Selatan rupanya tidak berjalan sendirian. Para pendirinya didampingi oleh lebih dari 263 inkubator dan 85 akselerator. Hal ini punya yang menyebabkan ekosistem startup Korea Selatan lebih stabil dan dapat meredam risiko kebangkrutan saat produk startup meluncur di pasar.

Salah satu akselerator yang menjadi sorotan ialah Born2Global atau B2G yang berada di bawah naungan Kementerian Sains dan Teknologi Informasi Korea Selatan. Berdiri sejak 2013, B2G menyediakan program akselerasi kepada 100 startup setiap tahunnya. Akselerator ini juga menjadi jembatan antara start up dan investor. Pasalnya, sejak akselerator ini berdiri, sudah ada 395 kesepakatan bisnis dari investor luar negeri dengan nilai investasi mencapai 59,3 Miliar won.

Mendorong Pertumbuhan Inkubator Startup

Cerita perusahaan rintisan di Korea Selatan berbeda dengan kondisi ekosistem startup di Indonesia. Di tanah air, industri startup adalah fenomena gunung es.

Masyarakat tentu sudah mengenal perusahaan rintisan yang kini sudah menjadi raksasa. Laporan CB Insight pada Oktober 2020 ini merilis nama-nama startup lokal yang mencatatkan valuasi tinggi. Tentu saja ada nama Gojek dengan valuasi sebesar USD 10 miliar, lalu Tokopedia sebesar USD 7 Miliar, Traveloka sebesar USD 3 miliar, hingga OVO dengan valuasi hingga USD 2 miliar.

Di balik nama nama startup dengan level unicorn itu, masih ada masalah lain yang luput dari sorotan. Hal itu tidak lain ialah rendahnya success rate bagi pelaku startup di Indonesia. Pemerintah sebenarnya telah turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini.

Upaya pemerintah Indonesia menghasilkan perusahaan berstatus unicorn telah dirintis sejak 2016 silam, di bawah payung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menggandeng KIBAR. Sesuai namanya, program ini menjaring sebanyak mungkin perusahaan rintisan dengan mendirikan pusat inovasi di 10 kota di Indonesia.

Uluran tangan pemerintah tidak cukup besar untuk menangani seluruh pelaku industri startup baru. Akibatnya, ada banyak perusahaan rintisan Indonesia yang tumbang karena ketidaksiapan menghadapi pasar. Padahal, hal ini bisa diantisipasi dengan inkubator dan akselerator bisnis. Program akselerasi biasanya menyasar startup dengan produk yang lebih matang, namun masih perlu proses validasi ke pasar. Sementara itu, inkubasi berfokus pada proses menyempurnakan ide dan produk.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Periode 2014 hingga 2019 Rudiantara sempat menyinggung masalah kegagalan ini. Menurut Rudiantara, startup lokal Indoneisa kerap buru-buru meluncurkan produk tanpa memvalidasi pasarnya terlebih dahulu.

“Kebanyakan di Indonesia banyak yang techie (techno savvy) tapi mereka lupa terhadap market, ada nggak pasarnya? We need to validate the market. Gimana caranya biar success rate startup kita bisa lebih dari 75% ”Kata Rudiantara seperti dilansir Liputan6.com.

Ekosistem startup lokal pun perlahan berbenah. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menekankan, inkubator sangatlah diperlukan untuk menopang bisnis startup Indonesia saat ini. Terlebih, kata Bambang, keberlangsungan startup sangat strategis dalam menopang Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) tanah air.

“Jika melihat prospek yang menjanjikan dari bisnis startup, belum diimbangi dengan jumlah wirausaha yang ada di Indonesia. Mengingat jumlah wirausaha di Indonesia baru mencapai sekitar 3% saja dari jumlah penduduk Indonesia. Masih dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (5%), Singapura (7%), dan Tiongkok (10%),” Ungkap Bambang dalam peluncuran Digital Incubator Playbook (01/12).

Dukungan berupa dana juga dikucurkan pemerintah untuk membumikan bisnis startup lokal. Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dalam program Perusahaan Lanjutan Berbasis Teknologi (PLBT) menyiapkan skema berupa dana hibah senilai Rp250 juta hingga Rp1 Miliar. Tahun lalu, sebanyak 300 startup terpilih untuk mendapatkan suntikan dana pemerintah ini.

Menurut Direktur Eksekutif Masyarakat Industri Kreatif Berbasis Teknologi Informasi (MIKTI) Indra Purnama, mewujudkan success rate yang disebut Menkominfo Rudiantara sangatlah sulit.

