Menuju konten utama

Dua Mantan Hakim MK Sesalkan Tertangkapnya Patrialis

Mahfud MD dan Jimly Asshidiqie menyayangkan soal penangkapan Patrialis Akbar dalam OTT KPK. Menurut mereka, dilihat dari sepak terjang Patrialis, hal ini sudah diprediksi sejak awal.

Dua Mantan Hakim MK Sesalkan Tertangkapnya Patrialis
Mahfud MD. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Kehormatan Mahkamah Konstitusi sekali lagi tercoreng saat penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Rabu, (25/01/2017). Karena kejadian itu, MK pun kembali menjadi sorotan publik setelah OTT Akil Mochtar pada Rabu, (2/10/2013) silam yang dinilai rentan putusan bayaran.

Nilai nominal dana komitmen yang diberikan oleh Patrialis Akbar pun cukup tinggi yakni 20 ribu dolar AS atau 200 ribu dolar Singapura. Pembayaran tersebut dikabarkan dilakukan secara berkala dimulai dari transaksi pertama pada akhir tahun 2016 lalu dan diprediksi akan ada transaksi pembayaran lagi sampai mencapai nominal yang disepakati bersama.

Uang tersebut disinyalir diberikan guna mengamankan kasus uji materiil Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang nantinya tentu menguntungkan Basuki Hariman. Seperti diketahui, Basuki Hariman adalah pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan daging segar dan daging olahan yang tengah berperkara di MK.

Sepak terjang mantan Menteri Hukum Dan HAM era Soesilo Bambang Yudhono ini memang telah diprediksi dari awal. Hal itu terutama menjadi sorotan dua mantan Hakim MK yakni Mahfud MD dan Jimly Asshidiqie yang menilai tertangkapnya Patrialis Akbar sebagai kesalahan sejak awal.

"Dari awalnya saja sudah salah dengan penunjukkan dia [Patrialis Akbar] dari Presiden terdahulu. Karena kalau sifatnya ditunjuk Presiden pastinya bukan dari parpol tapi dari akademisi atau non-parpol," terang Jimly Asshiddiqie saat di konfirmasi oleh Tirto.id tadi malam.

Namun menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tersebut insiden yang dilakukan oleh Patrialias Akbar telah menyakiti hati keluarga besar MK. Termasuk dirinya, sebagai Mantan Ketua Hakim MK.

Meski begitu, kedepannya dia berharap agar masyarakat bisa membedakan antara figur koruptor dengan instansi di lembaganya bernaung. Dengan demikian, stigma negatif tersebut bisa dipisahkan dari asumsi masyarakat bahwa adanya aturan yang longgar dalam keputusan di tubuh MK.

"Saya tidak mengatakan bahwa saya moralis atau bagaimana. Saya berharap bukan menyalahkan institusinya. Karena di zaman saya semua perkara diselesaikan hanya di meja persidangan. Tidak ada pertemuan pribadi dengan yang berperkara," kata Jimly.

Ia pun menambahkan bahwa prediksinya tak satu pun meleset. Terutama soal adanya delegitimasi yang menjerat Patrialis di masa dirinya menjabat. Salah satunya, ada upaya mendapatkan upeti yang mungkin bisa saja tidak dinikmati sendiri tapi oleh orang-orang yang mendukungnya.

"Prediksi saya benar bahwa akan adanya delegitimasi saat dia menjabat. Ternyata terbukti dengan kasus OTT itu kan," ujarnya.

Senada dengan seniornya, mantan Hakim MK ini juga menyalahkan proses rekruitmen yang dulu seolah menyisipkan Patrialis dalam kelembagaan MK. Hal tersebut karena saat masa fit and proper test Patrialis tidak lolos seleksi. Namun, Presiden Soesilo Bambang Yudhono terdahulu menggunakan hak veto nya memilih Hakim MK. Presiden ke 6 itu pun memasukkan Patrialis Akbar dalam jajaran hakim MK.

"Dulu kan sudah dijelaskan bahwa baik saya atau alumni hakim di sini menolak jika dia bisa masuk ke sini. Awalnya kan dia tidak lolos seleksi," tutur Mahfud MD saat dihubungi Tirto.id kemarin malam.

Mahfud menjelaskan detail ketentuan dalam fit and proper test yang menjadi basis penentuan hakim di MK. Aturan tersebut termaktub dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dimana adanya pembagian sistem rekomendasi kesembilan hakim di MK. Dari sembilan hakim tersebut harus memenuhi tiga unsur, yaitu 3 hakim rekomendasi DPR, 3 rekomendasi MA, dan 3 rekomendasi Presiden.

"Jika dilihat dari undang-undang itu kan ada unsur parpol dari DPR, unsur praktisi hakim sendiri. Sedangkan rekomendasi Presiden harus non parpol atau akademisi. Tapi Presiden justru direkomendasikan orang parpol itu jelas salah," jelas Mahfud MD.

Masih kata Mahfud, kondisi Hakim MK saat ini seharusnya lebih berhati-hati bersikap. Apalagi pasca-penangkapan Akil Mochtar atas perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Lebak. Akil pun terbukti menerima fulus senilai 284.050 dolar Singapura dan 22.000 dolar AS di dalam amplop coklat. Dua barang bukti itu jika dikonversikan ke dalam rupiah menjadi Rp3 Miliar.

Potret kelam lembaga yudisial saat itu pasti membuat MK berbenah diri. Maka dibuatlah lembaga pengawas internal MK. Apalagi, pengawas tersebut tentu saja mengingatkan ancaman sadapan KPK. Sayangnya, Mahfud MD meyakini peringatan itu dianggap sebagai gertak sambal semata.

"Dulu dijaman saya sebenarnya lebih mudah kalau terima suap atau korupsi. Tapi saya memilih amanah. Kalau sekarang aneh ada pengawas internal tapi kok malah makin ngeyel," tanya Mahfud

Baca juga artikel terkait OTT PATRIALIS AKBAR atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari