tirto.id - “Alam hanya memakai benang terpanjang untuk menenun pola,
sehingga tiap bagian kecil wastranya,
menunjukkan konstelasi seluruh permadani.”
Demikian metafora yang dikatakan fisikawan Richard Feynman kala menutup kuliah pertama dari tujuh seri Messenger Lectures di Universitas Cornell pada 1964. Setahun kemudian, dia mendapatkan Hadiah Nobel untuk Fisika—berbagi dengan dua fisikawan lain, Shinichiro Tomonaga dan Julian Schwinger.
Feynman dihormati sebagai fisikawan teoretis paling berpengaruh pasca-Perang Dunia II. Kecendekiaannya tampak dari usahanya mereka ulang teori elektrodinamika kuantum yang menjelaskan interaksi antara gelombang cahaya dan materi. Hasil kerjanya itu mengubah cara pandang sains dalam memahami sifat gelombang dan partikel.
Sejak kecil, Feynman dikenal sebagai anak yang selalu rasa ingin tahu—pendorong utama berkembangnya sains. Karena itu, Feynman kecil adalah biang keributan di rumah. Suara berisik alarm dan radio sampai kebakaran kecil adalah hal biasa di rumah keluarga Feynman. Orang tuanya pun tak pernah protes dan justru mendorongnya.
James Gelick dalam Genius: The Life and Science of Richard Feynman (1993) menyebut, sang ayah Melville Arthur Feynman dan sang ibu Lucille takpernah meragukan ambisi yang tumbuh pada anak-anak mereka. Jika ada teman atau tetangga mereka bertanya apa yang terjadi, Lucille selalu menjawabnya dengan enteng, “Tidak apa-apa. Hasilnya sepadan, kok.”
Yang dimaksud Lucille dengan “hasil sepadan” adalah kemampuan putranya membuat berbagai peralatan rumah sederhana. Pertama, Feynman cilik akan mencoba mengenali pola kerja peralatan yang menarik baginya, seperti radio atau alarm. Jika sudah memahaminya, dia bisa membuat sendiri atau mereparasinya jika rusak.
Dengan kemampuannya itu, Feynman remaja jadi terkenal sebagai ahli reparasi di lingkungan tempat tinggalnya di bilangan Far Rockaway, New York City. Dalam buku semi-autobiografi Surely You’re Joking, Mr. Feynman!(2018), Feynman mengisahkan bagaimana dirinya memanfaatkan kemampuan itu untuk cari duit.
Pada suatu hari, dia dapat panggilan telepon dari sebuah hotel. “Apakah ini Bapak Richard Feynman? Kami dari hotel memerlukan bantuan Bapak untuk memperbaiki radio,” kata seseorang di seberang.
Feynman menjawab, “Tapi, saya cuma bocah.”
“Ya, kami tahu kok, tapi datanglah dulu ke sini,” bujuk pegawai hotel itu.
Feynman datang juga ke sana dan mulai mengamati radio yang rusak. Setelah mendapati bagian mana dari radio itu yang tidak beres barulah dia memperbaikinya.
Feynman tak jarang mengajak Joan, adiknya, untuk ikut beraksi. Suatu malam, Feynman kecil membangunkan Joan yang masih balita—mereka selisih sembilan tahun. Mereka lalu bergandengan tangan berjalan kaki menuju sebuah lapangan golf tak jauh dari rumah.
“Lihat ke atas,” kata Feynman kepada adiknya sesampainya di sana. Di atas mereka terlihat aurora borealis dengan semburat hijau merajai langit.
Kemudian, Feynman mendapuk Joan sebagai “asisten laboratorium” dan mendapat upah satu penny per pekan. Kelak, Joan Feynman menjadi ahli astrofisika di NASA dan berkontribusi besar menguak muasal fenomena aurora.
Proyek Manhattan
Richard Phillips Feynman yang lahir pada 11 Mei 1918 belajar fisika di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Setelah lulus dari MIT pada 1939, Feynman melanjutkan pascasarjana ke Universitas Princeton.
Antara 1941-1942, Feynman direkrut jadi anggota staf proyek bom atom di almamaternya. Pada 1943, setahun setelah meraih gelar Ph.D, fisikawan Julius Robert Oppenheimer mengajak Feynman bergabung dalam Proyek Manhattan. Ini adalah proyek riset gabungan tiga negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada, untuk mengembangkan senjata nuklir.
Di bawah arahan Oppenheimer, Feynman bekerja di laboratorium Los Alamos, New Mexico. Feynman ditempatkan di divisi teoretis dan disupervisi oleh Hans Bethe. Feynman dan Bethe mengembangkan Formula Bethe-Feynman yang digunakan untuk mengukur efektivitas bom atom.