“Untuk menggarap pasar Indonesia yang sangat luas ini, harusnya jumlah startup yang menggarap ini sangat banyak. Sayangnya jumlah inkubator di Indonesia terbatas hanya 130, tidak mewadahi pertumbuhan startup baru,” Kata Indra kepada reporter Tirto (21/12).

Menyoal kondisi inkubator tanah air, Indra menyebut mayoritas inkubator startup di Indonesia tidak memiliki bidang fokus industri atau teknologi yang spesifik, terlebih mayoritas di antaranya dimiliki perguruan tinggi. Hal ini membuat inkubator tidak dapat secara optimal merancang program dan bentuk dukungan yang sesuai untuk startup yang dibinanya

Selain itu, kondisi inkubator di Indonesia belum bisa memberikan dukungan penuh. Hal ini nampak dari jumlah inkubator yang mampu memberikan pendanaan awal tidak lebih dari 15 inkubator.

“Dana itu minim sekali diberikan inkubator di Indonesia. Kalau kita lihat di luar negeri itu inkubator sudah memberikan skema-skema pendanaan bagi startup. Beruntung ada dana hibah pemerintah, tapi belum cukup banyak untuk mengcover pertumbuhan awal startup di seluruh Indonesia,” Jelas Indra.

Di sisi lain, Indra melihat mayoritas pendiri startup lokal kerap terkecoh dengan potensi pangsa pasar di Indonesia. Meski data terakhir menunjukan Indonesia punya 196,7 juta pengguna internet, hal itu tidak menjadi jaminan produk atau layanan startup dibutuhkan oleh pasar.

“Itu menunjukan pendiri tidak memahami proses inovasi dan hanya fokus pada besarnya pasar tanpa memahami pasar yang besar itu memiliki segmen-segmen dengan kebutuhan yang berbeda juga,” Terang Indra.

Terlebih, adanya krisis pandemi covid-19 membuat perubahan perilaku pasar dalam waktu yang singkat. Data dari PwC menunjukan adanya pergeseran tersebut, misalnya, peningkatan atensi masyarakat terhadap pada produk kesehatan hingga adaptasi proses berbelanja.

Infografik Ekosistem Startup Lokal

Infografik Ekosistem Startup Lokal. tirto.id/Rangga

Tetap Terakselerasi di Tengah Pandemi

Adaptasi itu juga yang harus dilalui para pendiri startup. Pandemi menjadi momentum redefinisi prospek startup di tanah air. Terbatasnya ruang gerak membuat proses pendampingan para startup ini menjadi terhambat. Tidak ingin success rate startup semakin menurun, MIKTI bersama A-Inkubator menginisiasi program inkubasi virtual bertajuk “ MIKTI Start” di tahun 2020 ini.

Program ini telah menjaring 140 startup yang terbagi dalam tiga program berbeda, sesuai dengan taraf kesiapannya. Ketiganya antara lain, Problem-Solution Fit untuk startup pada tahap ide dan difokuskan untuk menyempurnakan ide tersebut dengan diiringi validasi ide secara bertahap, Product-Launch Fit untuk tahap pengembangan produk berdasarkan ide yang telah tervalidasi yang dilanjutkan dengan aktivasi pengguna awal, serta Product-Market Fit untuk startup yang memiliki produk yang telah dapat diakses oleh pengguna untuk kemudian fokus pada iterasi penyempurnaan produk dan model bisnis serta retensi pelanggan awal sebelum akhirnya memperluas pasar pada tahap selanjutnya.

Pendiri startup yang mengikuti inkubasi ini juga berkesempatan bertemu dengan sejumlah pihak untuk membantu mengembangkan bisnis mereka lebih lanjut, antara lain angel investor, venture capital, korporasi, pemerintah dan mitra strategis lainnya.

Keterbatasan rupanya dapat berubah menjadi peluang. Pasalnya, program inkubasi virtual ini telah menjaring calon pendiri startup yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dengan begitu, kata Indra, Hal ini menjadi peluang untuk mengangkat potensi bisnis digital yang sesuai dengan karakteristik lokasi perusahaan startup tersebut.

“Dengan adanya kegiatan inkubasi virtual ini, diharapkan setiap bagian dalam ekosistem ekonomi digital dapat turut menyumbang solusi akselerasi, khususnya bagi startup digital di awal pendiriannya, terlebih lagi di tengah kondisi krisis saat ini,” pungkas Indra.

Baca juga artikel terkait STARTUP atau tulisan lainnya dari Muhamad Arfan Septiawan

tirto.id - Bisnis
Penulis: Muhamad Arfan Septiawan
Editor: Windu Jusuf