tirto.id - Parlemen Kota Malang terancam lumpuh setelah 40 anggota DPRD tersangkut dugaan kasus suap pembahasan APBD Perubahan 2015 dan harus berurusan dengan KPK. Setelah 18 anggota legislatif resmi tersangka pada Maret 2018, kini giliran 22 lagislator lainnya yang ramai-ramai ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi antirasuah, pada Senin (3/9/2018).
Dengan status tersangka tersebut, maka secara otomatis parlemen Kota Malang lumpuh karena hanya menyisakan 5 orang anggota aktif. Padahal, ada sejumlah agenda akhir tahun yang tak boleh terlambat disahkan, antara lain: pelantikan Wali Kota Malang yang baru Sutiaji, serta pembahasan APBD-Perubahan 2018 dan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Malang 2019.
Berdasarkan PP Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib DPRD (PDF), pengesahan suatu perda harus memenuhi kuorum yang telah ditetapkan. Jika hanya tersisa 4 anggota dewan di parlemen Malang, rapat-rapat paripurna untuk mengesahkan kebijakan-kebijakan eksekutif akan sulit dilakukan.
Pada Pasal 78 ayat 1b beleid tersebut, misalnya, penetapan Perda, APBD, dan pemberhentian pimpinan DPRD harus dihadiri sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPRD. Dengan kata lain, rapat paripurna setidaknya harus dihadiri 30 dari 45 anggota DPRD Kota Malang.
Menyikapi hal ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo berencana mengambil kebijakan diskresi agar agenda di parlemen Malang bisa berjalan dan tak mengganggu pelayanan publik Pemkot Malang.
Alas hukum yang mendukung rencana keputusan itu, kata Tjahjo, adalah UU Nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam beleid yang ia sebutkan, ruang lingkup, syarat, hingga prosedur soal diskresi memang diatur, sehingga sah-sah saja dilakukan. Namun, ada konsekuensi atau akibat hukum yang juga berlaku jika hak tersebut salah digunakan.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf mengatakan, penggunaan hak diskresi dapat menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah pusat terhadap daerah dan menyalahi aturan soal otonomi daerah.
Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak otonomi, kata Asep Warlan, tidak bisa sembarang diintervensi Pemerintah Pusat. "Agak susah kalau didasarkan ke Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Ini kan hubungannya bukan soal keeksekutifan. Ini kan kaitannya soal internal anggota dewan," kata dia kepada Tirto.
Apalagi, kata Asep Warlan, ada mekanisme yang bisa dilakukan jika rapat-rapat di DPRD tidak kuorum karena sebagian besar anggotanya tak bisa hadir. Ini dimungkinkan untuk menjamin berjalannya fungsi dewan dan agenda-agenda di legislatif dapat berjalan tepat waktu.
"Makannya ada mekanisme lain dengan mengubah kuorum. Yang penting tahapan-tahapan soal kuorum-nya itu dilalui dulu. Maka itu sudah jadi sah," kata Asep Warlan.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan-urusan yang ada di DPRD berkaitan dengan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah. Sementara pengambilan diskresi, bakal mengganggu perencanaan di tingkat daerah dan membuat program-program pembangunan lainnya jadi terganggu.
"Kemendagri sebaiknya sekadar memberi masukan, tidak mengambil keputusan," kata dia.
Pendapat serupa juga disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara Andi Irman Putra Sidin. Menurutnya, ada konsekuensi hukum yang dapat menjerat Kemendagri jika pengambilan diskresi dilakukan tanpa ada persetujuan dari anggota parlemen di daerah.
Sebab, pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah telah diatur dalam undang-undang. Menurut Irman, pengambilan diskresi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, seperti yang dilarang dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Daerah.
"Diskresi bisa saja diambil, namun tetap tidak menutup kemungkinan pihak yang merasa dirugikan akibat kebijakan dapat mengambil langkah hukum ke pengadilan," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz