tirto.id - Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI, Asep Kuswanto mengestimasi pembangunan fasilitas untuk memproduksi sampah menjadi bahan bakar alternatif atau Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan, Jakarta Utara, mencapai Rp1 triliun.
Nominal tersebut diperkirakan dari biaya RDF di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargerbang Bekasi, Jawa Barat kurang lebih sebesar Rp1 triliun.
“Kalau belajar dari yang kami bangun di Bantargebang itu Rp1 triliun, kemungkinan besarannya itu juga,” kata Asep di Jakarta, Kamis (23/2/2023).
Ia menuturkan untuk sumber dana pembangunan fasilitas tersebut, Dinas LH DKI akan kerja sama dengan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atau Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
"Bukan investor ya, jadi dana dari pemerintah pusat dari APBN ataupun dana bantuan," ucapnya.
Untuk tahap awal, Dinas LH DKI akan menyusun kajian kelayakan atau feasibility study (FS) rencana pembangunan fasilitas pengolahan sampah terpadu di Rorotan.
“Kalau FS-nya sudah jadi, itu tahun 2024 mudah-mudahan dialokasikan anggarannya untuk membangun fasilitasnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, Rorotan menjadi salah satu lokasi yang potensial dibangun fasilitas pengolahan RDF yang sama dibangun di TPST Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat.
Lahan di Rorotan, Jakarta Utara mencapai sekitar 5 hektare (ha) milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Apabila terbangun, maka diharapkan menjadi fasilitas pengolahan sampah menjadi RDF di dalam kota yang ditargetkan mampu mengolah 2.000 ton sampah baru dan lama.
Dengan begitu, DKI juga ditargetkan bisa mengurangi ketergantungan dengan TPST Bantargebang. Rata-rata per hari sampah dari DKI Jakarta yang dibawa ke Bantargebang mencapai sekitar 7.500 ton diangkut menggunakan 1.200 truk.
Fasilitas pengolahan RDF dibangun di atas lahan seluas 7,5 hektare di dalam kawasan TPST Bantargebang. Pembangunannya menelan anggaran sekitar Rp1 triliun yang menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp456,3 miliar dan sebesar Rp613,9 miliar dari APBD DKI tahun 2022.
Di sisi lain, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) sempat menyebut pengolahan sampah dengan cara RDF merupakan solusi semu dan palsu pengolahan sampah perkotaan.
Anggota AZWI, Hermawan Some pun mengatakan, meski cara tersebut dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang menumpuk, namun memiliki dampak negatif.
"Dampak negatif pada lingkungan sehingga disebut sebagai false solution management atau solusi palsu dan semu pengolahan sampah perkotaan," kata Hermawan di kawasan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa (7/2/2023).
Hermawan yang juga merupakan Founder Nol Sampah mengatakan RDF juga bisa disebut sebagai pengolahan sampah secara termal.
Dia menuturkan pengolahan sampah secara termal harus merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal.
Pengolahan sampah secara termal hanya dapat dilakukan terhadap sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga yang tidak mengandung B3, Limbah B3, kaca, Poli Vinyl Clorida (PVC), dan aluminium foil.
"Saat ini sampah kita belum terpilah. Siapa yang bisa menjamin B3, vinyl, PVC, kaca dan aluminium foil ikut dibakar tidak menimbulkan racun?” kata pria yang akrab disapa Wawan itu.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri