tirto.id - Sengkarut RUU Kepalangmerahan belum juga tuntas dibahas oleh pemerintah hingga hari Rabu (8/2). Berdasar rapat sampai Rabu petang lalu, masalah RUU Kepalangmerahan masih berkutat pada masalah pemilihan lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah, dan Kristal Merah. Hal ini sudah berlangsung hingga 10 tahun sejak pembahasan DPR tahun 2006 silam.
“Ga ada. Hanya masalah logo aja kurang lebih. Tadi kurang lebih begini; hanya diperbolehkan 1 negara itu memiliki 1 logo – Palang Merah, Bulan Sabit Merah, atau Kristal Merah. Cuma itu aja. Itu perdebatan 10 tahun tuh,” ujar Dede Jusuf selaku ketua Komisi IX DPR RI.
Menurutnya, Bulan Sabit Merah lebih banyak dipakai di negara-negara yang mayoritas beragama muslim atau negara bagian Timur Tengah. Sedangkan logo Palang Merah Indonesia sejak dahulu adalah Palang Merah. Menurutnya, 2 logo ini muncul hanya karena situasi zaman perang dahulu. Tugasnya Palang Merah tetap sama yakni membantu tentara yang tertembak atau terluka, meskipun mereka dari pihak lawan.
”Ini tugas kemanusiaan,” jelasnya. “Makanya sejak tahun 50an bentuknya sudah Palang Merah. Bahkan saat itu Sukarno dan pak Hatta – ketika memilih – memilih Palang Merah, bukan Bulan Sabit Merah.”
Menurut Dede, wakil presiden Jusuf Kalla selaku ketua PMI pun mengaku tidak masalah dengan lambang yang ditentukan, karena bagi JK yang penting adalah Undang-undangnya. Namun, beberapa pihak yang berada di DPR bersikukuh untuk membahas lambang PMI atas dasar isu keagamaan ataupun politik.
“Kan politik,” jawab Dede ketika ditanya mengenai sebab perdebatan lambang PMI.
“Mungkin ada yg mempertimbangkan kita sebagai negara dengan mayoritas umat muslim, padahal ini ga ada hubungannya dengan agama. Palang itu menurut pak JK, dan kita juga sepakat, bukan berarti agama tertentu,” lanjut Dede.
Menurutnya, logo Palang Merah itu berbentuk lambang tambah (+) dan tidak ada kaitannya dengan agama tertentu. Anggota dari fraksi Demokrat ini kemudian menuturkan bahwa arti tanda tambah (+) ini adalah untuk membantu satu sama lain dan seharusnya tidak diperdebatkan berlarut-larut.
“Makanya Palang Merah ini tidak boleh dikaitkan dengan politik agama atau ras,” tegasnya.
Sementara itu Arifin Muhadi dari Divisi Penanggulangan Bencana menyetujui apa yang dipaparkan oleh Dede Jusuf. Menurutnya, ada satu fraksi yang tidak menyetujui masalah perubahan lambang dan diduga mengakibatkan tidak terjadinya kuorum. Terkait fraksi mana yang menentang, Arifin tidak mau berkomentar.
Dalam dengar pendapat yang pertama di tahun 2017 ini, Arifin mengatakan bahwa setelah ini akan dilakukan penentuan panja (panitia kerja) oleh Komisi IX DPR. Panja inilah yang nantinya akan merumuskan Undang-undang. Ia berharap agar pembahasan ini dipercepat karena semenjak 70 tahun lalu terbentuk, PMI belum mempunyai Undang-undang.
“Setiap negara penandatangan Konvensi Jenewa wajib membuat Undang-undang. Itu wajib. Nah sementara ini dari 169, yang kurang 2 (Indonesia dengan Laos) aja. Indonesia sebagai negara besar harus membuat itu lah,” paparnya.
Dede Jusuf juga menargetkan pembahasan Rancangan Undang-undang Kepalangmerahan ini akan selesai dalam 2 masa sidang. RUU Kepalangmerahan ini pun sudah masuk dalam prolegnas dan Dede berharap pembahasannya tidak mandek 5 tahun lagi.
“Saya mendengar rasanya sih ga ada masalah, menyetujui lah. Kalau pun nanti ada perdebatan, itu kan di panja, nanti masuk panja dulu. Pembentukan panja mungkin baru bisa setelah reses, karena kami reses tanggal 25 kalau ga salah - 25 kita reses. Berarti kita masuk di Maret, baru itu akan menjadi panjang,” pungkas Dede dalam proyeksinya ke depan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Agung DH