tirto.id - Revisi Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI kembali dibahas dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Balai Kota, Rabu (20/9) kemarin. Sejumlah poin pembaruan diusulkan oleh Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.
Salah satunya adalah soal sistem pemilihan kepala daerah. Dalam Pasal 11 UU No 29/2007, disebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih adalah "pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen." Jika tidak ada pasangan yang memenuhinya, maka diadakan Pilkada putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua. Ini seperti yang terjadi pada Pilkada DKI tempo hari.
Untuk diketahui, hanya Jakarta yang menganut sistem 50 persen plus 1. Tidak ada daerah lain yang menganut aturan serupa.
Djarot mengatakan poin tersebut mesti direvisi. Usulan tersebut didasari atas pertimbangan potensi ketegangan yang memang sempat terjadi ketika Pilkada DKI beberapa waktu lalu. "Sekarang pemilihan 50+1, ini bikin gaduh. Kalau calonnya dua pasang bisa sekali putaran, tapi coba bayangkan, bisa tidak di Jakarta calonnya dua? Pasti lebih dari dua," kata Djarot.
Sebagai gantinya, mantan Wali Kota Blitar tersebut mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh parlemen, dalam hal ini DPRD DKI, dengan pengajuan calon dari Presiden. "Apakah tidak mungkin kepala daerah cukup dipilih lewat DPRD dan diajukan Presiden? Kemudian Wagub dipilih sendiri oleh Gubernur supaya klop," ujarnya.
Dalam Pasal 12 UU No 29/2007, disebutkan bahwa DPRD DKI punya tiga fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD juga punya kewenangan untuk memberikan pertimbangan terhadap calon Wali Kota atau Bupati yang diajukan Gubernur. Dengan begitu maka pasal ini juga harus direvisi. Kewenangan DPRD harus ditambah.
Baca juga
Pemprov DKI Akan Terbitkan Pergub Soal Garasi Mobil
Dishub DKI Menderek Mobil yang Parkir Sembarangan
Haji Lulung: Kenaikan Tunjangan DPRD Sudah Masuk APBD-P 2017
Selain agar menghindari keributan seperti yang terjadi di Jakarta, Djarot menilai bahwa langkah tersebut diperlukan untuk "menyatukan" antara pemerintah DKI dengan pemerintah pusat. Menurutnya jika calon Gubernur diusulkan Presiden, maka kebijakan Pemprov bisa lebih selaras dengan pemerintah pusat, aspek yang menurut Djarot masih belum sempurna.
Secara lebih eksplisit, Djarot bilang bahwa dengan diusulkan Presiden, Gubernur DKI Jakarta bisa setara dengan menteri dalam beberapa aspek. Menurutnya hal ini dibutuhkan karena faktanya Jakarta, sebagai ibu kota, tidak bisa diurus secara eksklusif. Pemimpin DKI Jakarta juga harus bisa mengintervensi atau menyelaraskan aturan yang ditetapkan di daerahnya dengan daerah-daerah penyangga lain seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Dengan posisi demikian, Djarot menilai bahwa Gubernur DKI punya landasan hukum yang memadai untuk bisa memberikan masukan ke pemerintah pusat sekaligus membuat kebijakan yang terintegrasi. Beberapa kebijakan yang ia soroti dalam FGD tersebut adalah soal transportasi dan banjir. Dua masalah yang sampai saat ini masih seperti benang kusut yang sulit diperbaiki.
Usulan merevisi UU ini sebetulnya sudah muncul sejak beberapa tahun lalu. Sumarsono, kala menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI ketika Pilkada DKI berlangsung, banyak memberikan usulan setelah bertemu dengan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X. Yogyakarta dipilih karena juga punya UU serupa, UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK) DI Yogyakarta.
Dalam pertemuan yang dihelat pada Januari lalu, beberapa hal dibahas, termasuk soal kebudayaan, tata ruang, serta pertanahan. Tiga poin ini dinilai belum cukup jelas diatur dalam UU kekhususan Jakarta karena dianggap terjadi tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah pusat.
Draf RUU kekhususan Jakarta pertama dan kedua telah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri pada awal dan tengah tahun lalu.
Sebelumnya, Pemprov DKI berencana melaksanakan FGD ini pada Februari kemarin, dengan alasan agar cepat selesai. Tapi menurut pengakuan Djarot, Gubernur DKI Kala Itu, Basuki Tjahaja Purnama, menolak dengan alasan "tidak elok" menggelar FGD bertema demikian dalam momen sebelum Pilkada.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti