tirto.id - Investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN) masih jauh dari target yang ditentukan pemerintah yakni Rp100 triliun pada akhir 2024. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut kesalahan pemerintah untuk menarik minat investor masih perlu disoroti, salah satunya ketidakjelasan status lahan yang saat ini belum juga rampung.
"Ada beberapa faktor investasi asing belum banyak masuk di IKN, terutama adalah soal status lahan," ungkap Bhima saat dihubungi Tirto, Senin (24/6/2024).
Bhima menjelaskan status lahan di IKN masih banyak terjadi ketidakjelasan atau tumpang tindih antara lahan yang berstatus milik masyarakat, pemerintah dan Hak Guna Usaha (HGU). Bhima menilai, para investor memerlukan status lahan yang jelas karena menyangkut kepastian bisnis ke depannya. Kepastian status lahan juga meminimalisir sengketa dengan masyarakat dan badan usaha lain di sekitar Nusantara.
"Mereka khawatir kalau lahannya belum jelas misalnya suatu saat terjadi sengketa dengan masyarakat, dengan pemerintah dan dengan badan usaha lainnya. Itu akan menjadi biaya yang sangat besar, ini adalah bagian risiko ketidakpastian dari sisi lahan," ujar Bhima.
Selain itu, sikap pemerintah terhadap keberlanjutan lingkungan juga menjadi nilai yang perlu dibenahi agar menarik investasi. Pasalnya, beberapa negara maju justru akan melihat suatu proyek yang mengedepankan net zero emission (NZE), kota hijau hingga isu lingkungan lainnya.
"Meskipun IKN mengeluarkan berbagai laporan mengenai net zero emission, kota hijau, dan lainnya, tetap belum menyakinkan investor, khususnya investor di negara maju yang memiliki standarisasi environmental social governance (ESG) yang tinggi. Jadi kriteria lingkungan ini menjadi kriteria yany wajib dipenuhi," ungkap Bhima.
IKN juga dianggap gagal dalam pengelolaan lingkungan. Bhima menjelaskan adanya deforestasi yang masif di Kalimantan juga membuat pandangan investor menjadi tidak tertarik.
"Di sini lah letak kegagalan dari IKN, karena begitu ada laporan deforestasi ini bisa mengancam juga investor dan bermasalah juga di negara asalnya," kata Bhima.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan sepinya investor yang masuk ke Nusantara karena ketidakjelasan kebijakan yang diluncurkan pemerintah terkait pembangunan jangka panjang di kawasan ibu kota baru tersebut. Selain itu, dinamika lain juga menyertai hiruk pikuk pembangunan IKN, seperti kekosongan pemimpin IKN yang tempo hari telah mengundurkan diri.
"Ketidakpastian hukum karena pimpinan belum ditetapkan. Regulasi belum jelas skema kerja sama dan lainnya," ujar Sri.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Intan Umbari Prihatin