tirto.id - Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mendorong perbaikan manajemen di Kementerian Agama (Kemenag) terkait dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Pesantren. Hal itu menindaklanjuti temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) soal dugaan penyimpangan dana BOP Pesantren selama pandemi COVID-19.
"Kalau ini dijadikan momentum oleh Kementerian Agama untuk berbenah, tidak akan ada kejadian serupa dan saya mendukung agar yang salah dihukum sehingga ada efek jera," kata Yandri di gedung DPR RI, Selasa (31/5/2022).
Yandri menceritakan bahwa kasus penyimpangan dana BOP tidak hanya menyerang pesantren, tetapi juga menimpa sejumlah madrasah.
"Bahkan madrasah saya kena juga, saat saya sebelum menjadi Ketua Komisi VIII ada yang minta Badu, bagi dua. Tidak perlu lah, dan saya tidak pernah minta karena terlalu banyak komisi yang diminta," jelasnya.
Bahkan Yandri memiliki sejumlah bukti praktik penyimpangan dana BOP Pesantren terutama pemotongan dana setiap sekian rupiahnya.
"Sudah lama kita dengan dengar bahkan sebelum dari BOP masa pandemi mengenai masalah yang disalurkan dari pemerintah pusat atau pemerintah provinsi dan kota. Memang banyak pemotongan seperti itu, dan banyak yang mendengar bahkan saya ada bukti yang menawarkan pemotongan sekian-sekian," ujarnya.
Yandri meminta masyarakat untuk berani melaporkan kepada Komisi VIII DPR apabila menemukan kasus serupa. Sehingga hal itu bisa ditindaklanjuti dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Agama.
"Kepada masyarakat tidak perlu takut kalau melaporkan nanti tidak dapat bantuan dari Kemenag, silakan laporkan dan kami terbuka. Hal ini akan disinggung dalam rapat dengar pendapat dengan Kemenag," ungkapnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis temuan soal potensi penyimpangan terhadap penyaluran dana bantuan pesantren. Salah satu indikasinya adalah ditemukannya sejumlah pesantren fiktif yang turut terdaftar menjadi penerima dana bantuan.
ICW menemukan beberapa pesantren fiktif melalui penelusuran lapangan yang dilakukan di sejumlah daerah seperti Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah. Dari pemantauan tersebut, ICW mendapati 3 dari 23 pesantren penerima bantuan di Aceh tidak ditemukan keberadaannya
"Secara lebih spesifik, satu pesantren tidak mencantumkan alamat lengkap, sedangkan dua lainnya tidak berhasil ditemukan. Keberadaan pesantren yang tidak dapat ditemukan kemudian diperkuat dengan keterangan warga setempat yang menyatakan tidak ada pesantren di sekitar
wilayahnya," tulis ICW dalam laporannya yang dirilis Jumat, (27/5/2022).
Ada pula pesantren di Sumatera Utara yang tidak terletak di alamat yang tertera dalam SK Kemenag sebagai penerima Bantuan Operasional Pendidikan(BOP) Pesantren Tahap II.
Temuan serupa yang terjadi di Jepara, Jawa Tengah juga dilaporkan oleh ICW. Terdapat dua pondok pesantren yang tidak terdeteksi BPK di Kabupaten Jepara namun sudah mendapat BOP sebesar Rp25.000.000.
Menurut ICW hal tersebut terjadi akibat kacaunya pendataan pesantren oleh Kemenag. Misalnya data pesantren yang tidak akurat (by name by address), klasifikasi pesantren penerima bantuan yang tidak cocok dengan profil di lapangan, pesantren dengan nama dan alamat ganda, dan pesantren fiktif, yakni pesantren yang terdata tapi faktanya mereka tidak beroperasi selayaknya pesantren, atau bahkan tidak ada sama sekali.
"Pendataan yang ala kadarnya dan menjurus ke pengelolaan data yang buruk ikut memicu berbagai praktek penyimpangan dalam penyalurannya," demikian keterangan ICW dikutip dari laman resminya antikorupsi.org.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Gilang Ramadhan