tirto.id - DPR RI dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintah menerbitkan Perpres yang menjadi landasan hukum pelaksanaan Program Makanan Bergizi (MBG).
Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, mengatakan payung hukum yang jelas sangat diperlukan untuk mengatur ruang lingkup program dan mekanisme pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya.
“Komisi IX mendesak Badan Gizi Nasional untuk berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk segera menerbitakan payung hukum terkait dalam bentuk Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden yang menjadi landasan pelaksanaan,” kata Felly usai menghadiri acara CISDI di i-Hub Office & Coworking, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2025).
Felly menyebut pihaknya juga meminta agar peran setiap kementerian dan lembaga jelas diatur dalam peraturan tersebut. Termasuk soal porsi keterlibatan mereka dalam program prioritas Presiden Prabowo Subianto itu.
“Kemudian pihak yang terlibat kementerian lembaga yang tadi saya bilang biar porsinya ada di mana. Kemudian pelaksanaan program, kemudian payung hukum untuk monitoring dan evaluasi program,” ucap Felly.
Dalam kesempatan sama, CEO dan Founder CISDI, Diah Satyani Saminarsih, megatakan apabila MBG memiliki visi jangka panjang, seharusnya payung hukum harus segera dikeluarkan. Dia menyarankan landasan ini agar dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
“Tapi PP membutuhkan amanat dari Undang-Undang. Di mana ada UU Gizi yg harus masuk prolegnas dan harus dibahas dan itu mengamanatkan MBG. Itu kalo visinya jangka panjang, sehingga menetap,” kata Diah.
Namun, kata dia, apabila diterbitkannya PP membutuhkan waktu jangka panjang dan lebih lama, Peraturan Presiden (Perpres) dapat menjadi alternatif. Nantinya, program MBG ini dapat memiliki landasan tersendiri dalam pelaksaannta.
“Maka dalam waktu singkat sebenarnya bisa dikeluarkan perpres untuk MBG. Jadi, jangan hanya perpres untuk BGN aja, tapi untuk MBG sebagai mid point,” ucap Diah.
Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil hingga ahli juga menjadi penting dalam improvisasi program MBG ini, termasuk dengan menampung aspirasi dan aduan yang datang. Diharapkan program unggulan ini nantinya akan menjadi lebih baik dalam pelaksananbya.
Dia menyayangkan perencanaan program MBG belum memiliki mekanisme partisipasi formal yang melibatkan masyarakat sipil secara terbuka, aktif dan partisipatif. Menurut Diah, tanpa adanya proses demikian, perspektif dari kelompok yang akan terdampak tidak terintegrasi ke dalam rumusan masalah.
"Solusi yang dicanangkan dan proses tata kelola program MBG yang juga memastikan terbentuknya akuntabilitas sosial hingga ke level komunitas,” tukas Diah.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama