tirto.id - Pike Place Market, Seattle, 1971. Di salah satu pusat niaga tertua di Amerika Serikat inilah Jerry Baldwin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker mendirikan toko biji kopi, teh, dan rempah-rempah dengan nama Starbucks.
Penjualan dan perkembangan usaha ketiganya biasa-biasa saja, tapi mereka bertemu banyak orang sepanjang perjalanan. Salah satunya adalah Howard Schultz, yang pada 1982—setahun sejak kunjungan pertamanya ke Starbucks—bergabung sebagai Director of Retail Operations and Marketing. Seperti Ray Kroc untuk McDonald’s, Schultz adalah pembawa gagasan besar.
Hingga 1980-an, masyarakat AS belum mengenal budaya minum kopi di kedai. Kopi, bagi mereka, adalah minuman yang dikonsumsi di rumah. Schultz, yang terkesan dengan budaya minum kopi di kedai sepulang dari kunjungan ke Milan pada 1983, meyakinkan para pendiri Starbucks untuk membangun budaya serupa, setidaknya di Seattle saja.
Setahun berselang kedai kopi pertama Starbucks berdiri, jumlahnya terus dan terus bertambah. Pada 1987, sudah 17 kedai kopi Starbucks berdiri—termasuk kedai pertama di luar Amerika Serikat, di Vancouver, Kanada. Pada 1991, jumlah kedai kopi Starbucks mencapai 116. Pada 1996, kedai kopi Starbucks pertama di luar Amerika Utara dibuka di Jepang dan Singapura, melengkapi 1.013 kedai lain yang sudah berdiri di AS dan Kanada.
Di akhir 2020, sudah ada 32.660 Starbucks di 76 negara, yang tentu saja cukup mengesankan.
Namun Starbucks tak melulu soal angka. Untuk bisa hadir di puluhan negara, Starbucks tidak hanya berjualan kopi, tetapi juga membangun budaya minum kopi di kedai, meramu kopi “terbaik”, mendesain kedai sedemikian rupa, hingga mempekerjakan kecerdasan buatan.
Bagaimana Starbucks Menjual Kopi “Terbaik”
Semua tahu bahwa harga secangkir kopi Starbucks lebih mahal dari secangkir kopi di kedai kopi konvensional. Dibandingkan dengan secangkir kopi di waralaba penyedia kopi—contohnya Dunkin’ Donuts dan McDonald’s—pun harga secangkir kopi Starbucks lebih mahal. Walau demikian, kedai kopi Starbucks tetap ramai.
Starbucks tetap laris manis karena sebuah kecenderungan bernama irrational value assessment.
Sekelompok peneliti dari Stanford Graduate School of Business dan California Institute of Technology membuktikan kecenderungan ini pada 2008. Mereka mengundang sebelas orang partisipan untuk minum lima gelas anggur dari lima botol berbeda. Setiap botol tidak memiliki keterangan selain label harga: dari 5, 10, 35, 45, hingga 90 dolar AS.
Sebenarnya hanya ada tiga anggur berbeda dalam penelitian ini. Anggur dengan label harga 5 dan 45 dolar AS sebenarnya sama, dan harga aslinya adalah 5 dolar AS; anggur dengan label harga 10 dan 90 dolar AS juga sama: harga aslinya 90 dolar AS. Hanya anggur dengan label harga 35 dolar AS yang tidak disajikan dua kali.
Kesebelas partisipan mengatakan bahwa kelima gelas anggur yang mereka cicipi memiliki rasa berbeda. Semua partisipan penelitian ini juga mengurutkan kelima anggur berdasarkan harga ketika diminta memilih anggur terbaik di antara kelimanya. Hasil pemindaian functional magnetic resonance imaging (FMRI) menunjukkan konsistensi antara pernyataan para partisipan dengan aktivitas di medial orbitofrontal cortex, bagian otak yang merasakan kenikmatan.
Aktivitas medial orbitofrontal cortex partisipan lebih tinggi ketika mengonsumsi anggur berlabel harga 45 dolar AS ketimbang 5 dolar AS walaupun sebenarnya sama. Aktivitas di bagian otak tersebut lebih rendah ketika partisipan mengonsumsi anggur berlabel harga 10 dolar AS ketimbang 90 dolar AS, padahal, lagi-lagi, keduanya sama.
Hasil penelitian ini bukan kejutan bagi para ahli ekonomi perilaku. Orang-orang memang cenderung menilai sesuatu yang berharga mahal sebagai sesuatu yang bernilai dan bermutu tinggi. Sebaliknya, sesuatu yang berharga murah dianggap bernilai dan bermutu rendah. Starbucks memahami irrational value assessment dan menerapkannya dalam produk mereka, menyulap secangkir komoditi menjadi kemewahan sehari-hari.
Ekonomi perilaku, secara spesifik irrational value assessment, bukan satu-satunya strategi Starbucks untuk mendorong konsumen mengeluarkan uang lebih banyak untuk secangkir kopi.
Selain perilaku irrational value assessment, Starbucks juga memakai strategi unik lain: pencahayaan. Di semua kedai mereka di seluruh dunia, Starbucks mengundang pengunjung dengan pengaturan cahaya.
Kedai-kedai kopi Starbucks cenderung redup kecuali di dua titik tertentu: rak barang dagangan dan kasir. Pencahayaan di kedua titik ini didesain lebih terang dari sudut-sudut lain dengan tujuan menarik perhatian pengunjung. Dengan teknik pencahayaan ini, rak barang dagangan dan kasir langsung menjadi sudut-sudut pertama yang dilihat pengunjung begitu mereka memasuki kedai, meningkatkan kemungkinan pengunjung menjadi pembeli.
Melengkapi terang di titik-titik transaksi, Starbucks mendesain tempat-tempat duduk menjadi lokasi-lokasi relatif redup. Di tempat konsumen duduk, Starbucks menggunakan pencahayaan yang lembut dan hangat, menciptakan suasana nyaman dan santai untuk menjaga konsumen selama mungkin di kedai mereka. Semakin lama konsumen menghabiskan waktu di kedai, semakin besar pula kemungkinan mereka memesan cangkir kedua.
Digitalisasi Kopi
Menyediakan kopi dengan teknik marketing unik, juga memberikan kesan nyaman dan mewah, cukup untuk membawa Starbucks berkembang dari waralaba kedai kopi regional menjadi brand global raksasa. Tapi Starbucks tidak ingin berhenti di situ. Mereka menegaskan kehadiran dan posisi dengan inovasi-inovasi digital.
Starbucks cukup cepat menyadari potensi analisis data dalam memaksimalkan customer lifetime value (rata-rata pembelian per pelanggan per kunjungan, jumlah kunjungan per pelanggan per tahun, dan rata-rata customer lifetime) adalah peluang emas untuk jauh mengungguli pesaing-pesaing mereka. Tahun 2011, peluncuran aplikasi Starbucks menjadi titik mula masuknya Starbucks ke ranah analisis data.
Aplikasi Starbucks awalnya dijalankan sebagai program loyalitas. Pelanggan mengumpulkan bintang dari setiap pesanan dan menukarnya dengan minuman ketika mereka memiliki cukup bintang. Seiring waktu, aplikasi Starbucks berkembang jadi wadah konsumen mencari informasi tentang menu, lokasi kedai, dan jam operasional. Aktivitas pengguna di aplikasi memberi Starbucks masukan berguna tentang lokasi kedai populer, minuman yang laris, dan waktu ramai.
Pada 2017 Starbucks melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan strategi transformasi digital yang diberi nama Digital Flywheel. Terobosan ini memiliki empat pilar: penghargaan, personalisasi, pembayaran, dan pemesanan. Tujuan utamanya adalah menghubungkan titik-titik sentuh fisik dengan titik-titik sentuh digital.
Pada 2019 Starbucks memperkuat Digital Flywheel dengan kecerdasan buatan yang diberi nama Deep Brew. Deep Brew memberi Starbucks informasi-informasi yang sebelumnya tidak tersedia. Memanfaatkan data yang dikumpulkan Deep Brew, Starbucks kini dapat menjangkau setiap pengguna aplikasi mereka dengan penawaran yang sangat spesifik berdasarkan beberapa kondisi: preferensi masing-masing pengguna, riwayat transaksi, waktu, hari (hari kerja atau akhir pekan), dan tanggal-tanggal tertentu (seperti ulang tahun pengguna).
Data yang dikumpulkan oleh Deep Brew akan digunakan lebih lanjut untuk mengambil keputusan-keputusan lain, seperti menentukan lokasi kedai baru, memperkenalkan menu baru, dan menampilkan menu-menu berbeda di setiap layar drive-thru. Sederhananya, Deep Brew membantu Starbucks memaksimalkan penjualan sebaik mungkin.
Peran besar Deep Brew semakin nyata terlihat ketika pandemi COVID-19 menerpa. Seperti kebanyakan bisnis, penjualan Starbucks menukik di kuartal pertama 2020. Berkat Deep Brew, penjualan yang menurun menjadi tidak begitu berarti karena pemasukan per pesanan terus meningkat sepanjang sisa tahun, mengimbangi kehilangan pendapatan di kuartal pertama.
Personalisasi penawaran yang begitu spesifik membuat para pengguna aplikasi sangat kesulitan menolak penawaran, karena mereka menerimanya sebagai sesuatu yang menguntungkan—walau sebenarnya yang diuntungkan tetap Starbucks. Dengan Digital Flywheel dan kemudian Deep Brew, Starbucks telah menetapkan diri menjadi kedai kopi yang cakap membangun kesetiaan pelanggan dengan memaksimalkan data.
Editor: Nuran Wibisono