tirto.id - Sebagai wirausaha muda yang punya lapak di sebuah marketplace, Resi Fahma rutin menggunakan jasa kurir untuk mengantar barang-barang jualannya, yakni popok dan furniture, langsung kepada para pelanggannya.
Ribut-ribut soal tarif ongkos kirim yang naik sejak awal tahun tak terlalu dikhawatirkan perempuan berumur 30 tahun ini. Pasalnya, ongkos kirim (ongkir) sebenarnya disubsidi oleh pemilik marketplace.
“Cuma khawatir juga kalau [ongkir] naik terus. Apalagi, bulan-bulan ini juga penjualan agak turun. Dan ini bukan terjadi di saya saja, yang lain juga turun. Saya enggak tahu apa karena ongkir, inflasi atau apa,” tutur perempuan asal Depok ini.
Kekhawatiran Resi agaknya sudah terjadi. Biaya pengiriman barang sejak awal 2019 ini terus merangkak naik. PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) bahkan sudah dua kali menaikkan ongkos kirim sejak awal tahun.
Kenaikan tarif pengiriman pertama terjadi pada 15 Januari 2019. Saat itu, rata-rata kenaikan tarif dari Jabodetabek ke tempat tujuan naik sebesar 20%. Kenaikan ini berlaku pada tiga layanan JNE, yakni layanan reguler, OKE dan YES.
Selang dua bulan, perusahaan yang didirikan H. Soeprapto Suparno ini kembali menaikkan ongkos kirim. Menurut siaran pers JNE, penyesuaian tarif berlaku mulai 21 Maret "untuk pengiriman paket dengan kota asal maupun tujuan selain Jabodetabek pada layanan reguler, OKE dan YES".
“Penyesuaian ongkir JNE kali ini, baik kenaikan maupun penurunan secara nasional di semua produk layanan, yang rata-rata sebesar 19 persen,” jelas Vice President of Marketing JNE Eri Palgunadi dalam siaran persnya.
Kenaikan ongkos kirim tahun ini bisa jadi yang terbesar dalam catatan sejarah JNE. Pasalnya, kenaikan ongkos kirim tahun-tahun sebelumnya tidak sebesar itu. Misal, tarif 2008 naik 17 persen, 2013 naik 10-15 persen dan 2015 naik 10-15 persen. Selain itu, ongkos kirim yang dinaikkan JNE sebelum 2019 juga hanya terjadi sekali dalam setahun.
Selain JNE, perusahaan kurir lainnya yang juga menaikkan ongkos kirim di antaranya J&T Express. Perusahaan kurir yang beroperasi perdana pada 2015 ini menaikkan ongkos kirim sejak Desember 2018.
Maraknya perusahaan kurir yang menaikkan ongkos kirim akhir-akhir ini bukan tanpa sebab. Penyebab utamanya adalah keputusan maskapai penerbangan untuk menaikkan tarif kargo udara atau surat muatan udara (SMU) secara signifikan. Kenaikan tarif SMU paling rendah sekitar 120 persen dan paling tinggi mencapai 350 persen.
Akibat kenaikan tarif SMU perusahaan kurir melakukan langkah mitigasi agar usahanya tetap bertahan. Ada yang menaikkan tarif ongkir. Ada juga yang memilih menggunakan moda transportasi lain di luar pesawat agar tarif ongkir tetap murah.
Lion Air Parcel, misalnya, memilih kereta api sebagai alternatif dari pesawat. Anak usaha Lion Air ini menjalin kerjasama dengan PT Kereta Api Logistik (Kalog) dalam pengiriman barang guna mengantisipasi tarif SMU yang terus meningkat dan menjaga tarif kurir agar tetap terjangkau.
Namun, ada juga perusahaan kurir yang tidak beruntung lantaran tarif SMU yang melonjak. Menurut Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo), hingga saat ini sebanyak 10 perusahaan kurir sudah gulung tikar.
Biaya Logistik dan Inflasi
Kenaikan tarif SMU yang diikuti peningkatan biaya ongkir tentu menjadi batu ganjalan bagi program pemerintah, terutama dalam upaya mengurangi biaya logistik nasional yang terbilang mahal ketimbang negara-negara tetangga.
Dalam catatan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), rasio biaya logistik terhadap PDB Indonesia pada 2018 baru mencapai 22,8 persen. Hasil ini masih tinggi ketimbang di Thailand yang mencapai 15 persen atau Malaysia yang sebesar 13 persen.
Menyoal tarif kargo udara dan biaya ongkir yang meningkat, Ketua Umum (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi menyayangkan situasi ini justru terjadi tengah upaya pemerintah mengurangi biaya logistik.
Meski begitu, kenaikan biaya logistik di angkutan udara secara umum tidak terlalu signifikan memengaruhi biaya logistik secara nasional. Selain itu, barang juga bisa dikirim dengan moda transportasi lain yang harganya lebih terjangkau.
“Saya kira terlampau jauh jika mengatakan gara-gara urusan kenaikan [tarif kargo udara atau ongkir] maka pemerintah gagal. Bicara logistik itu tidak hanya dari udara, tapi juga dari darat dan laut,” tuturnya kepada Tirto.
Apa yang dikatakan Yukki mungkin benar. Volume pengiriman barang melalui pesawat udara memang paling kecil ketimbang moda angkutan barang lainnya. Berdasarkan Statistik Perhubungan Udara 2017, volume kargo via udara hanya 603.151 ton.
Sementara itu, volume kargo via moda laut mencapai 334,1 juta ton. Adapun volume kargo via kereta api mencapai 43,37 juta ton. Dengan demikian, pengaruh tarif SMU terhadap biaya logistik nasional sesungguhnya tidak signifikan.
Efek tarif SMU dan biaya ongkir dinilai juga turut memengaruhi tingkat inflasi. Bahkan, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan biaya angkutan udara bisa masuk ke dalam lima besar faktor penyumbang inflasi 2019.
Alasannya, biaya angkutan udara tahun lalu saja sudah menjadi penyumbang inflasi terbesar ke-6 sepanjang 2018. Ditambah dengan naiknya biaya kargo udara dalam tiga bulan terakhir ini, proyeksi Indef terkait inflasi tampaknya masuk akal.
“Logistik mempunyai impact yang lebih besar ketimbang angkutan penumpang. Multiplier-nya juga lebih besar,” jelas ekonom Indef Bhima Yudhistira kepada Tirto.
Sumbangan tarif angkutan udara terhadap inflasi tengah menanjak dalam dua bulan terakhir. Pada Januari, tarif angkutan udara menyumbang inflasi sebesar 0,01 persen dan naik menjadi 0,03 persen pada Februari.
Tarif kargo udara, dan biaya ongkir yang naik memang tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya logistik nasional. Namun, ada baiknya pemerintah dapat mengantisipasi kenaikan tarif ongkir. Bagaimanapun, biaya pengiriman yang murah dan cepat sangat dinanti masyarakat.
Editor: Windu Jusuf