Lain itu, Feynman juga mengembangkan panduan keselamatan untuk semua tingkat pengayaan uranium. Pasalnya, dia sempat frustrasi mendapati orang-orang di Los Alamos tidak sadar betapa kuat daya ledak bom yang akan dihasilkan dan bagaimana cara kerjanya.
“Mereka tidak tahu bahwa neutron akan jauh lebih efektif ketika dilambatkan di air. Di dalam air, cuma butuh sepersepuluh, nggak, bahkan cuma seperseratus materi untuk menghasilkan reaksi radioaktif. Ini bisa membunuh orang-orang di sekitarnya. Ini sangat berbahaya dan mereka tidak memperhatikan keselamatan sama sekali,” keluh Feynman dalam autobiografinya.
Terlepas dari kesuksesan Proyek Manhattan, masa kerja di Los Alamos adalah saat-saat yang sulit bagi Feynman. Pengamanan militer yang sangat ketatmembuat Feynman muak. Terlebih, dia mesti berjauhan dari istrinya Arlene yang menderita tuberkulosis.
Arlene dirawat di sebuah sanatorium di Albuquerque, tak jauh dari Los Alamos. Feynman selalu mengunjungi Arlene tiap akhir pekan, tapi itu tak cukup. Karena itu, mereka tetap saling berkabar lewat surat.
Korespondensi mereka tentu saja harus melewati sensor militer dan itu membuat Feynman makin jengkel. Untuk menyiasati keadaan, Feynman dan Arlene pun mulai bersurat dengan puzzle. Cara ini justru membuat jengkel petugas sensor.
“Ini membuat petugas sensor mengirimiku catatan, seperti ‘Tolong katakan pada istri Anda bahwa kami tidak punya waktu untuk bermain puzzle di sini’,” kenang Feynman.
Di tempat kerja yang sangat kering hiburan itu, Feynman juga sering bikin keusilan. Misalnya, dia sering iseng membuka lemari dokumen. Hal itu sekaligus menunjukkan betapa lemahnya pengamanan brankas-brankas dokumen di laboratorium militer itu. Kendati standar keamanan penyimpanan dokumen ditingkatkan setelah itu, Feynman selalu bisa membongkar lagi brankas itu.
Pada 16 Juni 1945, Arlene tutup usia dan kenyataan itu membuat Feynman cukup terpuruk. Feynman pun sempat berada dalam penanganan psikiater untuk menyembuhkan depresi. Padahal, pekerjaanya di Los Alamos tengah menuai sukses.
Encyclopedia Britannica menyebut, percobaan peledakan pertama bom atom berhasil dilakukan pada 16 Juli 1945 di dekat Alamogordo, New Mexico. Dia merasa gembira dengan hasil uji coba itu, tapi kemudian justru cemas sendiri membayangkan potensi kerusakan akibat bom itu.
Diagram Feynman
Di masa-masa itu dia mengaku muak dengan fisika dan tentu saja yang berkaitan dengan nuklir. Setelah Proyek Manhattan ditutup seiring usainya Perang Dunia II, Feynman limbung.Jika ada jurnalis yang menanyakan soal pandangan pribadinya terkait bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki, dia selalu memberikan jawaban sumir.
Namun, di titik itulah Feynman kembali merenungi apa yang membuatnya menggandrungi fisika. Dia ingat, fisika adalah caranya bersenang-senang dan ingin mengimaninya sekali lagi. Kesadaran itu muncul pada medio Oktober 1945, saat Feynman tengah bersiap-siap memulai pekerjaan barunya sebagai profesor fisika teoretis di Universitas Cornell.
Suatu hari ketika sedang berada di kantin kampus, Feynman melihat seseorang iseng memutar-mutar piring berlogo Cornell di udara. Ketika berputar di udara, piring itu bergoyang. Saat itulah Feynman mendapati logo Cornell berwarna merah di piring berotasi lebih cepat daripada goyangan piring.
Fenomena itu mengingatkannya pada orbit elektron. Feynman yang penasaran kemudian membuat persamaan fisika dari fenomena itu berikut visualisasi sederhananya. Ia kemudian jamak dikenal sebagai Diagram Feynman.
“Diagram dan segala hal yang membawa saya mendapatkan Hadiah Nobel berawal dari keisengan memutar-mutar piring,” kenang Feynman dalam memoarnya.
Diagram Feynmanyang diperkenalkan pada 1948 itu memvisualisasikan interaksi partikel-partikel subatomik. Semula, iadibuat untuk menyederhanakan kalkulasi yang sangat panjang dalam elektrodinamika kuantum. Karena itulah, Diagram Feynman dianggap sebagai terobosan penting dalam fisika teoretis dan membantu membangun fondasi fisika modern.
Diagram Feynmankemudian digunakan peneliti lain di bidang fisika yang berbeda-beda. Banyak hal yang sebelum Perang Dunia II tidak terbayangkan dapat dikalkulasi, jadi bisa dilakukan dengan diagram ini (David Kaiser, “Physics and Feynman’s Diagrams”, American Scientist, Vol. 93, 2005, hlm. 156).
Untuk kontribusinya dalam elektrodinamika kuantum itulah Richard Feynman dianugerahi Hadiah Nobel pada 1965.
Sejak itu, Feynman makin dikenal sebagai saintis jempolan. Tak hanya sebagai peneliti, tapi juga sebagai komunikator sains. Salah satu contohnya ketika dia tergabung dalam Rogers Commission yang ditugaskan menginvestigasi kecelakaan pesawat ulang-alik Challenger.
Challenger meledak di udara hanya 73 detik setelah diluncurkan pada 28 Januari 1986. Feynman menemukan bahwa ada yang tidak beres dari segel karet pada roket pendorong Challenger. Menurut Feynman, bahan segel roket itu amat rentan terhadap cuaca dingin pada hari peluncuran.
Di hadapan pejabat NASA dan disorot kamera televisi, Feynman mendemonstrasikan buktinya. Dia mencelupkan sampel bahan segel roket itu ke dalam segelas air dingin. Banyak orang tak menduga hal ini karena Challenger tidak pernah diuji coba dalam kondisi cuaca dingin.
Feynman pun mengkritik keras NASA karena kegagalan manjemen risikonya. Meski tak bisa mengelak, para pejabat NASA tetap saja naik pitam gara-gara kritikan Feynman yang blak-blakan. Investigasi Feynman pun pada akhirnya hanya menjadi lampiran dalam Rogers Commission Report, laporan resmi investigasi kecelakaan tersebut yang dilaporkan kepada Presiden Ronald Reagan (The Washington Post, 27 Januari 2016).
Pada 15 Februari 1988—tepat hari ini 33 tahun silam atau dua tahun setelah menyelesaikan laporan investigasi yang menggegerkan itu, Feynman wafat tersebab penyakit kanker.
Sisi Gelap
Pada awal 1960-an, Feynman agaknya menyadari dirinya populer. Karena itu, dia pun mulai berpikir untuk menulis semacam autobiografi. Idenya itu baru kesampaian pada awal 1980-an. Dia merekam pengalaman-pengalamannya dalam bentuk audio yang kemudian ditranskrip oleh Ralph Leighton.
Edisi pertama autobiografi itu terbit dengan judul Surely You're Joking, Mr. Feynman! pada 1985. Buku itu sangat laris dan tentu saja mendongkrak ketenarannya, bahkan setelah dia meninggal. Tapi, lebih dari itu, buku itu juga membuka sisi gelap Feynman.
Alih-alih bicara tentang elektrodinamika kuantum atau bagaimana mengembangkan diri sebagai saintis, Feynman justru lebih banyak menceritakan pengalamannya yang anekdotal. Bahkan, dalam bab bertajuk “You Just Ask Them?”, Feynman tanpa malu menceritakan perilaku buruknya terhadap perempuan.
Ketika mengajar di Cornell, misalnya, dia kerap mengaku sebagai mahasiswa S-1 supaya gadis-gadis lebih muda mau tidur dengannya. Feynman juga menceritakan hobinya melukis mahasiswi-mahasiswinya sebagai model bugil.
Begitu juga ketika dia pindah mengajar di California Institute of Technology (Caltech, 1950-1959). Feynman mengaku biasa mengerjakan tugas-tugasnya di bar striptis. James Gelick, penulis biografinya, juga menyebut Feynman memiliki skandal dengan istri teman-temannya dan gemar menyewa PSK.
Tak hanya mesum, Feynman juga seksis. Mahasiswa pascasarjana Caltech Aida Behmard dalam artikelnya yang dipublikasikan Caltech Letters menyebut, Feynman pernah mendapat protes dari kolega akademisi gara-gara pandangannya yang seksis pada 1971.
Pandangan seksisnya itu tersurat dalam salah satu jilid kumpulan kuliahnya Lectures on Physics. Dalam bukunya itu, Feynman beberapa kali melontarkan pernyataan bahwa fisika adalah bidang laki-laki dan berkomentar seksis terhadap saintis perempuan.
Meski begitu, dengan entengnya Feynman menjawab singkat, “Jangan ganggu saya!”.
Karena itu, Behmard menandaskan dalam artikelnya, “Kita harus jujur menilai Feynman dalam semua manifestasinya—seorang ilmuwan yang brilian, tapi sekaligus seorang narsistik yang perilaku seksisnya menimbulkan kerugian yang tak terbantahkan.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi