Menuju konten utama

DPR: Dasar Hukum Program Organisasi Penggerak Kemendikbud Tak Jelas

Komisi X DPR RI menganggap belum selesai melakukan pembahasan terkait peta jalan pendidikan sehingga Program Organisasi Penggerak (POP) dinilai tak jelas dasar hukumnya.

DPR: Dasar Hukum Program Organisasi Penggerak Kemendikbud Tak Jelas
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (tengah) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww.

tirto.id - Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PPP Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan bahwa Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang belakangan ramai dibahas karena Sampoerna dan Tanoto Foundation dipilih sebagai mitra, belum memiliki payung hukum yang jelas. Hal tersebut, kata Illiza dikarenakan Komisi X DPR RI belum selesai melakukan pembahasan terkait peta jalan pendidikan.

"Program Organisasi Penggerak (POP) sendiri sebenarnya merupakan program yang belum mempunyai payung hukum yang jelas," kata Illiza lewat keterangan persnya, Kamis (23/7/2020).

"Sehingga ketika peta jalan masih dalam tahap pembahasan, maka apapun program yang dijadikan sebagai pengejawantahan dari visi Merdeka Belajar yang realisasinya program menggunakan anggaran negara harus melalui pembahasan di Komisi X," imbuhnya.

Apalagi, tambah Illiza dana POP yang dianggarkan oleh Kemendikbud belum dibahas dan belum disetujui oleh DPR RI. Kata Illiza, anggaran POP yang direncanakan sebesar Rp595 miliar pertahun masih berupa pagu indikatif, sehingga belum ada kesepakatan terkait hal tersebut. Menurut Illiza persoalan anggaran POP masih menunggu pembahasan di Badan Anggaran DPR RI.

Ia menganggap Kemendikbud yang saat ini dipimpin Nadiem Makarim kurang transparan dalam menyeleksi organisasi dalam program POP. Akibatnya, kontroversi soal POP ini menyulut kontroversi di tengah masyarakat.

Apalagi saat Kemendikbud lebih memilih dua lembaga dari perusahaan besar ketimbang organisasi yang memang sudah lama memiliki rekam jejak yang apik dalam bidang pendidikan.

"Apalagi kurangnya transparansi itu menyebabkan kekecewaan Muhammadiyan dan NU yang selama ini dikenal sebagai organisasi yang mempunyai sejarah panjang pada kontribusi pendidikan di Indonesia," katanya.

Illiza mengatakan seharusnya Kemendikbud tidak hanya menggandeng Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi penggerak, namun melibatkan keduanya dalam membangun konsep POP karena mempunyai pengalaman dalam dunia pendidikan.

"Terbukti NU dan Muhammadiyah mempunyai lembaga pendidikan dari tingkat pra sekolah hingga perguruan tunggi serta menjangkau semua kalangan masyarakat, bahkan jauh sebelum Indonesia ini merdeka," katanya.

Program Organisasi Penggerak (POP) merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud. Program ini bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik. Dalam program ini, Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.

Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp567 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih.

Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp20 miliar/tahun, Macan Rp5 miliar per tahun, dan Kijang Rp1 miliar per tahun.

POP menjadi ramai saat ini lantaran Muhammadiyah memilih mundur dari program ini. Penyebabnya Muhammdiyah tak sepakat dengan terdaftarnya dua yayasan perusahaan, yaitu Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, di Organisasi Penggerak untuk kategori gajah. Dengan kata lain, dua yayasan perusahaan tersebut mendapatkan bantuan Rp20 miliar per tahun dari pemerintah.

Baca juga artikel terkait PROGRAM ORGANISASI PENGGERAK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto