tirto.id - Tekanan ekonomi global yang masih lesu hingga perang dagang antara AS dan China yang belum mereda akhirnya berimbas terhadap melemahnya perekonomian di tiap negara. Jepang adalah salah satunya.
Dilansir dari Reuters, pertumbuhan ekonomi Negeri Sakura itu hanya naik 1,3 persen selama periode April-Juni 2019. Capaian itu lebih rendah ketimbang pertumbuhan ekonomi kuartal I/2019 yang naik 2,8 persen.
Meski melambat, toh ekonomi Jepang dianggap masih kuat, meskipun situasi ekonomi global memburuk ke depannya. Pasalnya, konsumsi dalam negeri dan investasi Jepang hingga saat ini masih menunjukkan tanda positif.
Ekonom tak menampik perang dagang yang belum reda hingga ekspor yang lesu memiliki pengaruh signifikan terhadap ekonomi Jepang. Belum lagi, pajak konsumsi di Jepang bakal naik pada Oktober ini, kondisi ini dikhawatirkan membawa Jepang ke jurang resesi.
“Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi Jepang akan berbalik ke arah negatif pada periode Oktober-Desember,” sebut Izuru Kato, Kepala Ekonom Totan Research sebagaimana dikutip dari Reuters.
Ekonomi yang melesu tak hanya terjadi di Jepang. Negara-negara lainnya seperti Singapura, Jerman dan Argentina juga mengalami hal yang sama. Bahkan, Argentina—negara dengan ekonomi terbesar kedua di Amerika Selatan—mencatatkan pertumbuhan ekonomi minus 5,8 persen pada kuartal I/2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyatakan saat ini pemerintah tengah mewaspadai dampak resesi dan perlambatan ekonomi yang dialami sejumlah negara terhadap ekonomi Indonesia.
“Itu perlu terus menerus kita pelajari dan waspadai exposure di negara mana saja,” ucap Sri Mulyani kepada wartawan saat ditemui di Kantor Kementerian keuangan, Senin (9/9/2019).
Sri Mulyani tak menampik bahwa pelemahan ekonomi global berpotensi berdampak ke Indonesia, mulai dari sisi ekspor, fiskal dan lain sebagainya. Namun ia berkomitmen, pemerintah siap mengantisipasi berbagai kemungkinan tersebut.
Lantas, apakah ekonomi Jepang yang melambat akan berdampak terhadap Indonesia?
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyatakan ekonomi Jepang yang melambat jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia, terutama dari kinerja ekspor.
“Dia (Jepang) adalah negara tujuan ekspor terbesar selain Cina dan Amerika. Kalau Jepang mengalami perlambatan ekonomi, maka ekspor kita jelas akan tertekan,” kata Faisal saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (10/9/2019).
Apa yang dibilang Faisal ada benarnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Jepang menduduki posisi ketiga tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia, setelah China dan AS dengan porsi 8,99 persen per Juli 2019.
Sepanjang Januari-Juli 2019, ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang sebesar US$7,91 miliar, turun 18 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$9,69 miliar. Persentase penurunan ekspor ini terbesar kedua, setelah Belanda.
Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Apalagi, geliat ekonomi AS dan China sudah lebih dulu melambat. Pemerintah Indonesia harus bersiap mengantisipasi dampak pelemahan ekspor ke ketiga negara itu terhadap ekonomi nasional.
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi kita secara umum terpengaruhi. Target pertumbuhan 5,2 dan 5,3 persen mungkin tidak tercapai. Kami khawatir pertumbuhan ekonomi 5,1 persen saja sulit untuk dicapai,” ucap Faisal.
Faisal menyebutkan sejumlah komoditas ekspor Indonesia yang bakal terpengaruh dengan ekonomi Jepang yang melambat di antaranya batu bara dan gas. Selain itu, ada juga permata, perhiasan, kayu sampai dengan karet.
Tak hanya itu, perlambatan ekonomi Jepang juga akan mengganggu rantai pasok industri otomotif kedua negara. Selama ini, Indonesia mengekspor komponen otomotif ke Jepang, dan Indonesia juga mengimpor kebutuhan otomotif dalam negeri dari Jepang.
Mencari Pengganti Jepang
Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengusulkan pemerintah Indonesia untuk mencari pasar ekspor baru untuk menggantikan Jepang.
“Kalau tidak, dampak defisit neraca perdagangan dikhawatirkan akan semakin melebar. Efek beruntun juga akan dirasakan dengan melebarnya defisit transaksi berjalan,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto.
Namun, lanjut Bhima, perlambatan ekonomi Jepang tidak sepenuhnya merugikan Indonesia. Bahkan, bisa berbalik menjadi peluang. Investor umumnya memilih berinvestasi ke luar, jika ekonomi domestik melambat.
Peluang itu tentu harus segera ditangkap pemerintah Indonesia. Apalagi, daya tarik Indonesia bagi investor asing sebenarnya cukup bagus dengan jumlah populasi 260 juta orang dan pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5 persen.
Di sisi lain, investasi Jepang di Indonesia selama ini juga besar. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per April 2019, Jepang kini menyalip Cina sebagai investor terbesar kedua di Indonesia.
Ketertarikan Jepang untuk investasi sudah terlihat dari akusisi sejumlah bank lokal di Indonesia. Di samping itu, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per April 2019 juga menunjukan Jepang kini menyalip Cina sebagai investor terbesar kedua.
Oleh karena itu, lanjut Bhima, pemerintah harus bersiap memberikan insentif yang menarik untuk mengambil peluang itu. Jangan sampai kegagalan menggaet 33 perusahaan asal Cina beberapa waktu yang lalu, terulang kembali di Jepang.
“Kalau Jepang resesi, aliran investasi justru mengalir ke Indonesia. Tinggal bagaimana kita bisa tarik peluang investasi itu. Semakin spesifik insentifnya makin bagus. Syukur-syukur perusahaan IT-nya yang pindah," ucap Bhima.
Editor: Ringkang Gumiwang