tirto.id -
"Ketiga orang tersangka tersebut adalah ERP wali kota Batu, yang kedua EDS Kabag ULP Pemkot Batu dan sebagai diduga sebagai pemberi FHL sebagai pengusaha," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (17/9/2017).
Penetapan status tersangka terhadap Eddy Rumpoko berawal dari penangkapan FHL dan ERP di rumah dinas wali kota Batu. KPK mengamankan FHL karena diduga menyerahkan uang sebesar Rp200 juta kepada ERP terkait pemenangan proyek. Uang tersebut merupakan bagian uang commitment fee 10 persen untuk Wali kota dalam proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemkot Batu tahun anggaran 2017.
Proyek tersebut dimenangkan oleh PT DP dengan nilai proyek mencapai Rp5,26 miliar. Selain menerima uang tunai Rp 200 juta dalam pecahan Rp50.000, FHL juga diduga sudah memberikan uang sebesar Rp300 juta kepada ERP.
Sebelum 2014, Kota Batu hanya memiliki 3 objek wisata skala besar. Setelah itu, Kota Batu memiliki lebih dari 10 tempat wisata unggulan, antara lain Batu Night Spectacular, Museum Satwa Batu, Jatim Park, Eco Green Park, hingga Museum Angkut. Di tengah capaiannya memimpin Kota Batu, Eddy Rumpoko pernah melakukan tindakan yang cukup kontroversial.
Ia pernah menolak pencairan dana desa dari pemerintah pusat pada 2015. Penolakan ini mengundang reaksi pemerintah pusat, termasuk kecaman. Menteri PDTT kala itu Marwan Jafar sempat mengancam bagi kabupaten dan kota yang masih menghambat penyaluran dana desa, maka Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak akan diberikan terlebih dahulu.
Pada 2000, politikus PDIP ini didapuk sebagai Ketua Ikatan Motor Indonesia Jawa Timur selama 2000-2005. Selain itu, Eddy juga pernah menjadi Pemimpin Umum Harian Suara Indonesia pada 1985-1990.
Masa jabatan Eddy yang sudah mentok dua periode di Kota Batu, membuat dirinya tak bisa lagi berkuasa secara langsung di Kota Batu. Sang istri Dewanti Rumpoko maju sebagai Calon Wakil Walikota Batu dalam Pilkada 2017, hasilnya sang istri menang telak dan siap melanjutkan estafet kekuasaan dari tangannya. Dewanti juga kader PDIP sudah sempat maju dalam 2 pilkada, yakni Pilwalkot Malang pada 1999 dan Pemilihan Bupati Malang pada 2015.
Namun di ujung-ujung perpindahan kekuasaan dan ujung kariernya sebagai kepala daerah, Eddy harus menghadapi persoalan hukum soal dugaan suap dan bahkan bisa mengganggu karier sang istri. Namun, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif belum menemukan indikasi uang korupsi yang diterima Eddy sebagai dana untuk maju pilkada sang istri. Mereka masih berfokus pada penanganan perkara korupsi Eddy.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Suhendra