tirto.id - Bagi saya yang lahir dan besar di luar Jakarta, Roti Bakar Eddy menawarkan perspektif baru Jakarta: tempat nongkrong yang ramah di kantong.
Ketika pertama kali tiba di Jakarta untuk bekerja medio 2014 silam, saya selalu dibayangi cerita Jakarta sebagai kota yang apa-apa serba mahal. Apalagi sebelumnya saya tinggal di Yogyakarta dan Jember, dua kota yang bisa membuat kamu merasa aman walau hanya punya selembar uang Rp10 ribu di kantong.
Namun, di Roti Bakar Eddy, pekerja berkantong tipis tapi doyan nongkrong macam saya masih bisa bernapas lega. Sekali nongkrong di sana, tak perlu mengeluarkan banyak uang. Saya cukup mengeluarkan Rp20 ribu, jika pesan roti bakar yang harganya merentang dari Rp12 ribu hingga Rp14 ribu. Minumnya kopi hitam atau teh tawar hangat. Itu semua sudah cukup untuk bekal berbual-bual semalam dengan kawan.
Menariknya, meski dikenal sebagai tempat bersantap dengan harga murah, tak lantas membuat orang-orang gedongan alergi makan di sini. Coba tengok hampir di semua gerai Roti Bakar Eddy (RBE), kamu pasti bisa menemukan banyak orang dengan dandanan dandy dan membawa mobil mahal ngobrol santai sambil menyantap seporsi roti bakar kornet telur keju.
Selain menghadirkan tempat tongkrongan murah meriah, RBE juga memberikan saya perspektif tentang kerja keras seorang perantau.
Pendiri RBE adalah Eddy Supardi, pria asal Solo, Jawa Tengah. Pada 1966, di usia 14 jelang 15 tahun, dia nekat pergi merantau ke Jakarta. Saat itu baru setahun usai tragedi berdarah di Indonesia. Jakarta tentu masih genting. Namun, Eddy tetap berangkat ke Ibu Kota.
Di Jakarta, Eddy remaja mengerjakan apapun yang diperlukan untuk bertahan hidup. Awalnya dia menjadi karyawan di sebuah warung roti bakar. Lalu pernah pula jadi loper koran. Eddy juga pernah menjajal jualan lontong sayur dan bubur ayam di sekitar Universitas Al-Azhar, Blok M, Jakarta Selatan.
Sebagai perantau, Eddy punya mental kuat. Dia tak bisa berfoya-foya. Gaji yang tak seberapa besar, disisihkan untuk modal membuat usaha sendiri. Ketika modal sudah terkumpul cukup banyak, Eddy memberanikan diri membuka usaha. Kali ini yang dipilih adalah roti bakar, jenis makanan yang ditanganinya ketika pertama kali kerja di Jakarta.
Eddy optimistis dagangannya akan laku. Dia paham pangsa pasarnya: anak-anak muda yang gemar nongkrong. Gerai pertamanya dibuka di kawasan Blok M, di depan sekolah Al-Azhar, pada 1971.
Sejak awal, RBE memakai roti tawar alias white bread buatan sendiri, dengan ukuran yang panjang dan ramping. Dua helai roti akan dioles isian sesuai keinginan pembeli, lalu dibakar di atas arang hingga kering dan berwarna kecokelatan. Cara memanggang dengan arang ini masih dipertahankan hingga sekarang.
Meski sudah punya usaha sendiri, Eddy tak lantas mengalami hidup yang nyaman. Warungnya sering digeruduk petugas keamanan. Apalagi ketika gerai ini makin ramai, RBE dianggap mengganggu penduduk sekitar. Maklum, kalau anak muda nongkrong volume suaranya sukar dikontrol.
Tiga tahun kemudian, terjadi peristiwa Malari. Pemerintah kemudian memberlakukan jam malam, orang tak boleh berkeliaran pada pukul 18.00 hingga 06.00. Ini membuat RBE yang beroperasi sore hingga malam kesulitan. Namun, RBE tetap bisa bertahan. Jam buka hingga dini hari masih diterapkan oleh RBE.
Pada akhir dekade 1970, RBE bukanlah tempat nongkrong satu-satunya di seputaran Blok M yang memang dikenal sebagai pusat keriaan anak muda Jakarta Selatan. Philips Vermonte, peneliti CSIS yang tumbuh besar di Jakarta Selatan era 1980-an, menyebut ada beberapa titik tempat nongkrong anak muda Jaksel era itu.
“Selain RBE, ada juga KFC dan American Hamburger,” kata Philips.
Gerai pertama KFC dibuka di kawasan Melawai pada 1979. Sedangkan American Hamburger dibuka di Blok M pada 1977. Tiga tempat ini yang kemudian jadi titik nongkrong anak muda. Meski demikian, RBE tetap menjulang karena harganya murah meriah, lebih cocok bagi kebanyakan anak muda yang biasanya berkantong tipis.
RBE kemudian berkembang pesat. Laiknya usaha yang membesar, RBE pun melebarkan sayap. Cabangnya berdiri satu per satu. Meski demikian, mereka tak pernah membuka usaha dengan sistem waralaba, melainkan kekeluargaan. Cabang-cabang RBE dikelola oleh anak Eddy maupun saudara.
Sedikit banyak, ini membuat banyak orang lega. Sistem seperti ini, yang masih kental digunakan di daerah luar Jakarta, lebih bisa memberikan jaminan mutu ketimbang yang memakai sistem waralaba baru. Sekarang, RBE punya 9 gerai. Ada yang di Bekasi maupun Depok. Yang dijual pun tak hanya roti bakar, tapi juga nasi goreng hingga mi goreng. Gerai-gerai ini punya satu kesamaan: jarang sepi.
Eddy Supardi meninggal pada 10 Oktober 2018 pada usia 66 tahun. Kabar duka ini membuat banyak orang mengenangnya. Ardi Wilda (30), salah satu pelanggan RBE, dulu sering nongkrong di sana bareng kawan-kawan. RBE dipilih karena harganya yang murah dan pilihan menunya banyak.
“Secara rasa mungkin biasa saja. Namun pilihannya banyak, jadi enak kalau makan bareng rame-rame. Bisa mewadahi keinginan banyak orang,” kata Ardi.
Meski Eddy sudah meninggal, rasanya musykil melupakan jasanya bagi dunia kuliner di Jakarta. Apa yang dimulai Eddy pada 1971 silam, kini sudah diikuti oleh banyak pengusaha lain. Sekarang, nyaris sulit menghitung berapa gerai roti bakar di Jakarta. Dari yang kelas warung dan menyajikan menu roti bakar konvensional seperti Wafa 99, hingga yang memakai konsep kafe modern seperti Upnormal. Namun, RBE tetap ada, dan kini sudah mendapat predikat legendaris.
Maka, rasanya para penjual roti bakar di Jakarta, juga para anak-anak muda yang gemar nongkrong, selayaknya berterima kasih pada Eddy dan RBE yang telah membuka jalan dan mewarnai tongkrongan sejak era 1970-an.
Editor: Suhendra