Menuju konten utama

Dokter Lidya, Penolong Duafa yang Meninggal karena Corona

Dokter Lidya yang meninggal karena Corona dikenal sebagai pekerja keras yang membaktikan hidup membantu orang yang lemah.

Dokter Lidya, Penolong Duafa yang Meninggal karena Corona
Sejumlah tenaga kesehatan membawa peti berisi jenazah almarhum dokter Jhon Andi Zainal yang meninggal akibat COVID-19, di halaman RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (24/9/2020). ANTARA FOTO/FB Anggoro/aww.

tirto.id - Dokter Lidya binti Hakiman meninggal karena virus Corona dalam usia 49 tahun, Selasa 5 Januari 2021. Ia mendedikasikan diri untuk melayani kaum duafa sejak 12 tahun terakhir. Bakti terakhirnya adalah penanggung jawab medis Satgas COVID-19 di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhuafa (LKC-DD).

Berpulangnya Lidya meninggalkan kesedihan yang mendalam buat Lini Gumiliah. Lini adalah perawat yang bekerja satu tim dengan Lidya baik dalam layanan sehari-hari, bencana, maupun COVID-19 di LKC-DD pusat di Tangerang Selatan, terhitung sejak awal pandemi. Keduanya sudah bekerja bersama sejak delapan tahun terakhir di lembaga yang bergerak dalam pengelolaan dana sosial tersebut. Selama itu dia bilang Lidya jarang meminta tolong selama masih bisa melakukan sendiri.

Lini tahu betul bagaimana Lidya kerja keras menghadapi lonjakan pasien COVID-19 menjelang akhir hayatnya. Sebelum dinyatakan positif COVID-19 dan kondisinya memburuk, Lini bilang Lidya terus bekerja memantau pasien, termasuk mereka yang keluar hasil tes PCR-nya pada tengah malam.

Keesokan harinya ia langsung melakukan tindak lanjut pada pasien positif, entah diminta isolasi mandiri atau dirujuk ke rumah sakit. “Bahkan di malam terakhir beliau sudah sakit tapi masih masuk dan menindaklanjuti pasien-pasien yang positif COVID-19. Semua kami pantau jarak jauh bersama beliau,” Lini bercerita melalui sambungan telepon, Rabu (6/1/2021).

Sebagai Kepala Respons Darurat Kesehatan (RDK) Dompet Dhuafa, jauh sebelum pandemi, Lidya memimpin program untuk memberikan layanan antar jemput pasien duafa dengan ambulans, perawatan di rumah, serta diagnosa sementara hingga rujukan ke rumah sakit.

Sebelum di Dompet Dhuafa, Lidya bekerja di puskesmas sebagai dokter kontrak selama bertahun-tahun. Ia melewatkan kesempatan untuk menjadi pegawai negeri sipil dan memilih bergabung dengan lembaga kemanusiaan. Di awal karier di Dompet Dhuafa, Lidya hanya bekerja sebagai dokter fungsional di klinik sebelum akhirnya diberikan tugas-tugas manajerial. Namun demikian, Lidya masih selalu bekerja di lapangan memberikan pelayanan sampai akhir hayatnya.

Sebulan sebelum meninggal, ia bersama Lidya memberikan layanan kesehatan gratis ke pelosok Kabupaten Serang, Banten. Daerahnya berbukit, perjalanan dari Jakarta tak sebentar, tapi pergi subuh dan pulang malam hari itu juga.

Tugas-tugas kemanusiaan seperti itu tak pernah dikeluhkan oleh Lidya, kata Lini. “Dokter Lidya itu betul-betul membela hak pasien yang tidak mampu untuk mendapatkan layanan kesehatan,” Lini bersaksi.

Di mata atasan, Lidya dikenal sebagai pribadi yang memiliki idealisme teguh untuk kemanusiaan. General Manager Kesehatan Dompet Dhuafa Yeni Purnamasari sempat bertanya mengapa Lidya yang saat 2012 sudah menjadi dokter senior bersedia membaktikan diri di lembaga kemanusiaan dengan gaji yang tak seberapa. “Secara materi tidak sesuai dengan harapan dan sebagaimana umumnya [dokter] profesional, tapi beliau sampaikan sudah siap dan memiliki niat dan motivasi yang cukup kuat,” kata Yeni kepada reporter Tirto, Rabu.

“Beliau menyampaikan kalau ingin lebih bermanfaat untuk sesama.”

Kelelahan Saat COVID-19 Melonjak

Pradipta Suarsyaf, kolega Lidya lainnnya, mengatakan selama November-Desember peningkatan kasus COVID-19 di Jakarta membuat tenaga kesehatan di layanan kesehatan milik Dompet Dhuafa kelelahan. “Intensitas dari kasus COVID-19 di Jakarta, jujur saja, membuat tim kami sangat kewalahan dan kelelahan terutama di akhir tahun kemarin. Akhirnya kami sampai memutuskan untuk beristirahat sementara,” kata Pradipta kepada reporter Tirto, Rabu.

Pradipta adalah dokter yang bertugas sebagai manajer senior di LKC-DD. Posisinya membuatnya sering berkomunikasi intensif dengan Lidya yang merupakan penanggung jawab medis di Satgas COVID-19.

Meski banyak anggota Satgas COVID-19 LKC-DD yang mengeluh lelah, namun Pradipta bilang Lidya tak pernah melakukan itu.

Yeni sebetulnya sudah meminta agar Lidya beristirahat agar tak kelelahan dan berisiko semakin besar tertular. “Hanya memang karena ada beberapa tugas, beliau tetap masuk. Itu pun kami sudah batasi aktivitasnya,” kata Yeni. “Dan saat sakit kami langsung minta lakukan pemeriksaan.”

Lidya mengalami gejala COVID-19 dan akhirnya dinyatakan positif dengan gejala sedang pada 24 Desember 2020. Dia dirujuk ke rumah sakit namun kondisinya semakin memburuk. Selama dua hari ia harus dirawat di ICU menggunakan alat bantu pernafasan. Lidya memiliki penyakit penyerta tekanan darah tinggi.

Lidya meninggal dunia saat akan dipindahkan ke ICU non COVID-19 setelah dua hari dirawat di ICU dan dinyatakan negatif lewat hasil tes swab. Karena telah dinyatakan negatif, Lidya akhirnya dimakamkan tidak dengan prosedur COVID-19.

Dokter Lidya menambah panjang daftar tenaga kesehatan yang meninggal karena COVID-19. Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat ada 504 tenaga kesehatan meninggal karena COVID-19 dari Maret hingga akhir Desember 2020. Mereka terdiri dari 237 dokter dan 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, 10 tenaga lab medik. Para dokter yang wafat terdiri dari 131 dokter umum (4 guru besar) dan 101 dokter spesialis (9 guru besar). Data ini dirangkum oleh Tim Mitigasi PB IDI dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (PATELKI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi mengatakan kematian terbanyak terjadi pada Desember. “52 tenaga medis dokter meninggal akibat COVID-19. Angka ini naik hingga 5 kali lipat dari awal pandemi,” katanya, Sabtu (2/1/2021).

Ia juga bilang jumlah kematian tenaga kesehatan di Indonesia yang tertinggi di antara negara Asia lain dan masuk 5 besar dunia.

Baca juga artikel terkait DOKTER MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino