tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebut bakal segera memberhentikan ekspor bijih nikel atau ore untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Namun, meski belum resmi diberlakukan, rencana Menteri ESDM Ignasius Jonan itu sudah membuat sejumlah pihak cemas. Tak hanya produsen nikel yang tengah membangun pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter), melainkan juga Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Soalnya, menurut dia, kebijakan restriktif itu bisa membuat kinerja ekspor makin memburuk. Di sela-sela acara seminar 'Transformasi Ekonomi untuk Indonesia Maju', Jumat pekan lalu, ia bilang bahwa potential loss dari penghentian ekspor bijih nikel bisa mencapai 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp56,7 triliun.
Benarkah ekspor bijih nikel mencapai angka tersebut?
Dari sejumlah data yang dihimpun Tirto, ekspor bijih nikel memang cukup besar, baik dari sisi volume maupun nilainya. Apalagi, setelah pemerintah melakukan relaksasi lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017: ekspor ore nikel Indonesia langsung mengalami lonjakan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (PBS), pada 2014 volume ekspor bijih nikel Indonesia ke empat negara, yakni Jepang, China, Australia dan Yunani--mencapai 4,16 juta ton, atau senilai 85,9 juta dolar AS.
Sementara tahun lalu, berdasarkan data Internasional Trade Center, ekspor nikel meningkat drastis hingga 392 persen menjadi 19,7 juta ton. Valuasi ekspor ore nikel Indonesia ke China, Ukraina, dan Jepang pada 2018 mencapai 628 juta dolar AS. Terbesar di antara 42 negara pengekspor nikel di dunia.
Bandingkan dengan crude palm oil atau minyak sawit mentah yang juga jadi komoditas andalan Indonesia--dan mati-matian dibela oleh pemerintah saat kebijakan RED II diterapkan oleh Uni Eropa--volume ekspornya cuma sebesar 6,5 juta ton atau senilai 3,5 juta dolar AS pada 2018.
Meski demikian, jika porsinya disandingkan dengan total ekspor non-migas Indonesia yang mencapai 180 miliar dolar AS di tahun lalu, total ekspor bijih nikel cuma mencapai 0,348 persen.
Bahkan, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai total ekspor nikel (baik yang berupa konsentrat maupun olahan) hanya mencapai 790,5 juta dolar AS atau sekitar Rp11,06 triliun.
Artinya, jika Enggar khawatir ekspor non-migas Indonesia bakal 'terjungkal' setelah ekspor nikel dihentikan, ia seperti orang yang mengidap paranoia atau ketakutan berlebihan. Apalagi, saat ekspor bijih nikel dilarang pemerintah dan berlaku efektif pada Januari 2014 hingga Desember 2016, neraca dagang Indonesia masih bisa mencatatkan surplus.
Hanya pada 2014 neraca dagang Indonesia tekor, yakni sebesar 2,19 miliar dolar AS. Itu pun lebih disebabkan oleh defisit perdagangan migas yang mencapai 13,4 miliar dolar AS atau terburuk sepanjang sejarah kemerdekaan RI.
Kekhawatiran Enggartiasto terhadap trade balance itu, justru bisa selesai andaikata ia mau mengurangi setengah dari total impor gula yang nilainya mencapai 1,7 miliar dolar AS--nyaris 3 kali lipat dari ekspor nikel di tahun lalu.
Hilirisasi dan Progres Pembangunan Smelter
Di sisi lain, kebijakan pembatasan ekspor untuk kepentingan hiliriasi atau down streaming dapat menciptakan nilai tambah yang cukup besar bagi perekonomian. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), holding industri pertambangan milik negara, menyebut hilirisasi minerba dapat meningkatkan nilai tambah hingga 7 kali lipat.
Hitung-hitungan tersebut didasarkan pada perbandingan nilai ekspor mineral Amerika Serikat antara produk mentah dengan yang sudah diolah. Setelah melalui proses pemurnian kontribusi hasil pertambangan mineral ke PDB AS meningkat dari 0,62 persen menjadi 4,63 persen.
Ketika diolah kembali oleh industri, bahan baku mineral tersebut punya nilai tambah lagi sebesar 3,14 kali dari proses sebelumnya dan membuat kontribusinya terhadap PDB menjadi lebih besar yakni mencapai 14,54 persen.
Namun, persoalan hilirisasi tak sebatas pada pentingnya nilai tambah bagi perekonomian. Khusus untuk nikel, penghematan bahan baku dibutuhkan untuk kebutuhan industri manufaktur Indonesia di masa mendatang.
Dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI awal Juli lalu, Dirut Inalum Budi Gunawan Sadikin menjelaskan bahwa produk turunan bijih nikel yang berupa Nickel Matte, Ferro Nickel dan Nickel Pig Iron (NPI) dapat menjadi bahan baku campuran untuk produk besi anti-karat (stainless steel).
Pasokan bahan baku itu dibutuhkan sebab Inalum, melalui anak usahanya yakni PT Aneka Tambang Tbk., tengah merampungkan smelter serta pabrik ferronikel di Tanjung Buli, Halmahera Timur, untuk dioperasikan pada semester II tahun ini.
Sementara produk lain seperti Nickel Sulfide Precipitate dan Nickel Hydroxide Precipitate serta Cobalt dibutuhkan sebagai bahan baku baterai mobil listrik yang pengembangan industrinya tengah didorong oleh pemerintah.
“Kami [Inalum] sekarang ekspor barang mentah mendekati 3 juta ton per tahun. Perhitungan kami, kalau mau bangun pabrik stainless steel butuh 5 juta ton (nikel). Pabrik baterai butuh 15 juta bat metric ton per tahun, jadi minimum kita butuh bahan baku 20 juta ton per tahun,” kata Budi.
Jika bahan baku nikel tidak dihemat untuk kebutuhan domestik, maka Indonesia bisa kembali bergantung pada impor setelah industri-industri yang dibangun lewat investasi asing rampung. Salah satu rencana pemerintah untuk mengerem impor minyak mentah dengan mendorong pengembangan mobil listrik di Indonesia juga bisa menjadi sia-sia.
Kementerian ESDM sendiri masih mendorong para pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) untuk merampungkan pembangunan smelter hingga 2022. Rencananya, akan ada 57 smelter yang akan beroperasi seiring dengan berakhirnya masa relaksasi ekspor komoditas mineral mentah (ore) pada 2022.
Namun, hingga 2018, kata Direktur Jendral Minerba Bambang Gatot Ariyono, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi, di mana 13 di antaranya merupakan smelter nikel.
“13 perusahaan sudah jalankan smelter nikel (per-Desember 2018). 22 sedang direncakan, jadi totalnya untuk nikel ada 35. Nikel ini merupakan yang paling maju dari logam lain, penyediaan bahan baku dari industrialisasinya sudah besar,” kata Gatot.
Tahun ini, kata Gatot, akan ada 3 smelter nikel yang beroperasi. Selain smelter milik Antam di Halmahera Selatan, ada smelter yang dibangun oleh PT Bintang Smelter Indonesia di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, serta PT Wanatiara Persada di Pulau Obi, Maluku Utara.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz